Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa,
اللَّهُمَّ إنِّي أَسألُكَ الهُدَى، وَالتُّقَى، وَالعَفَافَ، وَالغِنَى
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kesucian, dan kecukupan.” (HR Muslim)
PENJELASAN
Di antara hadis-hadis yang disebutkan oleh penulis kitab rahimahullah dalam bab tentang takwa adalah hadis ini:
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan doa ini:
اللَّهُمَّ إنِّي أَسألُكَ الهُدَى، وَالتُّقَى، وَالعَفَافَ، وَالغِنَى
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, kesucian, dan kecukupan.”
“al-Huda” di sini bermakna ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membutuhkan ilmu seperti halnya manusia lainnya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada beliau:
وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْاٰنِ مِنْ قَبْلِ اَنْ يُّقْضٰٓى اِلَيْكَ وَحْيُهٗ ۖوَقُلْ رَّبِّ زِدْنِيْ عِلْمًا
“Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur’an sebelum selesai diwahyukan kepadamu. Dan katakanlah, ‘Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu.’” (QS Thaha: 114)
Dan Allah berfirman kepada beliau:
وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ، وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“Dan Dia mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Dan karunia Allah kepadamu sangat besar.” (QS an-Nisa: 113)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membutuhkan ilmu, sehingga beliau memohon kepada Allah ilmu (al-huda).
“al-Huda” jika disebutkan secara tunggal mencakup ilmu dan taufik untuk mengikuti kebenaran. Namun, jika disandingkan dengan sesuatu yang menunjukkan taufik untuk kebenaran, maka “al-huda” diartikan sebagai ilmu. Sebab, dalam bahasa Arab, penggabungan (atau ‘atf) mengisyaratkan perbedaan makna. Oleh karena itu, “al-huda” memiliki satu makna, dan apa yang menyertainya yang menunjukkan taufik memiliki makna lain.
Adapun sabda beliau, “at-tuqa” (ketakwaan), maksudnya adalah takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Rabbnya untuk diberi ketakwaan, yakni agar Dia memberinya taufik untuk bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, karena Allah ‘Azza wa Jalla adalah yang memegang kendali atas segala sesuatu. Jika seorang hamba diserahkan kepada dirinya sendiri, maka ia akan tersesat dan tidak akan memperoleh apa pun. Namun, jika Allah ‘Azza wa Jalla memberikan taufik kepadanya dan menganugerahkannya ketakwaan, maka ia akan berjalan lurus dalam ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Adapun sabda beliau, “al-’afaf” (kesucian), yang dimaksud adalah agar Allah menganugerahkan kepadanya kesucian diri dan menjaga dirinya dari segala yang diharamkan Allah atasnya. Penyebutannya setelah “at-tuqa” (ketakwaan) dapat dianggap sebagai bentuk penyebutan yang khusus setelah yang umum, jika kita membatasi makna “al-’afaf” hanya pada kesucian dari sesuatu yang spesifik. Jika tidak, maka hal itu termasuk dalam kategori penyebutan dua kata yang sinonim.
Adapun “al-’afaf” (kesucian) yaitu menjauhkan diri dari segala yang diharamkan Allah atasnya, yang mencakup seluruh hal yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
Adapun “al-ghina” (kecukupan), yang dimaksud adalah merasa cukup dengan Allah semata, yaitu kecukupan dari makhluk, sehingga manusia tidak membutuhkan siapa pun selain Rabbnya ‘Azza wa Jalla.
Manusia, jika Allah memberinya taufik dan menganugerahkan kepadanya kecukupan dari makhluk, maka ia menjadi seseorang yang memiliki kemuliaan jiwa dan tidak hina. Sebab, kebutuhan terhadap makhluk adalah kehinaan dan kerendahan, sedangkan kebutuhan kepada Allah Ta’ala adalah kemuliaan dan bentuk ibadah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah ‘Azza wa Jalla kecukupan.
Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki kekuasaan atas manfaat maupun mudarat untuk dirinya sendiri. Yang memiliki kekuasaan atas hal tersebut adalah Allah.
Di dalamnya juga terdapat dalil untuk membatalkan perbuatan orang-orang yang bergantung pada para wali dan orang-orang saleh dalam menarik manfaat atau menolak mudarat, sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang bodoh yang berdoa kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di makamnya, atau berdoa kepada orang-orang yang mereka anggap wali selain Allah. Sesungguhnya mereka sesat dalam agama mereka, bodoh dalam akal mereka, karena orang-orang yang didoakan tersebut pun tidak memiliki kekuasaan apa pun atas diri mereka sendiri.
Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قُلْ لَّآ اَقُوْلُ لَكُمْ عِنْدِيْ خَزَاۤىِٕنُ اللّٰهِ وَلَآ اَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَآ اَقُوْلُ لَكُمْ اِنِّيْ مَلَكٌۚ
“Katakanlah, ‘Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini malaikat.’” (QS al-An’am : 50)
قُلْ لَّآ اَمْلِكُ لِنَفْسِيْ نَفْعًا وَّلَا ضَرًّا اِلَّا مَا شَاۤءَ اللّٰهُ
“Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik manfaat bagi diriku dan tidak (pula) menolak mudarat kecuali yang dikehendaki Allah.’” (QS al-A’raf : 188)
قُلْ اِنِّيْ لَآ اَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَّلَا رَشَدًا قُلْ اِنِّيْ لَنْ يُّجِيْرَنِيْ مِنَ اللّٰهِ اَحَدٌ ەۙ وَّلَنْ اَجِدَ مِنْ دُونَهُ مُلْتَحَدًا
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudaratan pun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan.’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang pun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain dari-Nya.’” (QS al-Jin: 21-22)
Maka manusia harus mengetahui bahwa siapa pun mereka, betapapun mereka dianugerahi kedudukan mulia di sisi Allah ‘Azza wa Jalla, atau memiliki tempat dan derajat di sisi Allah, mereka tidak layak untuk diseru (dimintai doa atau pertolongan) selain kepada Allah. Bahkan, mereka yang memiliki kedudukan mulia di sisi Allah, seperti para nabi dan orang-orang saleh, sepenuhnya berlepas diri dari siapa pun yang berdoa kepada mereka selain kepada Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana Nabi Isa ‘alaihissalam berkata ketika Allah berfirman kepadanya:
يٰعِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ ءَاَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُوْنِيْ وَاُمِّيَ اِلٰهَيْنِ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗقَالَ سُبْحٰنَكَ مَا يَكُوْنُ لِيْٓ اَنْ اَقُوْلَ مَا لَيْسَ لِيْ بِحَقٍّ
“Wahai Isa, putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang sembahan selain Allah,’ Isa menjawab, ‘Maha Suci Engkau. Tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya).’” (QS al-Maidah: 116)
Tidaklah menjadi hak Nabi Isa atau siapa pun selainnya untuk berkata kepada manusia, “Jadikanlah aku sebagai tuhan selain Allah.”
Lalu dilanjutkan dalam firman-Nya:
اِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَه، ۗتَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِيْ وَلَآ اَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِكَ ۗاِنَّكَ اَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوْبِ مَا قُلْتُ لَهُمْ اِلَّا مَآ اَمَرْتَنِيْ بِهِ اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ رَبِّيْ وَرَبَّكُمْ
“Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahui apa yang ada pada diriku. Dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Mahamengetahui perkara yang gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (untuk mengatakannya), yaitu, ‘Sembahlah Allah, Rabbku dan Rabbmu!’” (QS al-Maa’idah: 116-117)
Kesimpulannya, apa yang kita dengar tentang sebagian kaum muslimin yang bodoh di beberapa wilayah Islam, yang mendatangi kuburan orang-orang yang mereka anggap sebagai wali, lalu berdoa kepada mereka, sesungguhnya perbuatan ini adalah kebodohan dalam akal dan kesesatan dalam agama. Orang-orang yang disebut wali tersebut tidak akan pernah bisa memberikan manfaat kepada siapa pun. Mereka adalah jasad yang telah mati, yang bahkan tidak bisa bergerak sendiri, maka bagaimana mungkin mereka bisa bergerak untuk orang lain?
Allah-lah yang memberikan taufik.
Baca juga: CINTA DAN BENCI KARENA ALLAH
Baca juga: KEMULIAAN BUKAN DENGAN NASAB, TETAPI DENGAN TAKWA
Baca juga: ALLAH MEMBENTANGKAN TANGAN-NYA UNTUK MENERIMA TOBAT HAMBANYA
(Syekh Muhammad bin Shalih al’Utsaimin)