ATURAN-ATURAN DALAM PERSUSUAN

ATURAN-ATURAN DALAM PERSUSUAN

Ketika menjelaskan perempuan-perempuan yang haram dinikahi, Allah Ta’ala berfirman:

وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ

Dan ibu-ibu yang menyusui kalian, dan saudari-saudari sepersusuan kalian…” (QS an-Nisa’: 23)

Dalam ash-Sahihain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ

Semua yang diharamkan akibat nasab juga diharamkan akibat persusuan.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ الْوِلَادَةِ

Semua yang diharamkan akibat kelahiran juga diharamkan akibat persusuan.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Definisi Menyusu

Menyusu secara bahasa artinya menghisap atau meminum susu dari payudara. Secara syar’i menyusu artinya menghisap atau meminum susu yang terkumpul dalam payudara perempuan akibat kehamilan yang dilakukan oleh bayi yang berusia di bawah dua tahun.

Hukum Persusuan dan Syarat-syaratnya

Persusuan memiliki hukum yang sama dengan nasab dalam hal nikah, khalwah, kemahraman, dan memandang, seperti yang akan dijelaskan nanti. Akan tetapi, hukum-hukum itu tidak berlaku kecuali dengan dua syarat:

1. Jumlah penyusuan lima kali atau lebih

Hal ini berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mengatakan, “Dahulu di antara ayat al-Qur’an yang pernah turun adalah tentang sepuluh kali penyusuan yang diketahui secara pasti dan menyebabkan hubungan mahram. Kemudian ayat itu dihapus dengan lima kali penyusuan yang diketahui secara pasti dan menyebabkan hubungan mahram. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat ketika ayat (lima kali penyusuan) tersebut masih dibaca.” (HR Muslim)

Ini merupakan penghapusan bunyi ayat tanpa penghapusan hukum. Hadis ini merupakan penjelasan dari nash-nash al-Qur’an dan hadis yang bersifat mujmal (global) tentang persusuan.

2. Lima kali penyusuan harus dilakukan dalam waktu dua tahun atau kurang (sejak dilahirkan)

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ

Para ibu hendaklah menyusui anaknya selama dua tahun penuh bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya.” (QS al-Baqarah: 233)

Ayat ini menunjukkan bahwa penyusuan yang mu’tabar (dianggap sah) adalah penyusuan yang terjadi dalam waktu dua tahun. Selain itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

لَا يُحَرِّمُ مِنَ الرِّضَاعَةِ إِلَّا مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ فِي الثَّدْيِ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ

Penyusuan tidak akan menyebabkan hubungan mahram, kecuali yang dilakukan di payudara dan mencapai usus bayi (laksana makanan), serta terjadi sebelum masa penyapihan (dua tahun).” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Irwa al-Ghalil)

Artinya, penyusuan yang menyebabkan hubungan mahram adalah penyusuan yang air susunya mencapai usus dan meluaskannya. Dengan demikian, air susu yang hanya sedikit serta tidak mencapai usus dan meluaskannya tidak menyebabkan hubungan mahram. Selain itu, penyusuan harus terjadi sebelum penyapihan, yakni ketika bayi masih kecil dan susu masih menjadi makanan utama sang bayi.

Kesimpulannya, penyusuan yang mengakibatkan hubungan mahram adalah penyusuan yang dilakukan ketika anak masih balita dan susu yang dihisap berfungsi sebagai makanan utama yang mengeyangkan dan menumbuhkan daging sang bayi, serta menjadi bagian yang tidak terpisahkan darinya.

Ukuran Sekali Penyusuan

Ukuran sekali penyusuan adalah ukuran dimana sang bayi menghisap puting payudara, lalu menghentikan hisapannya untuk bernafas atau untuk berpindah ke puting yang lain atau karena hal lain. Proses seperti ini dianggap sekali menyusu. Jika sang bayi menghisap puting kembali, maka dihitung sebagai penyusuan kedua. Demikian seterusnya, meskipun semua penyusuan terjadi dalam satu kesempatan. Hal itu karena syariat hanya memperhatikan jumlah penyusuan tanpa menetapkan bentuknya. Sebab itulah penetapan bentuknya dikembalikan kepada kebiasaan (‘urf).

Bila air susu mencapai usus bayi tanpa dihisap oleh sang bayi, maka hukumnya seperti menyusu biasa.

Contohnya adalah susu yang diteteskan ke mulut atau hidung bayi, atau susu yang diminumkan dengan gelas. Semua itu dihukumi seperti susu yang dihisap langsung dari payudara karena susu tersebut tetap berfungsi sebagai makanan utama bayi. Akan tetapi dengan syarat bahwa hal itu dilakukan sebanyak lima kali.

Kemahraman akibat Persusuan

Adapun penyebaran hubungan mahram akibat persusuan, maka begitu seorang perempuan menyusui seorang bayi sebanyak lima kali atau lebih dan bayi tersebut berumur di bawah dua tahun, maka bayi yang menyusu itu menjadi seperti anak kandungnya. Bayi itu haram menikah dengannya (setelah dewasa nanti), tetapi boleh memandangnya atau berkhalwat (berduaan) dengannya, serta menjadi mahramnya. Semua itu berdasarkan firman Allah Ta’ala tentang perempuan yang haram dinikahi (mahram),

وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ

Dan ibu-ibu yang menyusui kalian…” (QS an-Nisa’: 23)

Hanya saja anak itu tidak dianggap sebagai anaknya dalam hukum-hukum yang lain. Perempuan itu tidak wajib menafkahi anak susuannya, tidak ada waris-mewarisi di antara mereka berdua, sang anak tidak menanggung diyat (denda) atas kejahatan perempuan yang menyusuinya, dan sang perempuan tidak menjadi wali anak susuannya. Alasannya adalah karena hubungan nasab lebih kuat daripada hubungan persusuan. Oleh karena itu, hubungan persusuan tidak bisa disamakan dengan hubungan nasab kecuali dalam hal-hal yang ditetapkan oleh nash (dalil yang kuat), yaitu keharaman menikahi dan perkara-perkara cabangnya seperti kemahraman dan bolehnya berduaan.

Bayi susuan juga dianggap sebagai anak dari laki-laki yang menyebabkan adanya air susu, karena ia adalah orang yang menghamili ibu yang menyusuinya, baik lewat pernikahan maupun semisalnya. Hal itu karena nasab dari kehamilan diikutkan kepada laki-laki yang menghamili perempuan yang menyusuinya, sedangkan persusuan adalah akibat dari kehamilan. Jadi, bayi akan menjadi anak dari laki-laki yang menghamilili perempuan yang menyusuinya dalam hukum-hukum yang berlaku untuk perempuan yang menyusuinya saja, seperti keharaman menikahi, bolehnya memandang, berkhalwat, dan status sebagai mahram. Adapun hukum-hukum lainnya tidak berlaku.

Setiap orang yang menjadi mahram bagi laki-laki yang menghamilili perempuan yang menyusuinya otomatis menjadi mahram bagi anak susuan itu. Mahram-mahram itu adalah ayah laki-laki itu, ibunya, kakeknya, neneknya, putra-putrinya, saudara-saudarinya, dan paman-bibinya (baik dari jalur ayah maupun ibu). Mereka adalah mahram bagi anak susuan. Demikian pula, semua orang yang menjadi mahram bagi perempuan yang menyusuinya, seperti kedua orang tuanya, saudara-saudarinya, paman bibinya dan yang semisalnya adalah mahram bagi anak susuan itu.

Bila kemahraman itu berlaku pada anak susuan, maka kemahraman juga berlaku pada keturunan anak susuan itu, seperti anak kandungnya, cucunya, cicitnya dan seterusnya. Namun kemahraman tidak menyebar ke samping atau ke atas. Artinya, kemahraman tidak berlaku pada orang-orang yang ada di atasnya, seperti kedua orang tua kandungnya, kakeknya, neneknya, serta paman dan bibinya. Kemahraman juga tidak berlaku pada orang-orang yang setingkat dengan anak susuan, seperti saudara-saudarinya.

Apabila seorang anak disusui oleh perempuan yang disetubuhi lewat akad nikah yang batil atau lewat perzinaan, maka anak tersebut menjadi anak susuan bagi perempuan yang menyusuinya saja. Itu karena bila status bapak secara nasab tidak dianggap sah, maka statusnya secara persusuan pun dianggap tidak sah, mengingat persusuan adalah cabang dari nasab.

Air Susu Binatang

Air susu binatang tidak mengakibatkan keharaman. Artinya, bila ada dua orang bayi yang menyusu dari seekor binatang, keduanya tidak lantas menjadi haram untuk menikah dan sebagainya.

Air Susu tanpa Kehamilan atau Persetubuhan

Para ulama berselisih pendapat tentang air susu perempuan yang keluar tanpa didahului kehamilan atau persetubuhan, kemudian air susu itu diminum oleh seorang bayi.

Di antara mereka berpendapat bahwa air susu itu tidak mengakibatkan keharaman, sebab air susu itu bukan air susu yang sebenarnya, melainkan semacam cairan yang keluar saja. Selain itu, air susu yang mutabar adalah air susu yang menumbuhkan tulang dan daging, sedangkan cairan itu tidak demikian.

Pendapat kedua adalah bahwa air susu itu tetap menyebabkan keharaman. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Qudamah dan yang lainnya.

Penetapan Kebaradaan Penyusuan

Adanya penyusuan ditetapkan berdasarkan kesaksian seorang perempuan yang baik agamanya.

Syekh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Jika seorang perempuan yang terkenal kejujurannya berkata bahwa ia pernah menyusui seorang bayi sebanyak lima kali, maka kesaksiannya dapat diterima menurut pendapat yang sahih sehingga hukum-hukum persusuan berlaku.”

Bila keberanaan penyusuan masih diragukan, atau diragukan apakah telah genap lima kali atau belum, sedangkan bukti ke arah itu tidak ada, maka penyusuan itu tidak menyebabkan keharaman. Itu karena hukum asalnya adalah tidak ada penyusuan. Wallaahu a’lam.

Baca juga: HUKUM AIR KENCING BAYI

Baca juga: PENYEBAB ANAK DURHAKA KEPADA ORANG TUA

Baca juga: HUKUM MENGANGKAT ANAK (TABANNI)

(Syekh Dr Shalih bin Fauzan al-Fauzan)

Fikih