TOLONG-MENOLONG DALAM KEBAIKAN DAN TAKWA

TOLONG-MENOLONG DALAM KEBAIKAN DAN TAKWA

Allah Ta’ala berfirman:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰى

Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa.” (QS al-Ma’idah: 2)

Taawun, artinya at-tasaud, yaitu tolong-menolong antara sebagian dengan sebagian yang lain dalam kebaikan dan takwa. al-Birr adalah setiap perbuatan baik. at-Taqwa adalah menghindari keburukan. Demikian itu karena manusia terkadang berbuat baik dan terkadang berbuat buruk.

Tolong-menolong dalam kebaikan diwujudkan dengan membantu dan memudahkan saudaramu dalam melakukan kebaikan, baik yang berhubungan dengan dirimu sendiri maupun tidak. Tolong menolong dalam takwa (menghindari keburukan) direalisasikan dengan mengingatkan orang lain akan keburukan, mencegahnya dari melakukan keburukan sesuai dengan kemampuan, dan memberi isyarat kepada orang yang ingin melakukan keburukan agar meninggalkannya.

Perintah dalam firman Allah Ta’alaTolongmenolonglah kalian” adalah perintah yang bersifat wajib untuk sesuatu yang wajib, dan  perintah yang bersifat sunah untuk sesuatu yang sunah. Demikian juga, perintah dalam firman-Nya, “Tolong-menolonglah dalam takwa,” merupakan perintah yang bersifat wajib dalam hal yang diharamkan, dan perintah yang bersifat sunah dalam hal yang dimakruhkan.

Adapun dalil kedua tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa adalah firman Allah Ta’ala:

وَالْعَصْرِ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS al-‘Ashr: 3)

Allah Ta’ala bersumpah dengan waktu Asar, yaitu masa, karena masa adalah media untuk beramal. Di antara manusia ada yang mengisi masa dengan kebaikan, dan di antara mereka ada yang mengisinya dengan keburukan. Allah Ta’ala bersumpah dengan masa karena ada kesesuaian antara apa yang disumpahi dan apa yang terkandung di dalam sumpah, yaitu amal.

Firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian.” Manusia di sini bersifat umum, mencakup yang mukmin dan yang kafir, yang adil dan yang fasik, laki-laki dan perempuan.

Setiap manusia dalam keadaan merugi, yaitu merugi dalam amalnya dan dirugikan oleh amalnya, kelelahan di dunia, dan tidak mendapatkan manfaat di akhirat kecuali orang-orang yang memiliki empat sifat berikut: “orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihatmenasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS al-‘Ashr: 3) Mereka memperbaiki diri dengan iman dan amal saleh, serta memperbaiki orang lain dengan nasihat kebenaran dan nasihat kesabaran.

Iman berarti mengimani segala sesuatu yang wajib diimani, yaitu apa-apa yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَكُتُبِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta takdir baik dan buruk-Nya.” (HR Muslim)

Jadi, iman ada enam rukun.

Adapun amal saleh adalah segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Sebuah amal tidak dikatakan saleh kecuali memenuhi dua syarat: ikhlas kepada Allah Ta’ala dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (mutaba’ah).

Ikhlas kepada Allah artinya tidak menjadikan amal riya (pamer) kepada orang lain. Tidaklah kamu melaksanakan suatu amal kecuali mengharap rida Allah dan kampung akhirat.

Mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam artinya meneladani beliau dan tidak melakukan bidah, karena bidah, walaupun dilakukan secara ikhlas, tertolak.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا، فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak kami perintahkan atasnya, maka perkara itu tertolak.” (Muttafaq ‘alaih)

Ibadah yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alalhi wa sallam tetapi mengandung riya’ juga tertolak, berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam hadis qudsi,

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنْ الشِّرْكِ. مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

Aku adalah sekutu yang paling tidak membutuhkan sekutu. Berangsiapa melakukan amalan yang di dalamnya mempersekutukan Aku dengan selain Aku, maka Aku tinggalkan ia dengan sekutunya.” (HR Muslim)

Adapun firman Allah Ta’ala: “Dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran,” bermakna sebagian orang berwasiat kepada sebagian yang lain dalam kebenaran, yaitu apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alalhi wa sallam, dan berwasiat dalam kesabaran, karena jiwa membutuhkan kesabaran untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan.

Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Sekiranya Allah tidak menurunkan kepada hamba-hamba-Nya satu surat pun selain surat ini (QS al-‘Ashr), maka surat ini sudah cukup bagi mereka, karena surat ini bersifat komprehensif dan universal.”

Kita memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menjadikan kita semua orang-orang mukmin yang beramal saleh, yang selalu berwasiat dalam kebenaran dan kesabaran.

Baca juga: MENUNJUKKAN DAN MENYERUKAN KEBAIKAN

Baca juga: JANGAN MENOLAK KEBENARAN

Baca juga: PAHALA BAGI ORANG YANG MENGAJAK KEPADA PETUNJUK

Baca juga: MAKNA ‘MUHAMMAD RASULULLAH’

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Kelembutan Hati