KEUTAMAAN MENYEGERAKAN BERBUKA PUASA

KEUTAMAAN MENYEGERAKAN BERBUKA PUASA

Dari Sahal bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَزَالُ اَلنَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا اَلْفِطْرَ

Orang-orang (kaum muslimin) akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” (Muttafaq ‘alaih)

PENJELASAN

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang-orang.” Maksudnya adalah kaum muslimin yang berpuasa.

Sabda beliau, “berada dalam kebaikan.” Yaitu, selalu disertai kebaikan atau selalu dikawal untuk kebaikan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan demikian karena orang yang bersegera berbuka puasa adalah orang yang bersegera kepada apa yang Allah Ta’ala halalkan baginya setelah pengharamannya. Penghalalan sesuatu yang sebelumnya diharamkan merupakan anugerah yang besar dari Allah Azza wa Jalla. Orang yang bersegera kepada karunia dan anugerah Allah Ta’ala berhak dipuji, karena Allah Ta’ala sangat senang melihat pengaruh nikmat-Nya atas hamba-Nya.

Dari sisi lain, bersegera berbuka puasa merupakan sikap menyelisihi orang-orang Nasrani dan orang-orang Yahudi. Mereka dahulu sering menunda berbuka puasa. Tidak diragukan bahwa menyelisihi orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani merupakan kebaikan.

Dari sini dapat diambil faedah bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian orang yang berlebih-lebihan dalam mengamalkan agama, seperti menunda azan beberapa menit setelah matahari tenggelam dengan alasan kehati-hatian adalah tidak benar. Bahkan dilarang. Kita katakan bahwa dia telah meluputkan kebaikan bagi dirinya dan bagi orang lain, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang (kaum muslimin) akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.”

Sabda beliau, “selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” Itu disyaratkan apabila matahari diketahui telah tenggelam atau berprasangka kuat bahwa matahari telah tenggelam. Syarat untuk mengetahui bahwa matahari telah tenggelam sudah cukup jelas. Adapun prasangka kuat, dalilnya adalah hadis dari Asma’ binti Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Kami pernah berbuka puasa pada hari yang mendung di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu matahari kembali terlihat.” (HR al-Bukhari)

Mereka berbuka puasa hari itu bukan berdasarkan pengetahuan dan keyakinan, melainkan berdasarkan prasangka kuat. Dalilnya, bahwa matahari kembali terlihat.

Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa apabila orang-orang (kaum muslimin) menyegerakan berbuka puasa, niscaya mereka selalu berada dalam kebaikan, selalu dikawal untuk kebaikan, dan kebaikan selalu mendampingi mereka.

Dalam hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan berbuka puasa secara mutlak, yaitu apa saja yang dimakan untuk berbuka puasa. Jadi, kaum muslimin yang menyegerakan berbuka puasa dengan jenis makanan apa pun yang dapat membatalkan puasa akan selalu berada dalam kebaikan.

Kandungan Hadis

1️⃣ Pensyariatan berbuka puasa. Semua amal ibadah yang memiliki keutamaan pada tata cara pelaksanaannya, maka amal ibadah tersebut disyariatkan. Dalam hadis ini disebutkan bahwa bersegera berbuka puasa dapat mendatangkan kebaikan. Dengan demikian, berbuka puasa merupakan perkara yang disyariatkan.

2️⃣ Anjuran untuk segera berbuka puasa. Lalu kapan berbuka dilakukan? Berbuka dilakukan jika matahari benar-benar telah tenggelam, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

Apabila malam telah datang dari arah sana (timur), siang telah pergi dari arah sana (barat), dan matahari telah tenggelam, maka orang yang berpuasa harus segera berbuka.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

atau jika seseorang berprasangka kuat bahwa matahari telah tenggelam. Dalam hal ini terdapat lima permasalahan:

Pertama: Seseorang tahu bahwa matahari belum tenggelam, maka dia tidak boleh berbuka puasa.

Kedua: Seseorang berprasangka kuat bahwa matahari belum tenggelam, maka dia tidak boleh berbuka puasa.

Ketiga: Seseorang ragu-ragu apakah matahari telah tenggelam atau belum dan tidak ada perkara yang dapat menguatkan salah satunya, maka dia tidak boleh berbuka puasa, karena hukum asalnya adalah matahari belum tenggelam dan siang masih ada.

Keempat: Seseorang berprasangka kuat bahwa matahari telah tenggelam, maka dia boleh berbuka puasa. Dalilnya adalah hadis dari Asma’ binti Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma di atas.

Kelima: Seseorang mengetahui bahwa matahari telah tenggelam dengan penuh keyakinan, yaitu dia benar-benar telah melihatnya tenggelam, maka dia boleh berbuka puasa. Dalilnya adalah al-Quran dan as-Sunnah, sebagaimana yang telah disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:

ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِ

Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.” (QS al-Baqarah: 187)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila malam telah datang dari arah sana (timur), siang telah pergi dari arah sana (barat), dan matahari telah tenggelam, maka orang yang berpuasa harus segera berbuka.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Tanya: Bagaimana mengetahui bahwa matahari benar-benar telah tenggelam?

Jawab: Yaitu apabila lempengan matahari sudah terbenam dan tanduk atasnya tidak terlihat lagi, meskipun sinarnya masih terlihat di langit. Kita saksikan bahwa jika sebuah pesawat terbang melintas di langit, benda itu atau asapnya memantulkan sinar matahari meskipun lempengan matahari sudah terbenam atau tidak terlihat lagi.

Tanda lain yang menunjukkan tenggelamnya matahari adalah gelap malam. Gelap malam datang dari arah timur. Jika gelap malam telah merata dari utara ke selatan, maka matahari telah terbenam. Oleh karena itu, disebutkan dalam hadis, “Apabila malam telah datang dari arah sana (timur), siang telah pergi dari arah sana (barat),” lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkannya dengan sabdanya, “dan matahari telah tenggelam,” agar tidak ada yang menyangka bahwa dengan sekedar datangnya gelap malam orang yang berpuasa sudah boleh berbuka.

Tanya: Bisa jadi matahari telah terbenam bagi penduduk di tempat yang rendah, tetapi belum bagi penduduk di tempat yang tinggi. Bagaimanakah penduduk di tempat yang tinggi mengetahui bahwa matahari telah tenggelam?

Jawab: Jika penyebab matahari terbenam adalah tertutup gunung, maka gunung sama seperti dinding rumah. Tidak berpengaruh apapun. Mereka harus menunggu sampai muncul prasangka kuat bahwa matahari telah terbenam.

Tanya: Matahari terbenam bagi penduduk di tempat yang rendah sebelum bagi penduduk di tempat yang tinggi. Bagaimana penjelasannya?

Jawab: Tergantung keadaannya. Jika mereka berada di tempat yang sangat luas yang di tengah-tengahnya ada gunung-gunung yang jauh dan matahari terbenam di balik gunung-gunung itu, maka mereka harus memperkirakan jarak antara puncak-puncak gunung dengan terbenamnya matahari, lalu mereka hukumi bahwa matahari telah terbenam.

Tanya: Matahari telah terbenam dari permukaan bumi dan aku berbuka puasa. Lalu aku naik pesawat dan melihat kembali matahari. Apakah aku harus berpuasa kembali?

Jawab: Kamu tidak perlu berpuasa lagi, karena kamu telah berbuka puasa dengan petunjuk dalil syar’i.

Tanya: Apakah berpatokan pada jam termasuk berprasangka kuat?

Jawab: Jam dapat dijadikan sebagai penguat prasangka, namun tidak boleh sampai pada tingkat keyakinan, karena bisa jadi waktu yang ditunjukkan oleh jam lebih maju atau lebih mundur.

Tanya: Apakah itu berarti seseorang harus berhati-hati menggunakan jam sebagai patokan?

Jawab: Jika dia khawatir ada perbedaan waktu antara waktu yang ditunjukkan jam dan waktu sesungguhnya, maka hendaklah dia berhati-hati.

3️⃣ Pahala menyegerakan berbuka puasa, yaitu seseorang akan selalu dikawal untuk kebaikan dan kebaikan itu akan selalu mendampinginya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang (kaum muslimin) akan senantiasa berada dalam kebaikan.”

4️⃣ Sesungguhnya amal berbeda-beda dalam hal keutamaannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang (kaum muslimin) akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” Sisi pendalilannya adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan balasan bagi orang yang menyegerakan berbuka puasa. Seandainya menyegerakan berbuka puasa tidak lebih utama dari menundanya, maka beliau pasti tidak menjanjikan balasan tersebut.

Tanya: Apakah seseorang berbuka puasa terlebih dahulu sebelum salat Magrib atau salat dulu sebelum berbuka puasa?

Jawab: Dia berbuka puasa terlebih dahulu sebelum melaksanakan salat Magrib, karena apabila dia melaksanakan salat Magrib terlebih dahulu, maka dia telah menunda berbuka puasa.

5️⃣ Sesungguhnya menunda berbuka puasa merupakan sebab terjadinya keburukan. Itu diambil dari mafhum hadis ini. Karena manthuqnya menjelaskan bahwa orang yang bersegera berbuka puasa berada dalam kebaikan, maka mafhumnya adalah orang yang tidak bersegera berbuka puasa berada dalam keburukan. Dari situ kita juga dapat mengambil faedah bahwa orang-orang yang menunda berbuka puasa dari kalangan ahli bidah berada dalam keburukan, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang (kaum muslimin) akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” Yang dimaksud dengan kebaikan di sini adalah kebaikan yang bersifat keagamaan yang kembali ke hati, yaitu kelapangan dan cahaya hati, dan bukan kebaikan yang bersifat keduniaan.

6️⃣ Allah Azza wa Jalla sangat mencintai hamba-hamba-Nya yang bersegera memanfaatkan rukhsah-rukhsah-Nya, karena Allah Ta’ala menempatkan mereka dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa. Allah Ta’ala memberi balasan kepada mereka atas hal tersebut. Itu juga menunjukkan sifat cinta yang Allah Ta’ala miliki, karena dalil yang menunjukkan sifat Allah Ta’ala bisa berupa dalil muthabaqah, dalil tadhammun, dan dalil iltizam. Jadi, ketika Allah Ta’ala memberi balasan atas hal tersebut, maka itu menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mencintainya. Pada hakikatnya, hal tersebut termasuk salah satu faedah dari ribuan faedah yang diambil dari firman Allah Ta’ala di dalam hadits qudsi,

إِنَّ رَحْمَتِيْ سَبَقَتْ غَضَبِيْ

Sesungguhnya rahmat (kasih sayang-Ku) mendahului amarah-Ku.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Jadi, segala sesuatu yang mengandung kebaikan, rahmat, dan kemudahan bagi hamba-hamba Allah Ta’ala, maka sesuatu itu termasuk ke dalam hadis qudsi tersebut. Bahkan termasuk ke dalam firman Allah Ta’ala:

يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS al-Baqarah: 185)

Apakah dari hadis tersebut dapat diambil sebuah faedah, yaitu makruh bersikap berlebih-lebihan dalam urusan agama?

Jawabannya adalah ya, karena menyegerakan berbuka puasa bertentangan dengan sikap berlebih-lebihan. Orang yang berlebih-lebihan adalah orang yang berkata, “Aku tidak akan berbuka puasa kecuali jika muazin telah mengumandangkan azan.” Bahkan sebagian orang melihat matahari tenggelam dengan matanya sendiri, tetapi kerena dia tidak mendengar azan, dia berkata, “Aku tidak akan berbuka karena belum terdengar azan.” Padahal yang menjadi patokan adalah tenggelamnya matahari. Jadi, apabila kamu berada di suatu daerah yang tinggi, lalu kamu melihat matahari telah terbenam, akan tetapi belum terdengar azan, maka kamu harus segera berbuka puasa. Tidak sepantasnya kamu menunda. Jika kamu menyegerakan berbuka puasa, maka kamu akan selalu berada dalam kebaikan.

Baca juga: LARANGAN BERKATA DUSTA DAN BERAKHLAK BURUK SAAT BERPUASA

Baca juga: HUKUM MEMBATALKAN PUASA

Baca juga: KEUTAMAAN AMAL JARIAH

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Fikih