LARANGAN MENCUKUPKAN DIRI DENGAN AL-QUR’AN DAN MENINGGALKAN SUNAH NABI

LARANGAN MENCUKUPKAN DIRI DENGAN AL-QUR’AN DAN MENINGGALKAN SUNAH NABI

Seorang muslim tidak cukup berpegang dengan al-Qur’an saja, tetapi juga dengan as-Sunnah.

Diriwayatkan dari al-Miqdam bin Ma’di Karib al-Kindi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ، أَلَا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ: عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ، فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ، وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ، أَلَا لَا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الْأَهْلِيِّ وَلَا كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السَّبُعِ، وَلَا لُقَطَةُ مُعَاهِدٍ إِلَّا أَنْ يَسْتَغْنِيَ عَنْهَا صَاحِبُهَا، وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوهُ، فَإِنْ لَمْ يَقْرُوهُ فَلَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ

Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Qur’an dan yang semisalnya bersamanya. Ketahuilah, hampir tiba saat munculnya seorang laki-laki dalam keadaan kenyang yang bersandar di atas sofanya, lalu berkata,Hendaklah kalian mengikuti al-Qur’an ini. Halalkanlah perkara halal yang kalian dapati di dalamnya, dan haramkanlah perkara haram yang kalian dapati di dalamnya. Ketahuilah, sesungguhnya keledai piaraan tidak halal bagi kalian. Demikian pula setiap binatang buas yang bertaring. Tidak halal bagi kalian barang (temuan) milik kafir mu’ahid yang tercecer, kecuali si pemilik tidak membutuhkannya lagi. Barangsiapa singgah di tempat suatu kaum, hendaklah mereka menjamunya. Jika mereka tidak menjamunya, maka ia boleh membalasnya sama seperti perbuatan mereka.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Abdil Barr, al-Khathib, Ibnu Nashr al-Marwazi, dan al-Baihaqi)

Sabda beliau, “yang semisalnya”, maksudnya adalah as-Sunnah. Kedudukannya sama seperti al-Qur’an, sebagai pedoman dasar yang kewajiban-kewajiban yang terdapat di dalamnya wajib ditaati dan dilaksanakan.

Kandungan Hadis

1️⃣ Ini merupakan salah satu tanda kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan benar-benar telah terjadi. Kita telah menyaksikan sendiri kebenarannya.

al-Baihaqi berkata dalam Dala’ilun Nubuwwah, “Ini merupakan kabar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang munculnya ahli bidah yang menolak hadis beliau. Lalu kebenarannya dapat ditemui sepeninggal beliau.”

Kemudian ia melanjutkan, “Bab sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa akan muncul seorang laki-laki dalam keadaan kenyang di atas sofanya yang berusaha menolak sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merasa cukup dengan perkara halal dan haram yang disebutkan dalam al-Qur’an tanpa mengikuti sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau sabdakan ini benar-benar terjadi. Dengan alasan mencukupkan diri dengan al-Qur’an, bermunculanlah orang-orang yang berbuat bidah, dan bermunculanlah kesesatan-kesesatan.”

al-Mubarakfuri berkata dalam Tuhfatul Ahwadzi, “Hadis ini merupakan salah satu tanda kebenaran nubuwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh, apa yang beliau kabarkan benar-benar terjadi. Sekarang ini muncul seorang laki-laki di Punjab, Pakistan yang menyebut dirinya ahli al-Qur’an. Pengakuannya sungguh jauh berbeda. Ia sebenarnya adalah ahli ilhad. Sebelumnya ia adalah seorang yang saleh, namun kemudian setan menyesatkannya dan menjauhkannya dari jalan yang lurus. Ia melontarkan perkataan yang tidak pernah diucapkan oleh kaum muslimin terdahulu. Ia menolak seluruh hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Katanya, seluruh hadis tersebut adalah dusta dan kebohongan terhadap Allah. Menurutnya, yang wajib diamalkan adalah apa yang tercantum dalam al-Qur’an, bukan yang tercantum dalam hadis, meskipun hadis tersebut sahih mutawatir. Tidak boleh mengamalkan kecuali apa yang disebutkan dalam al-Qur’an. Barangsiapa tidak melakukannya, maka akan terkena ancaman:

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ

Barangsiapa tidak memutuskan (urusan) menurut apa yang diturunkan Allah, mereka adalah orang-orang yang kafir.’ (QS al-Ma’idah: 44)

Dan masih banyak perkataan-perkataan kufur lainnya. Lalu orang-orang jahil mengikuti perkataan tersebut dan menjadikannya imam. Para ulama telah mengeluarkan fatwa atas kekafiran orang ini dan mengeluarkannya dari Islam. Dan memang, kenyataannya seperti yang mereka katakan itu.”

Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Syekh Abul Hasan Ubaidullah bin Muhammad dalam Mir’atul Mafatih. Ia berkata, “Hadis ini merupakan salah satu tanda nubuwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan benar-benar terjadi sebagaimana yang telah disaksikan oleh penduduk India dan sekitarnya, terutama penduduk di wilayah Punjab Pakistan.”

al-Azhim al-Abadi berkata dalam Aunul Ma’bud, “Mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini telah tampak kebenarannya, dan apa yang beliau kabarkan benar-benar telah terjadi. Telah muncul seorang laki-laki di wilayah Punjab India…,” kemudian beliau menyebutkan seperti yang dikatakan oleh al-Mubarakfuri.

Pengaruh mukjizat nabawi ini terlihat jelas pada dua perkara penting:

Pertama: Mukjizat ini menegaskan keabsahan eksistensi as-Sunnah ash-Sahihah dengan sangat gamblang tanpa dapat dihapus oleh syubhat apa pun yang dihembuskan oleh musuh-musuh as-Sunnah.

Kedua: Mukjizat ini menegaskan bahwa as-Sunnah ash-Sahihah merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah Ta’ala. Kebenaran mukjizat ini terbukti setelah (lewat/berakhirnya) zaman nubuwah. Nyatalah kebenaran perkara gaib yang beliau katakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengetahui perkara gaib kecuali apa yang Allah perlihatkan kepada beliau.

Oleh sebab itu, seorang muslim harus memegang teguh sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Ia harus membelanya dengan seluruh harta, jiwa, dan raganya.

2️⃣ Hadis ini menjelaskan kedudukan as-Sunnah dalam Islam, menjelaskan bahwa seorang muslim tidak cukup berpegang dengan al-Qur’an saja tanpa as-Sunnah. Juga menjelaskan bahwa syariat Islam bukan hanya al-Qur’an, tetapi al-Qur’an dan as-Sunnah.

3️⃣ Hadis ini juga menetapkan bahwa as-Sunnah kedudukannya sama dengan al-Qur’an dalam perkara berikut:

(1) Sebagai pedoman dan standar;

(2) Kewajiban menaati isinya;

(3) Keharusan menjalankan kewajiban yang ditetapkan di dalamnya;

(4) Sebagai wahyu dari sisi Allah.

Ibnu Hazm berkata dalam al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, “Benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, as-Sunnah sama seperti al-Qur’an. Tidak ada perbedaan antara keduanya, yakni wajib ditaati isinya. Dan Mahabenar Allah yang telah berfirman:

مَنْ يُّطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ اَطَاعَ اللّٰهَ

Barangsiapa menaanti Rasul, seungguhknya ia telah menaati Allah.” (QS an-Nisa’: 80)

as-Sunnah sama seperti al-Qur’an, yakni keduanya merupakan wahyu dari Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰى

Dan tiadalah yang diucapkannya itu (alQuran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS an-Najm: 3-4)

Jadi, as-Sunnah berperan dalam

(1) menafsirkan al-Qur’an,

(2) membatasi perkara-perkara yang mutlak dalam al-Qur’an,

(3) mengkhususkan perkara-perkara yang umum dalam al-Qur’an,

(4) merinci perkara-perkara yang global dalam al-Qur’an,

(5) menjelaskan perkara-perkara yang mubham (samar) dalam al-Qur’an,

(6) menasakh (menghapus) beberapa hukum dalam al-Qur’an,

(7) menerangkan perkara-perkara yang muskil (sulit) dalam al-Qur’an.

4️⃣ Wajib hukumnya menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab hadis beliau secara tersendiri merupakan hujah. al-Baghawi berkata dalam Syarhus Sunnah, “Hadis tersebut merupakan dalil bahwa hadis tidak perlu dikonfirmasi lagi dengan al-Qur’an, sebab hadis itu sendiri merupakan hujah.”

5️⃣ Sunah nabawiah datang dengan membawa hukum-hukum syar’i sebagai tambahan dari hukum-hukum yang disebutkan dalam al-Qur’an.

6️⃣ as-Sunnah ash-Sahihah mencakup penetapan hukum Islam yang lima, yakni wajib, haram, mustahab, makruh, dan mubah.

7️⃣ Khabar ahad merupakan hujah dengan sendirinya dalam penetapan hukum syariat ataupun dalam penetapan akidah.

al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata dalam Mukhtashar ash-Shawa’iqul Mursalah, “Hadis Abu Rafi yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,

لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَ كُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيْكَتِهِ يَأْتِيْهِ الْأَمْرُ مِنْ أَمْرِي مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُوْلُ: لَا نَدْرِيْ مَا هَذَا، بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْقُرْآنُ، أَلَا إِنّيِ أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ

Jangan sampai aku mendapati seorang dari kalian duduk bersandar di atas sofanya, sampai kepadanya sebuah perkara dariku lalu berkata, Aku tidak tahu apa maksudnya ini? Di hadapan kami dan di hadapan kalian terdapat al-Qur’an.’ Ketahuilah, sesungguhnya aku telah diberi al-Qur’an dan yang semisalnya bersamanya.’’

Bentuk pengambilan dalil dari hadis di atas adalah bahwasanya larangan tersebut berlaku umum yang meliputi semua orang yang sampai kepadanya hadis sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu menyelisihinya atau mengatakan, “Aku menerima al-Qur’an saja.” Sesungguhnya menerima hadis dan sunah beliau merupakann sebuah keharusan dan kewajiban. Hadis ini merupakan berita dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa as-Sunnah merupakan wahyu yang Allah turunkan kepada beliau. Seandainya as-Sunnah tidak memberi faedah ilmu, tentu orang-orang yang sampai kepadanya as-Sunnah akan mengatakan, “Ia hanyalah khabar ahad, tidak memberi faedah ilmu. Aku tidak wajib menerima berita yang tidak kuketahui kesahihannya. Allah tidak membebankan diriku untuk meyakini sesuatu yang belum dapat kuketahui kebenarannya.”

Bahkan ucapan seperti itulah yang telah diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya orang yang mengatakan “Hadis Nabi tidak memberi faidah ilmu (belum dapat diyakini keotentikannya dan keabsahannya),” pada hakikatnya sama seperti orang yang mengatakan, “Aku tidak tahu apa maksud hadis-hadis ini?” Pendahulu mereka telah mengatakan “Di hadapan kita ada al-Qur’an”, sedangkan sekarang mereka mengatakan “Di hadapan kita ada argumentasi-argumentasi akal.” Dan benar, mereka telah menyatakan demikian. Mereka mengatakan “Kita mendahulukan kaidah akal daripada hadis-hadis ini, baik yang mutawatir maupun yang ahad. Kita mengedepankan analogi akal daripada hadis-hadis.”

Baca juga: MENCUKUPKAN DIRI DENGAN MENGIKUTI RASULULLAH SAJA

Baca juga: PENGERTIAN AHLI SUNAH WALJAMAAH

Baca juga: TUNDUK KEPADA SUNAH DAN MENGIKUTINYA

Baca juga: GOLONGAN YANG SELAMAT

(Syekh Salim bin ‘Ied-al-Hilali)

Akidah