Banyak pedagang ingin memperoleh keuntungan yang berlimpah dengan cara-cara yang dilarang Islam. Di antaranya adalah dengan mengurangi takaran dan timbangan. Mereka menyiapkan timbangan khusus yang membuat pembeli barang darinya mendapatkan kuantitas barang yang kurang dari semestinya. Mereka menyiapkan timbangan khusus yang membuat orang yang menjual barang kepadanya merugi karena telah menjual barang dengan kuantitas yang lebih banyak dari semestinya. Praktek kecurangan seperti ini sama dengan mengambil harta orang lain dengan cara batil. Kecurangan seperti ini juga telah ada sebelum Islam datang.
Allah Ta’ala berfirman:
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَۖ وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَ
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang–orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS al-Muthaffifin: 1-3)
Kata al-muthaffifin ditafsirkan dengan ayat selanjutnya, yaitu mereka yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi secara sempurna, tidak boleh ada kekurangan. Namun saat menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka malah mengurangi. Bisa jadi dengan menggunakan alat takar atau timbangan yang telah mereka curangi. Mereka bisa pula berbuat curang dengan tidak menyempurnakan takaran atau timbangan atau semisal dengan itu. Ini sama saja dengan merampas harta manusia secara batil.
Jika ancaman terhadap orang yang berbuat curang dalam timbangan atau takaran adalah seperti itu, bagaimana dengan ancaman terhadap orang yang merampas atau mencuri? Tentu ancaman terhadap orang yang merampas atau mencuri lebih parah dari ancaman terhadap al–muthaffifin. Demikianlah penjelasan dari Syaikh as-Sa’di dalam kitab tafsirnya.
Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-’Azhim mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-muthaffifin adalah berbuat curang dalam menakar dan menimbang. Bentuknya bisa berupa meminta ditambah ketika orang lain menimbang untuknya, bisa pula berupa meminta dikurangi ketika dia menimbang untuk orang lain. Itulah mengapa akibat bagi orang-orang seperti itu adalah sangat pedih, yaitu kerugian dan kebinasaan. Itulah yang dinamakan dengan wail.
Ibnu Katsir juga berkata, “Allah membinasakan dan menghancurkan kaum Syu’aib karena mereka berbuat curang dalam takaran dan timbangan.”
Wail menurut Tafsir al-Jalalain adalah kalimat yang menunjukkan siksa atau lembah di Jahanam.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, penduduk kota itu sering curang dalam takaran. Oleh karena itu, turun ayat ‘celakalah al-muthaffifin’. Setelah itu, mereka memperbagus takaran mereka. (HR an-Nasa-i. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam Sunan Ibnu Majah)
Ayat lain yang membicarakan perintah untuk bagus dalam takaran atau timbangan adalah:
وَاَوْفُوا الْكَيْلَ اِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوْا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيْمِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kalian menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (QS al-Isra’: 35)
وَاَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ بِالْقِسْطِۚ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا
“Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.” (QS al-An’am: 152)
وَاَقِيْمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيْزَانَ
“Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS ar-Rahman: 9)
Semoga Allah memberi hidayah kepada pedagang yang jujur. Hanya Allah yang memberi taufik.
Ancaman bagi yang Curang
Hukuman bagi orang yang berbuat curang dalam menakar dan menimbang sangat banyak. Ada yang Allah berikan di dunia dan ada yang Allah timpakan di akhirat. Di antara hukuman itu adalah:
🟠 Azab yang pedih di akhirat
Hal ini sebagaimana pemaparan di atas pada surat al-Muthaffifin ayat pertama, di mana para ahli tafsir menafsirkan “kecelakaan bagi yang berbuat curang” dengan azab yang pedih di akhirat.
🟠 Azab secara keseluruhan
Jika curang dalam takaran dan timbangan telah membudaya, maka Allah akan mengazab manusia secara keseluruhan.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kami lalu bersabda,
يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ، خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ ـ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ ـ وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلَّا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ
“Wahai orang–orang muhajirin, ada lima perkara yang jika kalian tertimpa dengan itu -dan aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak tertimpa dengan itu– …” (lalu beliau berkata) “…dan tidaklah orang-orang mengurangi takaran dan timbangan melainkan mereka tertimpa paceklik, kesusahan (dalam memenuhi) kebutuhan dan kejahatan penguasa…” (HR Ibnu Majah)
Meski hari ini makanan dan minuman mudah diperoleh, tetapi biaya hidup naik meroket; mulai dari kebutuhan pangan seperti beras dan sayuran hingga listrik dan air. Semua itu terasa berat, terutama bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan dan gaji tetap.
Banyak penguasa di negera-negera muslim hari ini yang jahat, tidak sayang kepada rakyatnya, bahkan menindas mereka dengan terus menaikkan harga bahan bakar, menjual aset negara ke negara asing dan menggusur pribumi dari negara mereka sendiri, membiarkan penista agama menjadi pejabat negara, dan mengkriminalisasi para ulama. Semua itu mungkin disebabkan oleh banyaknya kecurangan dalam menakar dan menimbang yang dilakukan oleh kaum muslimin.
🟠 Kecurangan menunjukkan lemahnya iman orang itu kepada Hari Akhir
Dalam ayat ini dapat dipahami bahwa kecurangan disebabkan oleh tidak mengimani Hari Kiamat. Seandainya orang-orang beriman dan meyakini bahwa mereka akan dibangkitkan pada Hari Kiamat, dihisab semua amalnya, dan diberi balasan atas semua amalnya, tentu mereka tidak akan melakukan perbuatan yang menjerumuskan mereka ke dalam Neraka. Jika sudah terlanjur, mereka harus segera bertobat, berhenti dan berjanji untuk tidak mengulangi kecurangan.
Jadi, pelanggaran terhadap syariat merupakan tanda lemahnya iman atau bahkan ketiadaan iman pada diri seseorang. Begitu juga, iman yang lemah atau ketiadaan iman dapat mendorong seseorang kepada kemaksiatan.
Jenis-jenis Kecurangan Lain
Di samping curang dalam takaran dan timbangan, masih banyak jenis kecurangan lain yang terjadi di masyarakat. Di antaranya adalah:
🟢 Curang dalam kepemimpin
Kepemimpinan, jabatan dan kedudukan sering disalahgunakan untuk menipu rakyat atau orang-orang yang berada di bawah kepemimpinannya. Kecurangan dan penyia-siaan amanah oleh sebagian pejabat sudah menjadi rahasia umum. Kasus-kasus hukum yang menimpa mereka sudah menjadi santapan sehari-hari di berbagai media informasi, padahal perbuatan semacam itu mendapat ancaman keras dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Ma’qil bin Yasar al-Muzani radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيَهُ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٍ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang hamba yang Allah berikan kepemimpinan atas orang lain, lalu dia mati dalam keadaan berbuat curang terhadap orang-orang yang dipimpinnya, melainkan Allah akan mengharamkan atasnya Surga.” (HR Muslim)
🟢 Curang dalam jual beli
Berbuat curang dalam jual beli berarti berbuat zalim kepada orang lain dalam urusan hartanya dan memakan harta mereka dengan cara yang batil. Walaupun hanya sedikit, harta yang diperoleh dengan cara berbohong, menyembunyikan kecacatan, atau mengurangi timbangan adalah harta yang haram. Sudah seharusnya kita menjauhkan diri dari harta-harta semacam itu.
Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat bersama para sahabat ke pasar untuk melakukan pengecekan barang dagangan. Saat itu beliau melewati tumpukan makanan. Beliau memasukkan tangannya ke tumpukan itu dan mendapati bagian dalam tumpukan itu basah.
Beliau bertanya,
مَا هَذَا، يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟
“Apa ini, wahai penjual makanan?”
Dia berkata, “Bagian ini terkena air hujan wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda,
أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ حَتَّى يَرَاهُ النَّاسُ؟ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا
“Mengapa engkau tidak meletakkannya di bagian atas agar orang yang akan membeli dapat melihatnya? Barangsiapa berbuat curang kepada kami, maka dia bukan bagian dari golongan kami.” (HR Muslim)
🟢 Curang dalam ilmu
Kecurangan dalam ilmu sangat berbahaya. Dampak negatifnya cukup besar. Para ulama mengatakan bahwa tatkala seseorang mendapatkan ijazah pendidikan dengan cara yang tidak jujur, maka harta yang diperoleh dengan ijazah itu teranggap sebagai harta yang haram. Praktek kecurangan dalam ujian adalah petaka yang menyedihkan dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan yang seharusnya berada di garda depan dalam membentuk manusia-manusia jujur dan berintegritas tinggi sering diwarnai dengan praktek-praktek tidak terpuji seperti itu.
🟢 Curang dalam perkataan
Curang dalam perkataan sering terjadi dalam persidangan, seperti memberi kesaksian palsu, menyampaikan informasi yang tidak sesuai dengan fakta dan hakikat dengan maksud menzalimi dan merugikan orang lain.
Masih banyak bentuk kecurangan lain yang terjadi di masyarakat.
Seorang mukmin harus berusaha sekuat tenaga menghindari perbuatan curang. Hasil atau uang dari perbuatan curang adalah haram.
Baca juga: KEBOHONGAN MEMBAWA KEPADA KEMAKSIATAN
Baca juga: JUAL BELI YANG DILARANG
Baca juga: KEZALlMAN PEMIMPIN ATAS RAKYATNYA ADALAH DOSA BESAR
(Amru Nur Kholis)