Adalah wajar apabila setiap muslim meminta kepada Allah Ta’ala agar Dia memberkahinya dalam ilmu dan amalnya, dalam waktu dan hartanya, dalam keluarga dan anak-anaknya, dan dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhiratnya. Hendaklah ia selalu berusaha membuka jalan yang membawa keberkahan-keberkahan itu kepadanya.
ar-Raghib berkata, “Keberkahan adalah kebaikan ilahi yang terus-menerus pada sesuatu.”
Keberkahan jika terdapat pada sesuatu yang sedikit, maka sesuatu itu akan menjadi banyak; jika terdapat pada sesuatu yang banyak, maka sesuatu itu akan bermanfaat. Sesungguhnya salah satu buah terbesar dari keberkahan dalam sesuatu adalah penggunaannya untuk ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS al-A’raaf: 96).
Dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat merupakan sosok-sosok yang paling konsisten dalam ketakwaan dan syarat-syaratnya, maka tidak heran jika keberkahan kepada mereka lebih besar dan lebih menyeluruh dibandingkan kepada selain mereka.
Allah Ta’ala memberikan hidayah-Nya kepada mereka dan hamba-hamba-Nya yang saleh lainnya kepada sesuatu yang mengandung seluruh kebaikan dan keberkahan, yaitu kitab yang agung (al-Qur’an) dimana Allah Ta’ala memerintahkan manusia untuk mempelajarinya dan merenungkannya.
Allah Ta’ala berfirman:
كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS Shaad: 29)
Abdurrahman bin Abu Bakr radhiyallahu ‘anhuma bercerita: Abu Bakr datang bersama seorang (atau beberapa orang) tamunya. Kemudian ia menghabiskan waktu sore di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika pulang, ibuku berkata kepadanya, “Kamu terlambat untuk menjamu tamumu (atau tamu-tamumu) malam ini.” Abu Bakr bertanya, “Apakah engkau telah memberi dia (atau mereka) makan malam?” Ibuku menjawab, “Aku sudah tawarkan kepadanya (atau kepada mereka), tetapi dia (atau mereka) menolak.” Abu Bakr marah dan bersumpah untuk tidak memakan makanan yang disediakan ibuku. Aku pun bersembunyi. Ia memanggil, “Wahai Ghantsar.” Ibuku kemudian bersumpah untuk tidak makan sebelum Abu Bakr makan. Dan tamu tersebut (atau tamu-tamu tersebut) juga bersumpah untuk tidak memakannya sampai Abu Bakr memakannya. Kemudian Abu Bakr berkata, “Sepertinya perbuatan ini datangnya dari setan.” Dia pun meminta makanan tersebut dan memakannya. Dia (atau mereka) pun memakannya. Setiap kali dia (atau mereka) mengangkat suapan, muncul dari bawahnya makanan yang lebih banyak. Abu Bakr bertanya, “Wahai saudari Bani Firasy, apa ini?” Ibuku menjawab, “Wahai penyejuk hatiku, sekarang makanan ini lebih banyak daripada sebelum kita makan.” Kemudian mereka menyantapnya dan mengirimkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abdurrahman menceritakan bahwa beliau juga memakannya. (HR al-Bukhari)
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “(Ketika) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, di rumahku tidak ada sesuatu yang dapat dimakan oleh makhluk bernyawa (manusia atau hewan) kecuali sedikit gandum yang ada di rak makanan milikku. Lalu aku memakan sebagian hingga beberapa lama. Setelah itu aku timbang lalu habis.” (HR al-Bukhari)
Baca juga: ADA KEBERKAHAN PADA MAKAN SAHUR
Baca juga: CARA MENDAPATKAN KEBERKAHAN
(Dr Amin bin Abdullah asy-Syaqawi)