Di antara hak anak atas orang tua adalah ayah memilihkan calon ibunya. Hal itu karena pada dasarnya pendidikan anak bersandar pada pemilihan istri yang saleh, penyayang, pandai mengurus dan mengasuh anak-anaknya, memahami cara mendidik dan mempersiapkan mereka, berkeinginan kuat untuk menanamkan iman ke dalam jiwa mereka, membentuk akhlak mereka, membina mereka untuk menjadi manusia yang tumbuh dalam pembentukan kesadaran akan adanya pengawasan Allah Ta’ala kepadanya (muragabah), serta memahami hak-hak orang tua dan hak-hak sesama. Istri ibarat tanah tempat persemaian bibit tanaman. Jika istri orang yang saleh, maka ia akan menumbuhkan tanaman dengan baik.
Allah Ta’ala berfirman:
وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهٗ بِاِذْنِ رَبِّهٖۚ وَالَّذِيْ خَبُثَ لَا يَخْرُجُ اِلَّا نَكِدًاۗ كَذٰلِكَ نُصَرِّفُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّشْكُرُوْنَ
“Dan tanah yang baik. Tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah. Dan tanah yang tidak subur. Tanaman–tanamannya hanya tumbuh merana.” (GS al-A’raf: 58)
Abu al-Aswad ad-Du’ali berkata kepada anak-anaknya, “Wahai anak-anakku, aku telah berbuat baik kepada kalian di waktu kalian kecil, dewasa, dan sebelum kalian lahir.” Mereka bertanya, “Bagaimana demikian?” Ia menjawab, “Aku mencarikan untuk kalian tempat dari kalangan perempuan yang dengan itu kalian tidak dicela.”
Orang bijak berkata, “Jauhilah orang bodoh, karena anak dari orang yang bodoh akan terlantar, dan berteman dengannya merupakan bencana.”
Tujuan pernikahan adalah untuk menciptakan pergaulan dan pendidikan. Orang bodoh tidak menguntungkan untuk pergaulan dan tidak pula pandai mendidik. Boleh jadi kebodohannya menjalar kepada anak-anaknya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada umatnya agar mereka memilih istri yang saleh yang mampu melaksanakan tugas dengan baik, cerdas dan beradab, mempunyai garis keturunan terhormat, serta lingkungan keluarga yang baik dan berakhlak mulia. Itu semua berpengaruh besar terhadap pertumbuhan anak, kelurusan agamanya, kebaikan perilakunya, dan kemuliaan akhlaknya.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَخَيَّرُوا لِنُطَفِكُمْ فَانْكِحُوْا الْأَكْفَاءَ وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِمْ
“Memilihkan untuk nutfah kalian, lalu nikahilah perempuan yang sepadan, dan nikahkanlah mereka.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan al-Hakim dan ia mengatakan bahwa hadis ini sahih isnad)
Jika ternyata dikaruniai istri yang tidak saleh, maka suami berkewajiban memperbaikinya dengan sekuat tenaga agar ia dan anak-anaknya hidup bahagia.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ. فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang bergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, hendaklah setiap kalian melihat siapa temannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ahmad, dan al-Hakim dan ia menilai derajat hadis ini sahih. at-Tirmidzi menilainya hadis sahih)
Istri adalah teman bergaul yang senantiasa menemani, yang pengaruhnya sangat kuat pada suami dan anak-anaknya. Jika ia perempuan yang taat beragama dan baik, maka ia akan membantu suami dan anak-anaknya pada kebaikan dan mengarahkan mereka ke sana. Jika ia bukan perempuan yang taat beragama dan baik, maka ia akan menjadi penyebab buruk bagi agama dan dunia mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ
“Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin adalah lebih baik daripada perempuan musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS al-Baqarah: 221)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan umatnya untuk memerhatikan hal ini dan menganjurkan mereka menikah dengan perempuan yang taat beragama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِاَرْبَعٍ: لِمَالِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Orang perempuan dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kecantikannya, karena kedudukannya, dan karena agamanya. Oleh karena itu, pilihlah perempuan yang mempunyai agama, niscaya kedua tanganmu berdebu (kiasan untuk orang yang sudah bekerja keras di ladang dengan berlumuran tanah; tinggal menanti hasilnya yang baik-ed.).” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah istri yang saleh.” (HR Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa sifat terpenting yang dituntut pada seorang istri adalah kesalehan, karena kesalehan merupakan penyebab kesalehan suami dan anak-anaknya. Selain itu, kesalehan menjadi pendorong baginya untuk menunaikan hak-hak suami dan anak-anaknya dan mempersiapkan media kehangatan dan kebaikan untuk mereka. Dengan demikian, istri memperoleh kebahagiaan dengan mereka dan mereka memperoleh kebahagiaan dengannya. Ia menjadi penyebab keberuntungan mereka di dunia dan di akhirat.
Seorang laki-laki menemui Umar bin al-Kaththab radhiyallahu ‘anhu untuk mengeluhkan kedurhakaan putranya. Umar memerintahkan anak laki-laki itu untuk menghadap. Umar mencela kedurhakaan anak itu kepada ayahnya.
Anak itu bertanya, “Bukankah seorang anak memiliki hak atas ayahnya?”
Umar menjawab, “Ya.”
Anak itu bertanya lagi, “Apa haknya, wahai Amirul Mukminin?”
Umar menjawab, “Memilih (perempuan untuk menjadi calon) ibunya yang saleh, memberinya nama yang baik, dan mengajarkan kepadanya al-Kitab (al-Qur’an).”
Anak itu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku sama sekali tidak menunaikan itu semua. Ibuku seorang budak hitam yang sebelumnya milik seorang laki-laki majusi. Ayahku memberiku nama Ju’al (kura-kura hitam). Ia belum pernah mengajariku al-Kitab satu huruf pun!”
Umar menoleh kepada laki-laki itu dan berkata, “Engkau datang kepadaku mengeluhkan kedurhakaan anakmu kepadamu, padahal engkau lebih dulu durhaka kepadanya sebelum ia durhaka kepadamu, dan engkau memperlakukannya buruk sebelum ia memperlakukanmu buruk!”
Dalam kasus ini terdapat pelajaran dan hikmah bahwa orang yang bahagia adalah orang yang lurus dengan orang lain, sedangkan orang yang sengsara adalah orang yang merasa lurus dengan sendirinya.
Baca juga: HAK ANAK ADALAH ORANG TUA MEMILIHKAN NAMA YANG BAIK UNTUKNYA
Baca juga: SIKAP SUAMI JIKA MELIHAT PADA ISTRINYA SESUATU YANG TIDAK DISUKAI
Baca juga: BERBAKTI KEPADA ORANG TUA SETELAH MEREKA WAFAT
Baca juga: KISAH KARAMAH SUAMI ISTRI YANG KELAPARAN
(Abdul Aziz bin Fauzan bin Shalih al-Fauzan)