Orang yang berobat dengan benda haram telah berusaha untuk menghilangkan sakit pada badan dengan cara yang menimbulkan penyakit pada hati.
Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ، وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً، فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat. Setiap penyakit pasti ada obatnya. Maka berobatlah, dan janganlah berobat dengan benda haram.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan ad-Dulabi)
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘ahna, ia berkata: Anakku menderita sakit. Ia kubuatkan air buah di cangkir. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, air buah itu sudah basi. Beliau bertanya, “Apa ini?” Aku menjawab, “Anakku sedang sakit, dan aku membuatkan untuknya air buah.”
Beliau bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شَفَاءَ كُمْ فِيْ الْحَرَامِ
“Sesungguhnya Allah tidak menyembuhkan kalian dengan benda yang haram.” (Hadis hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, ath-Thabrani, dan Ibnu Hazm)
Dari Abdurrahman bin Utsman bahwasanya seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum katak untuk obat. Beliau melarang tabib tersebut membunuh katak. (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa-i, dan Ahmad)
Kandungan Hadis
Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata dalam Zaadul Ma’ad, “Berobat dengan benda haram adalah perbuatan buruk, baik secara akal maupun syariat. Adapun secara syariat, keharaman itu adalah berdasarkan hadis-hadis ini dan hadis-hadis lainnya. Adapun secara akal bahwasanya Allah mengharamkannya, sebab benda haram itu kotor. Sesungguhnya Allah tidak mengharamkan sesuatu yang baik sebagai hukuman terhadap umat Islam, sebagaimana mengharamkannya kepada Bani Israil dalam firman-Nya:
فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبٰتٍ اُحِلَّتْ لَهُمْ
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka.” (QS an-Nisa’: 160)”
Jadi Allah Ta’ala hanya mengharamkan bagi umat Islam benda-benda kotor saja. Dia mengharamkannya untuk memelihara dan menjaga umat Islam agar tidak mengonsumsinya. Oleh karena itu, seorang muslim tidak pantas mencari kesembuhan dari benda-benda yang dipenuhi dengan berbagai penyakit. Kalaupun ternyata benda itu berpengaruh dalam membasmi penyakit, sesungguhnya benda itu dapat menimbulkan penyakit yang lebih parah dari penyakit sebelumnya yang bersarang di hati, sebagai efek samping yang ditimbulkan oleh kotoran yang terkandung pada benda itu. Orang yang berobat dengan benda haram telah berusaha untuk menghilangkan sakit pada badan dengan cara yang menimbulkan penyakit pada hati.
Diharamkannya benda-benda kotor dijadikan obat merupakan bukti bahwa dengan cara apapun benda-benda kotor harus dijauhi dan dihindari. Menjadikannya sebagai obat berarti menganjurkan untuk menyukai dan menyentuh benda-benda kotor. Hal ini bertolak belakang dengan maksud syariat.
Selain itu, benda-benda kotor merupakan sumber penyakit, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Pemilik Syariat. Oleh karena itu, benda-benda kotor tidak boleh dijadikan obat. Selain itu, benda-benda kotor dapat menimbulkan keburukan pada tabiat dan mental. Hal itu terjadi karena tabiat sangat dipengaruhi oleh cara pengobatan. Apabila caranya kotor, maka sifat buruk muncul pada tabiat. Ini apabila caranya kotor. Lalu, bagaimana jika bendanya kotor? Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengharamkan bagi hamba-hamba-Nya makanan, minuman, dan pakaian kotor. Alasannya adalah karena jiwa akan menyerap bentuk dan sifat kotor pada benda-benda itu.
Selain itu, pembolehan berobat dengan benda haram, terutama jika nafsu condong kepada benda haram, merupakan sarana bagi nafsu untuk meraih syahwat dan kelezatan. Apalagi jika nafsu mengetahui bahwa benda haram itu berkhasiat menghilangkan penyakit dan mendatangkan kesembuhan. Tentunya ini merupakan suatu hal yang paling ia sukai.
Syariat menutup semua kemungkinan agar nafsu tidak mendapatkan peluang seperti ini. Tidak syak lagi bahwa antara menutup hal-hal yang menjurus kepada syahwat dan membuka semua hal yang menjurus kepada syahwat merupakan dua perkara yang saling bertentangan. Di sinilah letak rahasia mengapa tidak dibenarkan berobat dengan menggunakan benda haram. Syarat penyembuhan dengan obat adalah obat tersebut harus cocok, diyakini manfaat dan keberkahannya sehingga mampu menyembuhkan penyakit. Benda yang bermanfaat adalah benda yang mengandung berkah, dan benda yang paling bermanfaat adalah yang paling banyak berkahnya. Seorang yang diberkahi dimanapun ia berada akan bermanfaat bagi orang lain.
Sudah dimaklumi bahwa keyakinan seorang muslim terhadap haramnya suatu benda menghalanginya berbaik sangka terhadap benda itu dan tidak diterima oleh tabiatnya. Semakin tebal keimanan seorang hamba, semakin besar kebenciannya dan semakin buruk keyakinannya terhadap benda itu. Nalurinya pun ikut membencinya. Jika dalam keadaan seperti ini ia menelan obat haram, maka obat itu akan menjadi penyakit baginya, bukan obat, kecuali jika keyakinan akan kotornya benda itu pupus, prasangka buruk terhadap benda itu lenyap, dan perasaan benci terhadap benda itu berubah menjadi suka. Ini bertentangan dengan keimanan. Sudah barang tentu seorang mukmin tidak akan mengonsumsinya kecuali dengan keyakinan bahwa benda itu adalah penyakit.
Baca juga: BEROBAT DENGAN YANG HALAL
Baca juga: CARA MENGOBATI PENYAKIT ‘AIN
Baca juga: LARANGAN MENCUKUPKAN DIRI DENGAN AL-QUR’AN DAN MENINGGALKAN SUNAH NABI
(Syekh Salim bin ‘Ied-al-Hilali)