Kesehatan adalah modal dasar dalam seluruh aktivitas kehidupan. Ketika tertimpa sakit nilai kesehatan terasa sangat tinggi. Segala upaya dikerahkan dan seluruh harta dikorbankan untuk menebusnya. Bahkan tak jarang ada yang berutang. Namun jenis pengobatan yang perlu dikritik dengan menilik dari sudut pandang syariat adalah pengobatan alternatif dengan berbagai model dan metodenya yang kian merambah di berbagai tempat. Tidak sedikit masyarakat kita memanfaatkan jasa pengobatan ini tanpa berpikir apakah pengobatan ini dibolehkan oleh syariat atau tidak. Hal utama bagi mereka adalah badan kembali sehat dengan biaya relatif murah dan ringan -bila dibandingkan dengan berobat ke dokter- serta bisa kembali mengais rezeki. Apalagi di tengah keadaan ekonomi yang semakin sulit ditambah dengan biaya pengobatan yang terus membumbung tinggi, pengobatan alternatif menjadi pilihan yang dirasa tepat. Menariknya, golongan elit pun memakai jasa pengobatan ini. Ini menunjukkan bahwa motif pemakaian jasa pengobatan ini tidak semata-mata faktor ekonomi tetapi juga keyakinan. Alluhul musta’an.
Makna Pengobatan Alternatif
Pengobatan alternatif dalam lingkup pembahasan di sini adalah pengobatan yang dilakukan melalui tindakan non medis, seperti pengobatan dengan media telur. Pada pengobatan ini sang ‘ahli’ cukup duduk di studio televisi. Sang pasien mengeluhkan penyakitnya dengan menelepon. Kemudian telur digenggam dan dibacakan zikir-zikir. Parah tidaknya penyakit tergantung dari pecah tidaknya telur. Sang ‘ahli’ mampu mendiagnosis penyakit dari studio. Akhirnya pasien diminta mengambil telur dari studio untuk dilulurkan pada badan orang yang sakit. Media lainnya adalah janur (daun kelapa yang masih muda) di mana sang ‘ahli’ mengukur bagian-bagian tubuh pasien (mungkin yang dirasa sakit), lalu mengurut janur itu sampai penyakit yang menimpa diketahui. Parah tidaknya penyakit dilihat dari hitam tidaknya janur. Bila usai diurut janur tampak hitam berarti sakitnya parah. Lalu dia memberi ramuan-ramuan kepada pasien. Dan masih banyak lagi pengobatan yang sejenis. Model pengobatan seperti inilah yang kami sebut pengobatan alternatif yang memang banyak berkembang dan lebih populer dengan nama tersebut ketimbang pengobatan alternatif yang lainnya.
Dalil Disyariatkannya Berobat
Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna, mencakup segala aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya pengobatan. Itu karena di antara maqashid (tujuan) syariat adalah menjaga jiwa. Oleh karena itu, Islam memerintahkan berobat.
Orang-orang Arab badui pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?”
Beliau menjawab,
نَعَمْ، يَا عِبَادَ اللهِ، تَدَاوَوْا. فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَضَعَ لَهُ شِفَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ
“Ya, wahai hamba Allah, berobatlah! Tidaklah Allah meletakkan penyakit melainkan meletakkan pula obatnya, kecuali satu penyakit.”
Mereka bertanya, “Penyakit apa itu?”
Beliau menjawab,
الْهَرَمُ
“Penyakit pikun.” (Sahih. HR Ahmad, Ibnu Majah, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءٌ. فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ، بَرَأَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Setiap penyakit itu ada obatnya. Apabila obat tersebut menimpa penyakit maka penyakit itu akan sembuh dengan izin Allah.” (HR Muslim)
Apakah berobat menafikan (meniadakan) tawakal seorang hamba? Tentu tidak. Hal ini serupa dengan orang yang menghilangkan rasa dahaga, lapar, panas, dan dingin dengan sesuatu yang dapat menghilangkan semua itu. Bahkan tidaklah sempurna tauhid seseorang kecuali dengan melakukan sebab (sarana, yaitu berobat) yang akibatnya telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala, baik secara syar’i maupun qadari (penelitian ilmiah). Menafikan sebab berarti celaan terhadap tawakal itu sendiri.
Syarat-Syarat Pengobatan
Berobat termasuk dalam lingkar sunnatullah, yaitu sebab akibat. Dan berobat merupakan sebab (sarana)nya. Oleh karena itu, menempuh sebab harus memenuhi dua kriteria, yaitu sesuai dengan syar’i dan qadari (penelitian ilmiah).
Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Berkenaan dengan sebab ini, kita harus mengetahui tiga hal. Pertama, sebab harus sesuai dengan syar’i dan qadari (penelitian ilmiah). Kedua, tidak boleh bersandar kepada sebab, namun harus bersandar kepada yang menjadikan dan menakdirkannya disertai usaha dan bersemangat agar sebab memberi manfaat. Ketiga, harus diketahui bahwa bagaimana pun besar dan kuatnya sebab, dia tergantung kepada qada dan takdir Allah, tidak bisa lepas.”
Contoh sebab dari sudut pandang syar’i adalah minum madu dan membaca al-Qur’an.
Allah Ta’ala berfirman:
يَخْرُجُ مِنْ بُطُوْنِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ ۖفِيْهِ شِفَاۤءٌ لِّلنَّاسِ
“Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya. Di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.” (an-Nahl: 69)
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ
“Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (al-Isra’: 82)
Selain dari sudut pandang syar’i, pengobatan juga harus ditinjau dari sudut pandang qadari (penelitian ilmiah). Sebagai contoh, kita mencoba suatu obat, lalu kita rasakan bahwa obat tersebut bisa menghilangkan sakit. Namun, pengaruh itu harus jelas dan langsung, seperti berobat dengan kai (besi panas) yang dampaknya langsung terasa. Saya katakan demikian untuk menepis perkataan orang-orang, “Aku telah mencoba obat ini. Ternyata bermanfaat,” padahal pengaruhnya tidak jelas dan tidak langsung. Contoh lain adalah memakai gelang. Sebagian orang meyakini bahwa memakai gelang dapat mendatangkan manfaat. Dan memang bermanfaat. Namun, perlu diperhatikan bahwa manfaat itu timbul karena perasaan hati (sugesti). Contoh lain, seseorang membacakan al-Qur’an kepada orang yang sakit, namun sakitnya tidak sembuh. Kemudian datang orang lain yang berkeyakinan bahwa bacaannya bermanfaat. Dan ternyata bermanfaat. Si sakit merasa sembuh. Peristiwa ini serupa dengan orang yang memakai gelang. Contoh yang lain adalah orang yang mengikatkan benang. Terkadang dia bisa merasakan manfaat dari benang tersebut karena keyakinannya, padahal kesembuhan yang dirasakannya hanyalah perasaan hati (sugesti). Dan perasaan hati bukanlah metode pengobatan yang dibenarkan oleh syariat.
Jadi, suatu pengobatan dikatakan sah apabila memenuhi dua syarat: sesuai dengan syar’i dan kauni/qadari (penelitian ilmiah/medis).
Hukum Pengobatan Alternatif
Jika kita mencermati model dan metode yang dipakai dalam pengobatan alternatif seperti yang saya contohkan di atas, sangat tampak bahwa pengobatan itu tidak sah karena tidak memenuhi dua syarat di atas. Dari sudut pandang syar’i, pengobatan itu tidak didukung oleh dalil syar’i. Bahkan bila disertai dengan mantera-mantera, jampi-jampi atau kerja sama dengan jin, pengobatan itu dihukumi sebagai bentuk kesyirikan. Dan model pengobatan seperti ini sudah merebak di kalangan masyarakat. Apalagi pelaku pengobatan ini biasanya sebelumnya melakukan laku (amalan khusus untuk memperoleh keahlian tersebut, seperti puasa tertentu -misalnya ngrowot, yaitu puasa mutih, tidak berbuka kecuali dengan nasi putih dan air putih-, zikir-zikir tertentu, semadi dan lain-lain).
Selain itu, mereka juga mengklaim mengetahui perkara gaib, yaitu mengetahui penyakit pasien dengan metode yang aneh-aneh dan tidak ilmiah. Ini sangat bertentangan dengan syariat karena tidak ada yang mengetahui perkara gaib selain Allah atau para rasul yang diberi ilmu oleh Allah.
Dengan demikian, tampak jelas bahwa pengobatan alternatif yang saya maksudkan di sini tidak terlepas dari dua perkara, bidah dan syirik. Dikatakan bidah karena mengamalkan laku yang tidak ada dalilnya. Dikatakan syirik karena menggunakan mantera-mantera, kerja sama dengan jin, dan klaim (pengakuan) mengetahui ilmu gaib. Oleh karena itu, mereka digolongkan sebagai dukun.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa mendatangi tukang ramal lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka salatnya tidak diterima selama 40 malam.” (HR Muslim)
Dan juga sabdanya,
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa mendatangi dukun atau tukang ramal dan memercayai apa yang dikatakannya, maka dia telah kafir (ingkar) dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Sahih. HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil)
Pengobatan Alternatlf yang Dibolehkan
Pengobatan alternatif tidak secara mutlak dilarang. Ada beberapa pengobatan yang dibolehkan karena memenuhi dua syarat di atas, di antaranya:
✅ Rukiah, yaitu membacakan ayat-ayat al-Qur’an atau zikir-zikir kepada orang yang sakit, baik sakit panas, tersengat kala, luka, dan disihir. Namun yang harus diperhatikan dalam rukiah adalah, kita tidak boleh berkeyakinan bahwa rukiah bermanfaat dengan sendirinya tanpa adanya kehendak Allah, tidak boleh menyelisihi syariat semisal mengandung kesyirikan, seperti doa kepada selain Allah atau istighasah kepada jin dan semisalnya. Kemudian rukiah juga harus dengan bahasa Arab yang bisa diketahui dan dipahami maknanya. Jika berupa mantera-mantera atau kerja sama dengan jin maka hukumnya haram.
✅ Hijamah (bekam/cantuk), yaitu mengeluarkan darah kotor dari tubuh dengan cara menoreh kulit dengan silet atau semacamnya.
✅ Pijat refleksi, akupunktur, su’uth (memasukkan obat dari hidung seperti madu atau lainnya. Di Indonesia disebut gurah)
Baca juga: BEROBAT DENGAN YANG HALAL
Baca juga: SETIAP PENYAKIT ADA OBATNYA
Baca juga: HARAM MELAKUKAN PENGOBATAN DENGAN BENDA-BENDA HARAM
(Abu Harits as-Sidawi)