Kemudian penulis menyebutkan ayat-ayat dalam bab ini, di antaranya firman Allah Ta’ala:
وَلَمَّا رَءَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلْأَحْزَابَ قَالُوا۟ هَٰذَا مَا وَعَدَنَا ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَصَدَقَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ
“Dan ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (yang bersekutu) itu, mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.’ Dan benarlah Allah dan rasul-Nya.” (al-Ahzab: 22)
Ahzab: Kelompok-kelompok dari berbagai kabilah bersatu untuk melawan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkumpul untuk memeranginya. Sekitar sepuluh ribu pasukan dari Quraisy dan sekutunya berkumpul dan mengepung Madinah dengan tujuan menghancurkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam perang ini, para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalami krisis besar. Allah Tabaraka wa Ta’ala menggambarkan situasi tersebut dalam firman-Nya:
وَاِذْ زَاغَتِ الْاَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوْبُ الْحَنَاجِرَ
“Dan ketika penglihatan(mu) terpana dan hatimu menyesak sampai ke tenggorokan,” karena rasa takut yang luar biasa,
وَتَظُنُّوْنَ بِاللّٰهِ الظُّنُوْنَا
“dan kamu berprasangka yang bukan-bukan terhadap Allah,” yaitu prasangka-prasangka yang jauh dari kebenaran,
هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُوْنَ وَزُلْزِلُوْا زِلْزَالًا شَدِيْدًا
“Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang dahsyat.” (QS al-Ahzab: 10-11)
Dalam krisis besar yang penuh tekanan ini, manusia terbagi menjadi dua golongan. Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan keadaan keduanya dalam ayat ini: “Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang dahsyat.” (QS al-Ahzab: 11)
Golongan pertama. Allah Ta’ala berfirman tentang mereka:
وَإِذْ يَقُولُ ٱلْمُنَٰفِقُونَ وَٱلَّذِينَ فِى قُلُوبِهِم مَّرَضٌ مَّا وَعَدَنَا ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ إِلَّا غُرُورًا
“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang hatinya berpenyakit berkata, ‘Yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kami hanya tipu daya belaka.’” (QS al-Ahzab: 12)
Mereka adalah orang-orang munafik yang menampakkan keimanan tetapi menyembunyikan kekufuran serta orang-orang yang memiliki penyakit di dalam hatinya, yakni mereka yang lemah keyakinannya di antara kaum mukminin. Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” Mereka mencemooh, “Bagaimana mungkin Muhammad mengatakan bahwa dia akan menaklukkan Kisra, Kaisar, dan Shan’a, sementara saat ini dia sedang terkepung oleh orang-orang ini? Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.”
Adapun golongan kedua adalah orang-orang mukmin. Allah Ta’ala berfirman tentang mereka:
وَلَمَّا رَءَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلْأَحْزَابَ قَالُوا۟ هَٰذَا مَا وَعَدَنَا ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَصَدَقَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Dan ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (yang bersekutu) itu, mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.’ Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.” (QS al-Ahzab: 22)
Perhatikanlah perbedaan antara kedua golongan ini: Ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu dan menghadapi kesulitan besar, mereka justru meyakini bahwa kemenangan dan kelegaan akan datang setelahnya. Mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.” Mereka yakin bahwa kemenangan pasti akan terwujud. Wilayah Kisra, Kaisar, serta Yaman akan ditaklukkan, dan itulah yang akhirnya terjadi. Alhamdulillah.
Buktinya adalah firman Allah: “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.” (QS al-Ahzab: 22)
Inilah puncak keyakinan, yaitu ketika seseorang tetap teguh, beriman, dan yakin, meskipun berada dalam situasi yang penuh kesulitan dan ujian berat. Berbeda halnya dengan orang yang lemah tawakal dan keyakinannya; saat menghadapi musibah dan kesulitan, ia cenderung berbalik pada wajahnya, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَعْبُدُ ٱللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖ فَإِنْ أَصَابَهُۥ خَيْرٌ ٱطْمَأَنَّ بِهِۦ ۖ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ ٱنقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِۦ خَسِرَ ٱلدُّنْيَا وَٱلْءَاخِرَةَ ۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلْخُسْرَانُ ٱلْمُبِينُ
“Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi. Jika dia memperoleh kebajikan, ia merasa tenang karenanya, tetapi jika dia ditimpa ujian, ia berbalik ke belakang. Maka ia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.” (QS al-Hajj: 11)
Banyak orang merasa tenang ketika berada dalam kondisi sehat dan sejahtera. Namun, ketika mereka diuji –wal ‘iyaudzubillah– mereka berbalik pada wajahnya. Bahkan, kondisi ini bisa mencapai tingkat kemurtadan dan kekufuran. Mereka memprotes keputusan Allah dan takdir-Nya, membenci ketentuan-Nya, hingga akhirnya membenci Allah –wal ‘iyadzubillah. Hal ini terjadi karena sejak awal mereka tidak menghadapi musibah atau ujian yang menguji iman mereka. Akan tetapi, ketika ujian datang, iman mereka goyah, dan mereka pun berbalik pada wajahnya.
Dalam ayat-ayat ini dan yang semisalnya terdapat petunjuk bahwa seseorang hendaklah senantiasa merasa takut, khawatir, dan cemas terhadap kemungkinan hatinya menjadi menyimpang. Ia harus selalu memohon kepada Allah agar diberikan keteguhan dalam keimanan, karena tidak ada satu pun hati anak-anak Adam melainkan berada di antara dua jari dari jari-jemari Allah Yang Mahapengasih, yang membolak-balikkan hati sesuai kehendak-Nya. Jika Allah berkehendak, Dia menetapkan hati dalam kebenaran, dan jika Dia berkehendak, Dia menyesatkannya. Wal ‘iyadzubillah. Oleh karena itu, kita memohon kepada Allah, yang membolak-balikkan hati, agar Dia meneguhkan hati kita di atas ketaatan kepada-Nya.
Semoga Dia menganugerahkan kepada kita istiqamah dalam agama-Nya serta keteguhan untuk senantiasa berjalan di atasnya.
Baca juga: JUJUR DALAM UCAPAN DAN PERBUATAN
Baca juga: FITNAH ANAK, HARTA, DAN ISTRI
Baca juga: AGAMA ADALAH NASIHAT
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

