MENCUKUPKAN DIRI DENGAN MENGIKUTI RASULULLAH SAJA

MENCUKUPKAN DIRI DENGAN MENGIKUTI RASULULLAH SAJA

Dari Abdullah bin Tsabit, ia berkata: Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melewati saudaraku dari Bani Quraizhah. Ia menulis untukku beberapa kalimat singkat dari Taurat. Bolehkah aku memperlihatkannya kepadamu?”

Seketika itu wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah.

Abdullah bin Tsabit berkata kepada Umar, “Tidakkah kau lihat perubahan pada wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Umar berkata, “Kami rela Allah Ta’ala sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasul.”

Maka meredalah kemarahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda,

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَوْ أَصْبَحَ فِيكُمْ مُوسَى، ثُمَّ اتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُونِي، لَضَلَلْتُمْ، إِنَّكُمْ حَظِّي مِنَ الْأُمَمِ، وَأَنَا حَظُّكُمْ مِنْ النَّبِيِّينَ

Demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sekiranya Musa berada di tengah-tengah kalian, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, niscaya kalian akan tersesat. Kalian adalah bagianku dari umat manusia dan aku adalah bagian kalian dari para nabi.” (HR Ahmad)

PENJELASAN

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat bahwa seandainya Nabi Musa ‘alaihissalam masih hidup dan para sahabat mengikutinya, maka para sahabat pasti tersesat. Padahal Nabi Musa adalah utusan Allah dan Kalim-Nya yang diajak berbicara langsung oleh Allah Ta’ala. Hal itu karena masa kenabian Nabi Musa telah berakhir.

Seandainya kaum muslimin mengikuti Nabi Musa ‘alaihissalam sesudah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, maka kaum muslimin pasti tersesat. Mahasuci Allah. Mereka tersesat, walaupun yang diikuti adalah seorang rasul. Demikianlah. Mereka tersesat, walaupun yang diikuti adalah Nabi Musa, karena masa agama Nabi Musa telah habis, dan masa rasul baru telah tiba, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Manusia berkutat pada perintah Allah di mana pun berada. Tetapi, Allah Ta’ala telah menghapus syariat-syariat terdahulu dan menggantinya dengan syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, manusia wajib mengamalkan syariat yang menasakh (menghapus), dan tidak boleh lagi mengamalkan syariat yang dinasakh (mansukh). Seandainya saat ini ada seorang muslim yang masih salat menghadap Baitul Maqdis, dan berkata bahwa Baitul Maqdis adalah kiblat, sebagaimana Ka’bah adalah kiblat, maka kami katakan, “Salatmu batal, tidak sah, karena kamu menghadap ke Baitul Maqdis yang sudah dinasakh sebagai kiblat dan diganti dengan Ka’bah. Kamu harus mengikuti perintah Allah Ta’ala, bukan menuruti hawa nafsumu. Bila sesuatu telah dinasakh, maka ia (gugur) dan tidak boleh diamalkan.”

Demikian juga terhadap ajaran agama lainnya, seseorang tidak boleh berkata, “Aku akan mengamalkan Taurat, hanya saja ia telah dinasakh dan diselewengkan.” Bila diasumsikan bahwa Taurat tidak diselewengkan, maka tetap saja ia tidak boleh diamalkan, karena ia sudah dinasakh. Taurat, baik dalam keadaan dinasakh atau diselewengkan, tidak boleh diamalkan. Demikian juga Injil. Ia tidak boleh diamalkan, baik dalam keadaan dinasakh atau diselewengkan. Yang boleh diamalkan hanyalah al-Quran yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Agama adalah milik Allah. Agama tidak berdasarkan hawa nafsu, keinginan, dan syahwat.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seandainya Nabi Musa masih hidup.” Beliau adalah Nabi bagi Bani Isra’il yang paling utama. Beliau adalah Kalimullah. Seandainya beliau masih hidup saat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, maka beliau tidak mempunyai keleluasaan dalam memilih, kecuali mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak akan tetap memegang syariatnya, karena syariatnya telah dinasakh dan telah berakhir. Kewenangan (berkaitan dengan agama) berada di Tangan Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

يَمْحُوا اللّٰهُ مَا يَشَاۤءُ وَيُثْبِتُ ۚوَعِنْدَهٗٓ اُمُّ الْكِتٰبِ

Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki). Dan di sisiNya terdapat Ummul Kitab (Lauhul Mahfuzh).” (QS ar-Ra’d: 39)

Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami rela Allah Ta’ala sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasul.” Kalimat inilah yang wajib diucapkan oleh seseorang. Bila ia telah mengetahui kebenaran dengan jelas, maka hendaklah ia tidak membantah dan tidak menunda-nunda supaya dia tidak tersesat.

Inilah Umar radhiyallahu ‘anhu. Ia mengikuti kebenaran. Walaupun awalnya ia menyangka bahwa kertas Taurat berisi kebenaran yang membuatnya takjub kepadanya, akan tetapi, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kebenaran kepadanya dengan penjelasan yang jelas, maka ia menerima kebenaran itu dan berkata, “Kami rela Allah Ta’ala sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasul.”

Allah Ta’ala berfirman:

وَنُقَلِّبُ اَفْـِٕدَتَهُمْ وَاَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوْا بِهٖٓ اَوَّلَ مَرَّةٍ وَّنَذَرُهُمْ فِيْ طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُوْنَ

Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka, seperti pertama kali mereka tidak beriman kepadanya (al-Quran). Dan Kami biarkan mereka bingung dalam kesesatan mereka.” (QS al-An’am: 110)

Di sini terkandung batilnya mengikuti selain al-Qur’an dari kitab-kitab terdahulu, karena ia sudah dinasakh dengan al-Qur’an.

Baca juga: LARANGAN MENCUKUPKAN DIRI DENGAN AL-QUR’AN DAN MENINGGALKAN SUNAH NABI

Baca juga: HAKIKAT AGAMA ISLAM

Baca juga: AGAMA ISLAM TELAH SEMPURNA

(Syekh Dr Shalih bin Fauzan al-Fauzan)

Akidah