Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتْهُمْ إِيمَٰنًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ، ٱلَّذِينَ يُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ، أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ حَقًّا
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka bertambah (kuat) keimanannya, dan hanya kepada Rabb mereka mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang melaksanakan shalat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman.” (QS al-Anfal: 2-4)
Firman-Nya: “Apabila disebut nama Allah”, maksudnya adalah ketika keagungan-Nya, kebesaran-Nya, dan kekuasaan-Nya disebutkan, hati menjadi takut, bergetar, dan manusia pun terpengaruh. Bahkan, sebagian salaf, ketika dibacakan ayat-ayat tentang takut, menjadi sakit selama beberapa hari hingga orang-orang datang menjenguknya. Sedangkan kita, hati kita keras –Kita memohon kepada Allah agar melembutkannya– karena ayat-ayat tentang takut dibacakan kepada kita, tetapi berlalu begitu saja seperti minuman dingin. Kita tidak terpengaruh olehnya dan tidak mengambil pelajaran, kecuali bagi mereka yang dirahmati Allah. –Kita memohon keselamatan kepada Allah.
“Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka bertambah keimanannya”, yaitu ketika mereka mendengar kalam Allah ‘Azza wa Jalla, keimanan mereka bertambah dari dua sisi:
Sisi pertama: Membenarkan apa yang Allah kabarkan tentang hal-hal gaib, baik yang telah lalu maupun yang akan datang.
Sisi kedua: Menerima dan tunduk kepada hukum-hukum Allah dengan melaksanakan apa yang Dia perintahkan. Dengan melakukan hal-hal tersebut, keimanan mereka bertambah. Selain itu, mereka meninggalkan apa yang Allah larang sebagai bentuk pendekatan diri kepada-Nya dan rasa takut kepada-Nya. Dengan demikian, keimanan mereka semakin bertambah.
Ketika ayat-ayat-Nya dibacakan kepada mereka, keimanan mereka bertambah dari dua sisi ini.
Demikian pula, jika kamu mendapati dirimu bahwa setiap kali kamu membaca al-Qur’an, keimananmu bertambah, maka ini adalah salah satu tanda taufik. Namun, jika kamu membaca al-Qur’an tetapi tidak terpengaruh olehnya, maka hendaklah kamu mengobati dirimu. Aku tidak mengatakan bahwa kamu harus pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan dosis obat atau air dan semisalnya, tetapi kamu harus mengobati hati. Sebab, jika hati tidak mengambil manfaat dari al-Qur’an dan tidak mengambil pelajaran darinya, maka itu adalah hati yang keras dan sakit. –Kita memohon keselamatan kepada Allah.
Maka kamu, wahai saudaraku, adalah dokter bagi dirimu sendiri. Janganlah kamu bergantung kepada manusia. Bacalah al-Qur’an. Jika kamu mendapati dirimu terpengaruh olehnya berupa keimanan, pembenaran, dan ketaatan, maka berbahagialah, karena kamu seorang mukmin. Jika tidak, maka hendaklah kamu segera mengambil obatnya. Obatilah dirimu sebelum datang kematian yang tiada kehidupan setelahnya, yaitu kematian hati. Adapun kematian jasad, setelahnya ada kehidupan, kebangkitan, balasan, dan hisab.
Firman-Nya ‘Azza wa Jalla: “Dan hanya kepada Rabb mereka mereka bertawakal”, maksudnya adalah mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka saja. Artinya, mereka menyerahkan seluruh urusan mereka secara khusus kepada Pemilik dan Pengatur mereka, tidak kepada siapa pun selain-Nya. Hal ini ditunjukkan oleh pendahuluan objek atas pelaku dalam struktur kalimat, dan kalimat tersebut disambungkan dengan syarat. Ini mengisyaratkan kekhususan dan pembatasan, bahwa mereka tidak bertawakal kecuali hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sebab, jika kamu bertawakal kepada selain Allah, maka kamu sebenarnya bertawakal kepada seseorang yang sama seperti dirimu, yang tidak memiliki perhatian terhadap manfaatmu sebagaimana perhatianmu terhadap manfaat dirimu sendiri. Oleh karena itu, bersandarlah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam urusan agamamu dan duniamu.
Firman Allah Ta’ala: “(yaitu) orang-orang yang melaksanakan shalat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Mendirikan shalat berarti melaksanakannya dengan benar, memenuhi kewajiban, syarat, dan rukunnya, serta menyempurnakannya dengan pelengkap-pelengkapnya. Di antaranya adalah melaksanakannya pada waktunya, dan termasuk juga melaksanakannya bersama kaum muslimin di masjid-masjid mereka. Sebab, shalat berjemaah tidak ditinggalkan kecuali oleh orang munafik atau orang yang memiliki uzur yang dibenarkan.
Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh, aku telah melihat kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak seorang pun meninggalkan shalat berjemaah kecuali orang munafik yang nyata kemunafikannya atau orang yang sedang sakit. Sungguh, seseorang sampai dibawa dengan dituntun oleh dua orang lainnya karena sakit, hingga ia ditegakkan di shaf.” (HR Muslim) Tidak ada yang menghalangi mereka dari menghadiri masjid, bahkan dalam keadaan sakit. Semoga Allah meridhai mereka.
Adapun pada masa sekarang, banyak orang yang justru sebaliknya. Kamu melihat mereka malas dan sering terlambat dalam melaksanakan shalat berjemaah. Jika kamu membandingkan antara shalat-shalat di siang hari dengan shalat Subuh, akan terlihat perbedaan yang nyata. Hal itu karena banyak manusia merasa malas untuk melaksanakan shalat Subuh, terpengaruh oleh rasa kantuk dan tidur, serta kurangnya perhatian mereka terhadap pentingnya shalat tersebut.
“Dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka” maksudnya, mereka menginfakkan harta mereka untuk mencari keridhaan Allah, sesuai dengan perintah Allah, dan pada tempat yang semestinya.
“Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman.” Benar-benar adalah penegasan untuk kalimat sebelumnya. Artinya, hal itu benar adanya. –Semoga Allah menjadikan kita dan kalian termasuk golongan mereka dengan anugerah dan kemurahan-Nya.
Sesungguhnya Dia Mahapemurah lagi Mahamulia.
Baca juga: SEBAIK_BAIK MANUSIA: PANJANG UMURNYA, BAIK AMALNYA
Baca juga: AKHLAK YANG BAIK
Baca juga: JANGAN SALAH MEMAHAMI TAKDIR
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)