BERPERANG DI JALAN ALLAH

BERPERANG DI JALAN ALLAH

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Seseorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Uhud, “Bagaimana menurutmu, jika aku terbunuh (di medan perang), di mana aku akan berada?”

Beliau menjawab,

فِي الْجَنَّةِ

Di Surga.”

Maka orang itu melemparkan beberapa butir kurma yang ada di tangannya, lalu ia berperang hingga terbunuh. (Muttafaq ‘alaih)

PENJELASAN

Penulis rahimahullah berkata dalam riwayat yang ia sampaikan dari Jabir bin ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma dan ayahnya, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari (perang) Uhud, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku berperang hingga terbunuh?” Beliau menjawab, “Engkau di surga.” Maka orang itu pun melemparkan beberapa butir kurma yang ada bersamanya, lalu ia maju, berperang, hingga akhirnya terbunuh – radhiyallahu ‘anhu.

Dalam hadis ini terdapat dalil tentang inisiatif para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam melakukan amal saleh, serta bahwa mereka tidak menunda-nunda dalam melaksanakannya. Inilah kebiasaan mereka. Oleh karena itu, mereka memperoleh kemuliaan di dunia dan di akhirat.

Serupa dengan ini adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhotbah kepada manusia pada hari ‘Id, kemudian beliau turun dan mendekati para perempuan, lalu berkhotbah kepada mereka serta memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka para perempuan di antara mereka mulai mengambil anting dan cincin mereka, lalu melemparkannya ke kain Bilal, yang mengumpulkannya hingga menyerahkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka radhiyallahu ‘anhunna tidak menunda-nunda dalam bersedekah, bahkan mereka bersedekah hingga dari perhiasan mereka sendiri.

Dalam hadis Jabir terdapat beberapa faedah, di antaranya adalah bahwa siapa pun yang terbunuh di jalan Allah, maka ia berada di Surga. Namun, siapakah orang yang benar-benar terbunuh di jalan Allah? Orang yang terbunuh di jalan Allah adalah orang yang berperang agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi, bukan berperang karena fanatisme, keberanian, atau riya, tetapi murni karena ingin menjadikan kalimat Allah yang tertinggi.

Adapun orang yang berperang karena fanatisme, seperti mereka yang berperang demi nasionalisme Arab, misalnya, maka mereka bukanlah syuhada. Sebab, berperang demi nasionalisme Arab bukanlah berperang di jalan Allah, karena itu termasuk fanatisme semata.

Demikian juga halnya dengan orang yang berperang karena keberanian, yaitu orang yang terdorong untuk berperang hanya karena ia memiliki sifat pemberani. Umumnya, seseorang yang memiliki suatu sifat akan cenderung ingin menunjukkan sifat tersebut. Maka orang seperti ini, jika terbunuh, ia bukan termasuk yang mati di jalan Allah.

Demikian juga dengan orang yang berperang karena riya –wal’iyadzu billah– yaitu orang yang berperang agar dilihat kedudukannya, serta agar dianggap sebagai orang yang berperang melawan musuh-musuh kafir. Maka orang seperti ini bukanlah termasuk yang berperang di jalan Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang berperang karena fanatisme, yang berperang karena keberanian, dan yang berperang agar dilihat kedudukannya. “Manakah di antara mereka yang berada di jalan Allah?” Beliau menjawab,

مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةَ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا، فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ

Barang siapa berperang agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi, maka ia berada di jalan Allah.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hal ini terdapat dalil tentang kegigihan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam memahami berbagai perkara. Laki-laki ini bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan memang demikianlah kebiasaan mereka. Mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan hingga mereka bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena ingin mendapatkan manfaat dari hal itu berupa ilmu dan amal.

Orang yang mengetahui syariat berarti telah dianugerahi ilmu oleh Allah. Jika ia mengamalkannya, maka itu merupakan anugerah lainnya. Begitulah kebiasaan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Mereka bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum-hukum syariat agar mereka dapat mengamalkannya. Berbeda dengan keadaan manusia di zaman sekarang. Mereka bertanya tentang hukum-hukum syariat, tetapi setelah mengamalkannya, mereka justru meninggalkannya dan membuangnya ke belakang mereka, seolah-olah mereka hanya ingin mendapatkan ilmu sebatas pengetahuan teori saja. Pada hakikatnya ini adalah kerugian yang nyata. Sebab, siapa yang meninggalkan amal setelah mengetahuinya, maka orang yang bodoh justru lebih baik darinya.

Jika ada yang berkata, “Jika kita melihat beberapa orang berperang dan mereka berkata, ‘Kami berperang demi Islam, membela Islam,’ lalu salah satu dari mereka terbunuh, apakah kita dapat bersaksi bahwa ia adalah seorang syahid?”

Jawabannya, “Tidak.”

Kita tidak bisa bersaksi bahwa ia syahid, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ما مِنْ مُكْلُومٍ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ـ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِهِ ـ إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَجُرْحُهُ يَثْغَبُ دَمًا، اللَّوْنُ لَوْنُ الدَّمِ، وَالرِّيحُ رِيحُ الْمِسْكِ

Tidak seorang pun yang terluka di jalan Allah –dan Allah lebih mengetahui siapa yang terluka di jalan-Nya– kecuali ia akan datang pada Hari Kiamat dengan lukanya mengalirkan darah. Warnanya seperti warna darah, dan baunya seperti bau misk.” (HR al-Bukhari)

Sabda beliau “Dan Allah lebih mengetahui siapa yang terluka di jalan-Nya” menunjukkan bahwa perkara ini bergantung pada niat, yang tidak kita ketahui, tetapi diketahui oleh Allah.

Pada suatu hari Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkhotbah, “Wahai manusia, kalian mengatakan, ‘Fulan syahid dan Fulan syahid,’ padahal bisa jadi ia telah membebani tunggangannya.” Yaitu membawa harta ghulul.

Maksudnya, janganlah kalian mengatakan demikian. Akan tetapi, katakanlah, “Siapa mati atau terbunuh di jalan Allah, maka ia syahid.”

Maka janganlah bersaksi untuk seseorang secara khusus bahwa ia syahid, kecuali orang yang disaksikan sebagai syahid oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian, maka kamu boleh bersaksi baginya. Adapun selain itu, hendaklah kita mengucapkan perkataan yang bersifat umum, seperti, “Siapa yang terbunuh di jalan Allah, maka ia syahid,” atau “Kita berharap ia termasuk para syuhada,” dan perkataan lain yang semisalnya.

Baca juga: ORANG YANG MEMBUNUH DAN TERBUNUH BERADA DI NERAKA

Baca juga: ORANG YANG MEMBUNUH DAN YANG DIBUNUH SAMA-SAMA MASUK SURGA

Baca juga: TOLOK UKUR BERPERANG DI JALAN ALLAH

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Kisah Riyadhush Shalihin