Nama adalah pengenal bagi pemiliknya yang menunjukkan simbol yang membedakan antara dirinya dan orang lain, yang merupakan sarana untuk saling mengenal. Nama adalah hiasan dan kesempurnaan, simbol yang mengekspresikan jati diri, cerminan agama, syiar untuk memanggil di dunia dan di akhirat. Bagi seseorang, nama memiliki asumsi-asumsi dan indikator-indikator. Bagi seseorang, nama ibarat pakaian. Jika terlalu pendek, pakaian terlihat buruk. Jika terlalu panjang, pakaian juga terlihat buruk.
Seringkali nama dan pemiliknya saling terkait dan berkesesuaian di antara keduanya. Ini merupakan perkara yang diilhamkan oleh Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya dan ditetapkan dengan kekuasaan-Nya.
Ungkapan umum yang beredar menyatakan bahwa nama-nama turun dari langit dimana hampir tidak dijumpai nama buruk melainkan dengan pemiliknya berkesesuaian.
Iyas bin Muawiyah dan yang lainnya melihat seseorang, kemudian berkata, “Nama orang itu begini dan begitu.” Dan mereka nyaris tidak pernah salah.
Ibnu al-Qayyim berkata bahwa Abu al-Fath bin Jinni menuturkan, “Telah berlalu di hadapanku suatu masa sementara aku mendengar nama yang aku tidak tahu artinya. Lalu aku mengambil artinya dari lafaznya. Kemudian aku mengetahuinya. Ternyata artinya persis atau mendekati pemilik nama itu.” Kemudian aku ceritakan hal itu kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ia berkata, “Itu sering terjadi padaku.”
Di tempat lain Ibnu al-Qayyim berkata, “Orang yang mencermati sunah akan menjumpai bahwa arti yang terkandung pada nama-nama berkaitan dengan sunah hingga seolah-olah arti itu terambil dari sunah. Nama-nama diambil dari maknanya. Oleh karena itu, perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَسْلَمُ سَالَمَهَا اللَّهُ، وَغِفَارٌ غَفَرَ اللَّهُ لَهَا، وَعُصَيَّةُ عَصَتْ اللَّهَ
“Bani Aslam karena diselamatkan oleh Allah, Bani Ghifar karena diampuni oleh Allah, Bani Ushayyah karena bermaksiat kepada Allah.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak senang dengan nama buruk dan sangat membencinya, baik nama itu untuk orang maupun untuk tempat, suku atau lainnya. Beliau mengganti banyak nama dengan nama yang baik yang berlawanan dengan maknanya, atau dengan sebutannya yang dekat dengannya tetapi mempunyai makna yang baik.
Abu Dawud berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengganti nama al-Ash, Aziz, Atalah, Syaithan, al-Hakam, Ghurab, Hubab, dan Syihab, lalu mengubahnya menjadi Hisyam, mengganti Harb menjadi Silm (damai), mengganti al-Mudhthaji menjadi al-Munba’its, mengganti sebidang tanah yang bernama Afira’ dengan Khudhrah, mengganti marga Dhalalah dengan marga Huda, mengganti Bani az-Zinyah dengan Bani ar-Risydah, mengganti Bani Mughwiyyah dengan Bani Rusydah.” Abu Dawud berkata, “Untuk mempersingkat aku tidak menyebutkan isnadnya.”
Jika mengganti nama yang buruk dengan nama yang baik disyariatkan, maka memberi sesuatu dengan nama yang baik merupakan perkara yang lebih utama dan lebih antisipatif. Jadi, merupakan suatu keharusan mengubah nama yang secara akal dipandang buruk dan menurut cita rasa tidak sedap menjadi nama yang baik. Sebab, cita rasa manusia cenderung pada nama yang baik dan bagi manusia pada umumnya lebih sempurna dan lebih indah.
Dari uraian di atas maka jelaslah bahwa salah satu hak anak atas orang tuanya adalah orang tua memilihkan untuknya nama yang baik, baik sebutannya maupun artinya, dalam kerangka syariah dan aturan bahasa yang benar. Dengan demikian, sebaiknya orang tua memilih nama yang mudah dan jelas; mudah diucapkan, enak didengar, dan baik artinya yang sesuai dengan pemilik nama, yang berlaku di tengah nama-nama masyarakat, yang sesuai dengan agamanya, yang tidak mengandung hal-hal yang diharamkan oleh syariah atau tidak disukainya.
al-Mawardi berkata, “Apabila bayi dilahirkan, maka kemuliaan dan kehormatan pertama yang ia peroleh adalah pemberian nama yang baik, nama panggilan yang lembut dan mulia. Hal itu karena nama yang baik mempunyai pengaruh pada jiwa saat pertama kali mendengarnya.”
Demikian pula, Allah Ta’ala memerintahkan dan mewajibkan para hamba-Nya memanggil-Nya dengan nama panggilan yang baik.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَاۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اَسْمَاۤىِٕهٖ
“Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya.” (QS al-A’raf: 180)
Allah Ta’ala juga memerintahkan para hamba-Nya membubuhkan untuk-Nya sifat-sifat yang agung seraya berfirman:
قُلِ ادْعُوا اللّٰهَ اَوِ ادْعُوا الرَّحْمٰنَۗ اَيًّا مَّا تَدْعُوْا فَلَهُ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى
“Katakanlah, ‘Serulah Allah atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asmaul husna (nama-nama terbaik).’” (QS al-Isra’: 110)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih nama anak-anaknya dengan pilihan yang sangat cermat dan lebih memilih nama yang paling baik.
Dalam menafsirkan firman Allah Ta’ala tentang Nabi Yahya ‘alaihissalam, “Kami belum pernah membuat suatu nama untuknya sebelum itu.” (QS Maryam: 7) al-Qurthubi mengemukakan bahwa dalam ayat ini terdapat petunjuk yang menjadi saksi bahwa nama-nama yang indah patut dipilih. Dengan nama-nama indah orang-orang Arab terdahulu berhati-hati dalam memberi nama, sebab yang demikian itu lebih disadari dan lebih bersih sehingga di antara mereka ada yang mengatakan, “Nama-nama indah memanjangkan kain yang merah, menyentuh tanah dengan rumbai-rumbai.”
al-Marwazi meriwayatkan dari Ibnu al-Mubarak bahwa Sufyan ats-Tsauri berkata, “Hak anak atas orang tuanya adalah orang tua memberinya nama yang baik, menikahkannya bilamana ia telah dewasa, dan memberinya perididikan yang baik.”
Baca juga: HAK ANAK ADALAH AYAH MEMILIHKAN CALON IBUNYA
Baca juga: RIDA DAN MURKA ALLAH ADA PADA KERIDAAN DAN KEMURKAAN ORANG TUA
Baca juga: PENDIDIKAN ANAK
(Abdul Aziz bin Fauzan bin Shalih al-Fauzan)