Banyak hadis menjelaskan wajibnya memenuhi undangan. Di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ: رَدُّ السَّلَامِ، وعِيَادَةُ الْمَرِيضِ، وَاتَّبَاعُ الْجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ
“Hak seorang muslim (yang harus ditunaikan) atas muslim lainnya ada lima: menjawab salam, mengunjungi orang sakit, mengantar jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab ucapan ‘Alhamdu lillaah’ dari orang yang bersin (dengan mengucapkan ‘Yarhamukallaah’).” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَجِيبُوا هَذِهِ الدَّعْوَةَ إِذَادُعِيتُمْ لَهَا
“Penuhilah undangan ini jika kalian diundang untuk menghadirinya.”
Perawi berkata: Abdullah (Ibnu Umar) memenuhi undangan walimatul ‘urs dan selainnya, padahal ia tengah berpuasa. (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Malik, dan ad-Darimi)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa memenuhi undangan adalah sunah, kecuali resepsi pernikahan yang menurut mereka wajib. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ، وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ، فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Seburuk-buruk jamuan adalah jamuan resepsi yang hanya orang-orang kaya yang diundang, sementara orang-orang fakir dan miskin diabaikan. Barangsiapa tidak memenuhi undangan, sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Malik, dan ad-Darimi)
Lafaz lain yang diriwayatkan oleh Muslim dan selainnya, “Menghalau orang yang mendatanginya dan mengundang orang yang enggan menghadirinya.” Hanya saja sebagian ulama memberikan beberapa syarat dalam menghadiri undangan seperti ini.
Syekh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah menyebutkan syarat-syarat tersebut sebagai berikut:
1️⃣ Orang yang mengundang adalah bukan orang yang harus diasingkan atau sebaiknya diasingkan.
2️⃣ Kemungkaran tidak terjadi di tempat undangan. Jika kemungkaran terjadi dan ia dapat menghilangkannya, maka ia wajib menghadiri undangan dengan dua tujuan, yaitu memenuhi undangan dan mengubah kemungkaran. Jika kemungkaran tidak dapat ia hilangkan, maka ia diharamkan menghadirinya.
3️⃣ Orang yang mengundang harus orang muslim. Jika bukan muslim, maka ia tidak wajib memenuhi undangan, berdasarkan sabda Nabi, “Hak seorang muslim (yang harus ditunaikan) atas muslim lainnya ada lima…” dan di antaranya, “Apabila ia mengundangmu, maka engkau harus memenuhinya.”
4️⃣ Undangan tersebut bukan dari hasil usaha yang haram. Konsekuensi dari memenuhi undangan dari usaha yang haram adalah memakan makanan yang haram. Hal ini jelas tidak diperbolehkan. Demikian menurut pendapat sebagian ulama. Ulama lainnya berpendapat bahwa sesuatu yang diperoleh secara haram, maka dosanya bagi orang yang mengusahakan harta haram tersebut, bukan bagi orang yang memperolehnya dengan cara yang diperbolehkan dari orang yang mengusahakan harta haram tersebut. Lain halnya jika makanan atau minuman yang dihidangkan adalah sesuatu yang memang diharamkan, seperti khamar dan barang curian. Ini adalah pendapat yang sesuai. (Lalu beliau mengemukakan beberapa dalil).
5️⃣ Undangan tidak lantas mengabaikan kewajiban lain atau yang lebih wajib darinya. Jika undangan mengabaikan hal itu, maka ia diharamkan untuk memenuhi undangan.
6️⃣ Tidak mengakibatkan kemudaratan terhadap orang yang diundang, seperti mengharuskan melakukan perjalanan jauh atau berpisah dengan keluarga yang kehadirannya dibutuhkan oleh mereka.
Saya tambahkan juga:
7️⃣ Hendaklah orang yang mengundang tidak menentukan siapa yang diundang dan tidak juga mengkhususkan seseorang dengan undangannya. Jika ia tidak menentukan orang yang diundang, seperti ia mengumumkannya di majelis umum, maka memenuhi undangan tersebut tidak wajib, karena undangan tersebut bersifat umum (al-jafala).
Tanya: Apakah kartu undangan yang disebarkan semisal dengan undangan lisan?
Jawab: Kartu undangan yang dikirim kepada orang-orang dan tidak diketahui kepada siapa kartu undangan itu ditujukan mungkin bisa dikatakan semisal dengan undangan umum yang tidak wajib dipenuhi. Jika tujuan undangan diketahui atau undangan itu diduga kuat khusus untuknya, maka undangan itu dihukumi sebagai undangan langsung secara lisan. Demikian ucapan Syekh al-Utsaimin.
Faidah: Puasa bukan alasan untuk tidak menghadiri undangan. Barangsiapa diundang sedangkan ia berpuasa, ia tetap wajib menghadirinya untuk mendoakan ampunan dan berkah bagi orang yang mengundang, baik ia sedang berpuasa wajib ataupun sunah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ، فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ
“Apabila salah seorang dari kalian diundang, maka penuhilah. Jika ia sedang berpuasa, hendaklah ia mengucapkan selawat (mendoakannya). Jika ia sedang tidak berpuasa, hendaklah ia memakan hidangan.” (HR Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi, dan Abu Dawud)
Sabda beliau, “Hendaklah ia mengucapkan selawat,” disebutkan pula dalam riwayat oleh Imam Ahmad dan lainnya bahwa maksudnya adalah doa. “Jika ia sedang berpuasa maka hendaklah ia mengucapkan selawat, yakni hendaklah ia mendoakannya.” (HR Ahmad)
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku membuat makanan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika makanan tersebut dihidangkan, seseorang berkata, ‘Aku sedang berpuasa.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Saudaramu telah mengundangmu dan telah bersusah payah (menjamu)mu. Berbukalah dan berpuasalah di hari yang lain jika engkau mau.’” (Hadis hasan. Diriwayatkanoleh al-Baihaqi. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam al-Irwa’).
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun orang yang berpuasa, tidak ada perbedaan pendapat bahwa ia tidak wajib makan. Jika ia berpuasa wajib, maka ia tidak boleh memakan hidangan karena puasa wajib tidak boleh ditinggalkan. Jika ia berpuasa sunah, maka ia boleh berbuka dan boleh pula tidak. Jika puasanya meresahkan pengundang yang telah menyuguhkan makanan, maka ia lebih baik berbuka. Jika tidak meresahkan, maka ia boleh menyempurnakan puasanya. Wallahu a’lam.”
Baca juga: ADAB MENGHADIRI UNDANGAN WALIMAH
Baca juga: CARA MENDAPATKAN KEBERKAHAN
Baca juga: ALLAH TIDAK MENERIMA KECUALI YANG BAIK
(Fuad bin Abdul ‘Aziz asy-Syalhub)