29. Dari Amr bin Kharijah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah di Mina saat beliau berada di atas tunggangannya, dan air liur tunggangannya menetes di bahuku.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Tirmidzi, serta dinilai sahih)
PENJELASAN
Penulis, Ibnu Hajar rahimahullah, menyebutkan dalam kitabnya Bulughul Maram pada Bab Menghilangkan Najis dan Penjelasannya sebuah hadis dari Amr bin Kharijah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah kepada kami di Mina, sementara beliau berada di atas tunggangannya.”
Macam-macam Khotbah Rasulullah
Khotbah-khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiri dari tiga macam:
Pertama: Khotbah yang bersifat tetap, terus-menerus, disyariatkan, dan tidak boleh ditinggalkan, yaitu khotbah Jumat. Para ulama fikih rahimahumullah bahkan menyatakan bahwa shalat Jumat tidak sah tanpa dua khotbah. Khotbah ini merupakan salah satu syarat sahnya shalat Jumat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyampaikan dua khotbah, dengan memisahkan keduanya melalui duduk di antara keduanya.
Kedua: Khotbah insidental yang dilakukan karena sebab syar’i, seperti khotbah gerhana. Ketika terjadi gerhana matahari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya, kemudian melaksanakan shalat gerhana bersama para sahabat, sebagaimana yang telah dikenal. Setelah selesai shalat, beliau berdiri dan menyampaikan khotbah kepada orang-orang.
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama rahimahumullah tentang khotbah gerhana. Sebagian berpendapat bahwa khotbah ini disyariatkan pada setiap shalat gerhana, sebagaimana khotbah disyariatkan pada dua hari raya. Sebagian lainnya berpendapat bahwa khotbah ini hanya dilakukan karena sebab tertentu. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa khotbah ini disyariatkan dan disunahkan untuk disampaikan setelah shalat gerhana, di mana khatib memberikan nasihat kepada orang-orang sesuai dengan keadaan yang terjadi.
Ketiga: Khotbah yang dilakukan karena sebab non-syar’i, yaitu tidak terkait dengan perkara-perkara syariat secara langsung. Namun, jika terjadi suatu peristiwa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menyampaikan khotbah kepada orang-orang. Salah satu contohnya adalah khotbah beliau dalam kisah Barirah, ketika ia membuat perjanjian mukatabah dengan tuannya. Barirah kemudian datang meminta bantuan kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Jika pemiliknya menghendaki, aku akan memberikan jumlah tersebut kepada mereka, dan hak wala’-nya menjadi milikku.”
Barirah kemudian pergi menemui tuannya dan menyampaikan tawaran tersebut. Namun, mereka menolak kecuali jika hak wala’ tetap menjadi milik mereka. Barirah lalu kembali menemui Aisyah, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk. Barirah berkata, “Aku telah menyampaikan tawaran itu kepada mereka, tetapi mereka tetap menolak kecuali jika hak wala’ tetap menjadi milik mereka.”
Aisyah memberitahukan hal tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau lalu bersabda,
خُذِيهَا، وَاشْتَرِطِي لَهُمْ الْوَلَاءَ؛ فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ
“Belilah dia, dan syaratkan hak wala’ untuk mereka. Sesungguhnya hak wala’ adalah milik orang yang memerdekakan.”
Aisyah pun melakukannya.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan orang-orang, memuji Allah dan menyanjung-Nya, lalu bersabda,
أَمَّا بَعْدُ: مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟ مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ، وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ، قَضَاءُ اللَّهِ أَحَقُّ، وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ، وَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ
“Amma ba’du: Mengapa ada orang-orang yang menetapkan syarat yang tidak ada dalam Kitab Allah? Apa pun syarat yang tidak ada dalam Kitab Allah adalah batil, meskipun syarat itu diucapkan seratus kali. Ketetapan Allah lebih berhak untuk ditaati, dan syarat Allah lebih kuat. Sesungguhnya hak wala’ adalah milik orang yang memerdekakan.”
Dalam lafaz lain disebutkan:
وَإِنْ شَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Meskipun syarat itu diucapkan seratus kali.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Kasus seperti ini memiliki beberapa contoh serupa, di antaranya adalah khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Haji Wada’. Pada kesempatan tersebut, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah di Arafah, di Mina pada hari Idul Adha, serta di pertengahan hari-hari Tasyriq. Beliau berkhotbah kepada orang-orang di Mina di atas tunggangannya, sementara Amr bin Kharijah berada di dekat tunggangan tersebut. Pada saat itu, air liur tunggangan -yang keluar dari mulutnya- menetes di pundak Amr bin Kharijah radhiyallahu ‘anhu.
Manfaat Hadis
Manfaat dari hadis ini adalah:
1️⃣ Kepedulian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pengajaran umat di setiap kesempatan. Hal ini menjadi teladan bagi para ulama, sebagai ahli waris para nabi, untuk menjelaskan kepada umat segala hal yang mereka butuhkan dan berbicara setiap kali ada keperluan untuk menyampaikan ilmu atau nasihat.
2️⃣ Diperbolehkannya berkhotbah di atas tunggangan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah di atas tunggangannya, dengan syarat hal tersebut tidak memberatkan tunggangan. Jika berkhotbah di atas tunggangan dapat memberatkan atau menyulitkan tunggangan, maka hal itu tidak diperbolehkan. Dalam keadaan demikian, tunggangan harus dikembalikan ke posisi duduk (ditambatkan) agar khotbah dapat disampaikan ketika tunggangan berada dalam kondisi stabil. Namun, jika tidak memberikan dampak negatif pada tunggangan, berkhotbah di atasnya dalam posisi berdiri justru lebih efektif untuk menyampaikan pembicaraan kepada orang banyak.
3️⃣ Air liur unta dinyatakan suci, yaitu apa pun yang keluar dari mulutnya. Hal ini didasarkan pada tindakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyetujui tindakan Amr bin Kharijah tanpa memerintahkannya untuk mencuci air liur tersebut. Jika air liur itu najis, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memerintahkannya untuk mencucinya. Dalam hal ini, terdapat kaidah yang dapat dipahami: segala sesuatu yang dagingnya halal dimakan, maka segala yang keluar darinya adalah suci, kecuali darah. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang dari suku Urainah, yang datang ke Madinah dan merasa tidak cocok dengan udara Madinah, agar mengikuti unta-unta sedekah dan meminum air kencing serta susunya. Perintah ini menunjukkan bahwa air kencing unta juga suci.
Begitu pula, segala sesuatu yang keluar dari unta selain darah adalah suci. Hal ini mencakup apa yang keluar dari hidungnya, kotorannya, air kencingnya, keringatnya, spermanya, dan lainnya. Semua ini suci berdasarkan kaidah bahwa segala yang berasal dari hewan yang halal dimakan adalah suci, kecuali darah. Pengecualian ini didasarkan pada penegasan Allah Ta’ala bahwa darah yang mengalir adalah najis, sehingga darah menjadi satu-satunya yang dikecualikan dari kesucian.
Demikian pula, segala sesuatu yang keluar dari ayam, burung dara, dan semua burung yang dagingnya halal dimakan adalah suci. Jika burung dara mengotori pakaianmu, maka kotoran tersebut tetap suci dan tidak membahayakanmu. Hal yang sama berlaku jika kotoran ayam mengenai dirimu, karena kotoran tersebut berasal dari hewan yang dagingnya halal dimakan. Penilaian ini didasarkan pada fakta bahwa kotoran tersebut berasal dari sesuatu yang dagingnya halal dimakan, bukan karena kotoran itu berasal dari sesuatu yang suci. Sebab, meskipun beberapa makhluk seperti kucing dinyatakan suci, apa yang keluar darinya, baik berupa air kencing maupun kotorannya, adalah najis.
Berdasarkan hal ini, kaidah yang benar adalah sebagai berikut: Segala sesuatu yang keluar dari hewan yang dagingnya halal dimakan adalah suci, kecuali satu hal, yaitu darah.
4️⃣ Bahwa setiap kali seorang khatib berada di tempat yang lebih tinggi dan lebih mudah terlihat, hal itu lebih sempurna karena memungkinkan lebih banyak orang mendengar ucapannya. Selain itu, melihat pembicara secara langsung dapat lebih efektif dalam menarik perhatian dan mendorong pendengar untuk menyimak. Oleh karena itu, terdapat perbedaan antara hanya mendengar suara seseorang tanpa melihatnya dan mendengar suara sambil melihatnya. Kondisi yang kedua lebih mampu menarik perhatian.
Telah diriwayatkan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhum, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah, para sahabat menghadap beliau dengan wajah mereka agar mereka dapat menggabungkan pendengaran dan penglihatan. (HR Ibnu Majah)
Baca juga: ANJURAN UNTUK SEGERA BERBUAT BAIK
Baca juga: HUKUM-HUKUM AIR
Baca juga: SYARAT SAH SHALAT
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)