Anas radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إِذَا وُضِعَ الْعَشَاءُ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ
“Apabila makan malam telah dihidangkan dan salat telah didirikan, maka hendaklah kalian memulai dengan makan malam.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa-i dan ad-Darimi)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أَحَدُكُمْ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ، وَلَا يَعْجَلْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ
“Apabila makan malam salah seorang dari kalian telah dihidangkan sementara salat telah didirikan, maka mulailah dengan makan malam, dan janganlah seseorang tergesa-gesa hingga ia selesai dari makannya.” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan ad-Darimi)
Apabila makan malam telah dihidangkan kepada Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma sementara waktu salat telah tiba, beliau tidak beranjak dari makan malamnya hingga menyelesaikannya.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar seringkali mengutusnya sementara ia tengah berpuasa. Lalu makan malam dihidangkan kepadanya sementara azan salat Magrib telah dikumandangkan. Kemudian ikamat salat diserukan dan ia mendengarnya. Namun ia tidak meninggalkan makan malamnya dan tidak pula tergesa-gesa hingga ia menyelesaikan makan malamnya. Kemudian ia keluar untuk mengikuti salat. Setelah itu ia berkata, “Nabi Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَعْجَلوا عَنْ عَشَائِكُمْ إِذَا قُدِّمَ إِلِيْكُمْ
“Janganlah kalian tergesa-gesa menyantap makan malam kalian apabila ia telah dihidangkan kepada kalian.” (HR Ahmad)
Alasannya adalah agar jangan sampai seseorang mengerjakan salat akan tetapi hatinya teringat kepada makan malamnya sehingga ia menjadi risau dan menghilangkan kekhusyukan.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari Abu Hurairah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa keduanya tengah menyantap makanan di pemanggangan. Lalu muazin hendak menyerukan ikamat salat, maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Janganlah engkau tergesa-gesa agar kami tidak berdiri mengerjakan salat sementara dalam hati kami ada ganjalan.”
Dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah disebutkan, “Agar tidak memalingkan (hati) kami saat mengerjakan salat.”
Perintah ini tidak sebatas pada makan malam saja, bahkan di setiap makanan dimana hati kita tertarik untuk menyantapnya. Dalil yang menguatkannya adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengerjakan salat ketika makanan telah dihidangkan, juga ketika menahan kencing dan menahan buang air besar. Alasannya sangatlah jelas.
Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَاصَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَاهُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
“Tidak ada salat ketika makanan telah dihidangkan, dan tidak ada salat seseorang dalam keadaan menahan kencing dan hajat besar.” (HR Muslim, Ahmad dan Abu Dawud)
Sebagian ulama berkata, “Siapa yang makanannya telah dihidangkan kemudian ikamat salat diserukan, maka hendaklah ia memakan beberapa suap untuk mengatasi rasa laparnya.”
Imam an-Nawawi rahimahullah membantah pendapat itu. Ia berkata, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Dan janganlah seseorang tergesa-gesa hingga menyelesaikan makannya’ adalah dalil yang menunjukkan bahwa ia menyelesaikan makan sebagai kebutuhannya dengan menyempurnakannya. Inilah pendapat yang sahih. Adapun penafsiran sebagian ulama Syafi’iyyah bahwa cukup baginya makan sesuap untuk mengatasi rasa laparnya yang amat sangat bukanlah pendapat yang sahih. Hadis ini jelas-jelas menolak pendapat tersebut.”
Pertanyaan: Jika makanan telah dihidangkan sementara ikamat salat telah diserukan, apakah wajib makan terlebih dahulu berdasarkan zahir hadis di atas ataukah perintah tersebut sebatas disunahkan?
Jawab: Apa yang dilakukan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma dalam riwayat Ahmad dan selainnya menunjukkan didahulukannya makan secara mutlak.
Sebagian ulama mengkhususkannya dengan jika hati tertarik dan membayangkan makanan tersebut. Jika hatinya membayangkan makanan tersebut, maka yang lebih utama baginya adalah memakan makanan tersebut sehingga ia mengerjakan salat dengan khusyuk.
Diriwayatkan juga dari Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Di antara bentuk pemahaman seseorang adalah dengan menyelesaikan hajatnya sehingga ia menuju salat dengan hati yang tenang.”
Pendapat yang tepat tentang masalah ini adalah pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dimana setelah mengutip atsar Ibnu Abbas dan al-Hasan bin ‘Ali, yaitu, “Makan malam sebelum mengerjakan salat akan menghilangkan hati yang tercela,” ia berkata, “Semua atsar ini mengisyaratkan bahwa sebab didahulukannya makan daripada salat karena hati akan membayangkan makanan itu. Maka sepatutnyalah hukum diikutkan kepada sebabnya, baik ketika sebab itu ada atau tidak, dan tidak terikat dengan seluruhnya atau sebagiannya.”
Baca juga: LARANGAN MAKAN SAMBIL BERTELEKAN
Baca juga: LARANGAN MENCELA MAKANAN
Baca juga: MAKAN DAN MINUM DENGAN TANGAN KANAN
(Fuad bin Abdil Aziz asy-Syalhub)