‘Ain diambil dari kata ‘ana-ya’inu yang berarti ia menatap dengan matanya. ‘Ain bermula saat ‘a’in (pelaku ‘ain) kagum pada sesuatu, lalu diikuti dengan munculnya kekejian dalam dirinya, kemudian menggunakan tatapan matanya untuk meluncurkan racun dirinya ke sesuatu yang dipandangnya.
Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya, Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk memohon perlindungan dari orang yang dengki. Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ اِذَا حَسَدَ
“Dan dari keburukan orang yang dengki ketika dengki.” (QS al-Falaq: 5)
Setiap ‘a’in (pelaku ‘ain) adalah hasid (pelaku dengki), tetapi tidak setiap hasid adalah ‘a’in. Hasid bermakna lebih umum daripada ‘ain. Dengan demikian, memohon perlindungan dari keburukan hasid berarti memohon perlindungan dari keburukan‘a’in.
Hasad ibarat anak panah yang meluncur dari hasid atau ‘a’in ke orang yang didengki (mahsud atau ma’in). Anak panah itu adakalanya mengenai orang yang didengki dan adakalanya luput. Jika serangan ini mengenai sasaran yang tidak memiliki tameng atau penangkal, maka serangan ini akan memberikan pengaruh kepada sasaran. Jika serangan ini mengenai sasaran yang waspada dan memiliki penangkal yang tidak dapat ditembus oleh anak panah, maka serangan itu tidak berpengaruh padanya. Bahkan bisa jadi anak panah itu berbalik ke arah pelemparnya. Perbuatan ini ibarat anak panah yang sesungguhnya (nyata). ‘Ain merupakan anak panah yang berasal dari jiwa, sedangkan anak panah yang nyata berasal dari busur yang nyata.
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَيْنَ لَتُدْ خِلُ الرَّ جُلَ الْقَبِرَ، وَالْجَمَلَ الْقِدْرُ
“Sesungguhnya ‘ain dapat memasukkan seseorang ke dalam kuburan dan unta ke dalam periuk.” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dan al-Khathib. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah)
Dalam riwayat lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…dapat mengakibatkan kebinasaan.” (Diriwayatkan oleh Hakim, Ahmad, dan Thabrani. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah)
Adalah mengherankan kebanyakan umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mati karena ‘ain.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أكْثَرُ مَن يَمُوتُ مِن أُمَّتِي بَعْدَ قَضاءِ اللَّهِ وقَدَرِهِ بِالعَيْنِ
“Kebanyakan umatku meninggal dunia setelah qadha dan qadar Allah adalah karena ‘ain.” (HR al-Bazzar. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
Terkadang teman dekat tidak selamat dari orang yang memiliki pandangan mata yang mencelakakan ini. Orang ini bisa saja mengarahkan panah beracun dengan sendirinya, tanpa kehendaknya. Bahkan terkadang orang ini bisa mengarahkan ‘ain kepada diri sendiri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْلَآ اِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاۤءَ اللّٰهُ لَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللّٰهِ
“Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu, ‘Ma sya Allah. La quwwata illa billah (Atas kehendak Allah. Tidak ada kekuatan kecuali dengan izin Allah).’” (QS al-Kahfi: 39)
Jika orang yang memiliki pandangan mata yang mencelakakan takut memberi mudarat kepada orang yang dilihatnya, hendaklah ia rida dan mendoakan keberkahan untuknya dengan berkata, “Ya Allah, berilah keberkahan kepadanya,” atau “Ma syaa Allah. La quwwata illa billah.”
Jika orang yang memiliki pandangan mata yang mencelakakan membiasakan zikir ini, maka ia dapat mengenyahkan kemudaratan dengan izin Allah.
Adapun jika ia sengaja menimpakan kepada orang lain, maka ia berdosa karena ia telah berbuat zalim. Sebagian fukaha berkata, “Jika sengaja, maka ia dibunuh karena ‘ainnya.” Mereka mengusulkan agar pelaku ‘ain dikisas karena perbuatannya termasuk membunuh dengan sengaja.
Dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Suatu ketika ayahku, Sahl bin Hunaif mandi di al-Kharrar. Ia membuka jubah yang ia pakai. Ketika itu Amr bin Rabi’ah melihatnya. Sahl adalah orang yang berkulit putih dan indah. Maka Amr bin Rabi’ah berkata, “Aku tidak pernah melihat kulit seindah seperti yang kulihat hari ini, bahkan mengalahkan kulit gadis.”
Sahl seketika itu jatuh sakit di tempat itu, dan sakitnya semakin parah. Peristiwa itu dikabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sahl sedang sakit. Ia tidak bisa pergi bersamamu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi menjenguknya. Sahl bercerita kepada Rasulullah tentang apa yang dilakukan Amr bin Rabi’ah kepadanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَامَ يَقْتُلُ أًحَدُكمْ أَخَاهُ؟ أَلَا بَرَّكْتَ؟ إِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ، تَوَضَّأْ لَهُ
“Mengapa ada orang yang ingin membunuh saudaranya? Mengapa tidak mendoakan keberkahan? Sesungguhnya ‘ain itu benar adanya. Maka berwudulah untuknya.”
Amr bin Rabi’ah lalu berwudu. Air bekas wudu disiramkan ke tubuh Sahl. Dan Sahl pun sembuh. Ia berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR Ibnu Majah dan an-Nasa-i)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَيْنُ حَقٌّ. وَلَوْ كَانَ شَىْءٌ سَابَقَ الْقَدَرَ، سَبَقَتْهُ الْعَيْنُ. وَإِذَا اسْتُغْسِلْتُمْ، فَاغْسِلُوا
“‘Ain itu benar-benar ada. Jika ada yang mendahului takdir, maka itu adalah ain. Jika kamu disuruh mandi, maka mandilah.” (HR Muslim)
Baca juga: CARA MENGOBATI PENYAKIT ‘AIN
Baca juga: TIDAK MENCELAKAI ORANG MUSLIM
Rujukan:
1. Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Zad ul-Ma’ad,
2. Abdul Lathif bin Hajis al-Ghamidi, Mukhalafat Nisa’iyyah, 100 Mukhalafat Taqa’u fihal Katsir minan Nisa’ bi Adillatiha asy-Syar’iyyah,
3. Lajnah Da’imah, Fatawa al-‘Ilaj bil Qur’an was Sunnah – ar-Ruqa wama yata’allaqu biha.