PERMASALAHAN TERKAIT DENGAN TAYAMUM

PERMASALAHAN TERKAIT DENGAN TAYAMUM

๐Ÿ€ Tayamum memiliki fungsi yang sama dengan wudhu dan mandi dalam hal yang dibolehkan, karena tayamum adalah pengganti keduanya. Syariat menyebutnya sebagai thahur (penyuci), seperti halnya air juga disebut thahur. Rasulullah shallallahu โ€˜alaihi wa sallam bersabda,

ุฌูุนูู„ูŽุชู’ ู„ููŠูŽ ุงู„ู’ุฃูŽุฑู’ุถู ู…ูŽุณู’ุฌูุฏู‹ุง ูˆูŽุทูŽู‡ููˆุฑู‹ุง

โ€œDijadikan untukku bumi sebagai tempat sujud (shalat) dan alat bersuci (tayamum).โ€ ย (HR al-Bukhari dan Muslim)

Tayamum setara dengan air dalam menghilangkan hadas, namun seseorang tidak diperkenankan melakukan tayamum jika masih memiliki akses kepada air.

๐Ÿ€ Berdasarkan penjelasan sebelumnya, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa seorang yang bertayamum boleh melaksanakan shalat, baik shalat sunah maupun fardhu, sebanyak yang diinginkannya dengan satu kali tayamum, selama belum ada yang membatalkannya.

๐Ÿ€ Apabila seseorang yang junub atau perempuan yang sedang haid bertayamum, maka tayamum tersebut mengangkat hadasnya hingga ia menemukan air. Namun, jika ia mendapatkan air, maka ia wajib mandi.

Dari Imran bin Husain radhiyallahu โ€˜anhu bahwa ia berkata: Rasulullah shallallahu โ€˜alaihi wa sallam shalat bersama orang-orang, lalu ketika beliau selesai dari shalatnya, beliau melihat seorang laki-laki menjauh dan tidak ikut shalat bersama mereka. Beliau bertanya,

ู…ูŽุง ู…ูŽู†ูŽุนูŽูƒูŽุŒ ูŠูŽุง ููู„ูŽุงู†ูุŒ ุฃูŽู†ู’ ุชูุตูŽู„ู‘ููŠูŽ ู…ูŽุนูŽ ุงู„ู’ู‚ูŽูˆู’ู…ูุŸ

โ€œApa yang menghalangimu, wahai fulan, sehingga kamu tidak shalat bersama orang-orang?โ€

Laki-laki itu menjawab, โ€œAku terkena janabah (hadas besar) dan tidak menemukan air.โ€

Beliau bersabda,

ุนูŽู„ูŽูŠู’ูƒูŽ ุจูุงู„ุตู‘ูŽุนููŠุฏูุŒ ููŽุฅูู†ู‘ูŽู‡ู ูŠูŽูƒู’ูููŠูƒูŽ

โ€œGunakanlah tanah, karena itu sudah cukup bagimu.โ€

Imran kemudian menyebutkan bahwa setelah mereka menemukan air, Rasulullah shallallahu โ€˜alaihi wa sallam memberikan kepada laki-laki yang terkena janabah tersebut sebuah wadah berisi air dan berkata,

ุฅูุฐู’ู‡ูŽุจู’ุŒ ููŽุฃูŽูู’ุฑูุบู’ู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ูƒูŽ

โ€œPergilah dan tuangkan air itu ke atas dirimu.โ€ (HR al-Bukhari dan Muslim)

๐Ÿ€ Orang yang berwudhu (mutawadldhi) sah bermakmum kepada orang yang bertayamum (mutayammim). Hal ini didasarkan pada hadis โ€˜Amru bin al-Ash radhiyallahu โ€˜anhu, di mana ia mengimami para sahabatnya dalam keadaan bertayamum karena cuaca yang sangat dingin. (Sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Hibban)

๐Ÿ€ Orang yang tidak memiliki air tetap diperbolehkan menyetubuhi istrinya, meskipun ia yakin bahwa ia tidak akan mendapatkan air untuk mandi janabah dan akan mencukupkan dengan tayamum saja. Dalam hadis dari Abu Dzar radhiyallahu โ€˜anhu, ia berkata: Aku tidak betah tinggal di Madinah, lalu Rasulullah shallallahu โ€˜alaihi wa sallam menyuruh mengambil beberapa ekor unta dan satu ekor kambing untukku, seraya berkata kepadaku, โ€œMinumlah air susunya.โ€ Abu Dzar melanjutkan: Aku pernah jauh dari air sedangkan istriku ada bersamaku, lalu aku berjanabat dan kemudian shalat tanpa bersuci. Kemudian aku mendatangi Rasulullah shallallahu โ€˜alaihi wa sallam yang saat itu tengah berada di tengah-tengah para sahabatnya di bawah naungan masjid. Beliau bersabda, โ€œAbu Dzar?โ€ Aku menjawab, โ€œYa, aku telah binasa, wahai Rasulullah!โ€ Beliau bertanya, โ€œApa yang membinasakanmu?โ€ Aku berkata, โ€œAku pernah jauh dari air sedangkan istriku ada bersamaku, lalu aku berjanabat dan kemudian shalat tanpa bersuci.โ€ Lalu Rasulullah menyuruh mengambil air untukku dan bersabda,

ุฅูู†ู‘ูŽ ุงู„ุตู‘ูŽุนููŠุฏูŽ ุงู„ุทู‘ูŽูŠู‘ูุจูŽ ุทูŽู‡ููˆุฑู ุงู„ู’ู…ูุณู’ู„ูู…ู ูˆูŽุฅูู†ู’ ู„ูŽู…ู’ ูŠูŽุฌูุฏู’ ุงู„ู’ู…ูŽุงุกูŽ ุนูŽุดู’ุฑูŽ ุณูู†ููŠู†ูŽ ููŽุฅูุฐูŽุง ูˆูŽุฌูŽุฏูŽ ุงู„ู’ู…ูŽุงุกูŽ ููŽู„ู’ูŠูู…ูุณู‘ูŽู‡ู ุจูŽุดูŽุฑูŽุชูŽู‡ู

โ€œSesungguhnya tanah (debu) yang bersih adalah alat bersuci bagi seorang muslim, sekalipun ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Jika ia menemukan air, maka hendaklah ia menyentuhkannya ke kulitnya.โ€ (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ahmad)

Adapun makna ijtawaitu al-Madinah adalah ketidakcocokan dengan udara Madinah sehingga terkena penyakit dalam perut (sakit pencernaan). az-Zaud adalah unta yang berjumlah antara 3 hingga 9 ekor, sementara aโ€™zab berarti menjauh.

๐Ÿ€ Apabila seseorang bertayamum lalu melaksanakan shalat, kemudian ia mendapatkan air sebelum waktu shalat berakhir, maka ia tidak wajib mengulangi shalatnya tersebut. Ini adalah pendapat dari keempat imam mazhab. Namun, jika ia mendapatkan air setelah bertayamum tetapi sebelum shalat, maka shalatnya tidak dianggap sah kecuali jika ia bersuci dengan air terlebih dahulu. Demikian juga, jika ia mendapatkan air di tengah-tengah shalatnya, maka ia harus menghentikan shalatnya dan bersuci dengan air tersebut sebelum melanjutkannya..

Dalil untuk permasalahan pertama adalah apa yang diriwayatkan oleh an-Nasa-i dan Abu Dawud:

Dari Abu Saโ€™id al-Khudri radhiyallahu โ€˜anhu bahwa ia berkata: Dua orang laki-laki keluar dalam suatu perjalanan, lalu waktu shalat tiba, namun mereka tidak memiliki air. Keduanya lalu bertayamum dengan tanah yang bersih dan melaksanakan shalat. Kemudian, mereka menemukan air dalam waktu yang masih cukup untuk shalat. Salah satu dari mereka mengulang wudhu dan shalatnya, sementara yang lain tidak mengulangnya. Lalu mereka mendatangi Rasulullah shallallahu โ€˜alaihi wa sallam dan menceritakan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau bersabda kepada yang tidak mengulang,

ุฃูŽุตูŽุจู’ุชูŽ ุงู„ุณู‘ูู†ู‘ูŽุฉูŽ ูˆูŽุฃูŽุฌู’ุฒูŽุฃูŽุชู’ูƒูŽ ุตูŽู„ูŽุงุชููƒูŽ

โ€œKamu telah mengikuti sunah, dan shalatmu sudah mencukupi.โ€

Dan beliau bersabda kepada yang berwudhu dan mengulang,

ู„ูŽูƒูŽ ุงู„ุฃูŽุฌู’ุฑู ู…ูŽุฑู‘ูŽุชูŽูŠู’ู†ู

โ€œKamu mendapatkan pahala dua kali.โ€ (Hadis sahih. Diwiwayatkan oleh Abu Dawud, ad-Darimi, an-Nasa-i, al-Hakim, dan ia mensahihkannya berdasarkan kriteria al-Bukhari, dan Muslim, dan disetujui oleh al-Bukhari)

Dalil untuk dua permasalahan terakhir adalah hadis dari Abu Dzar radhiyallahu โ€˜anhu, di mana Rasulullah shallallahu โ€˜alaihi wa sallam bersabda, โ€œSesungguhnya tanah (debu) yang bersih adalah alat bersuci bagi seorang muslim, sekalipun ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Jika ia menemukan air, maka hendaklah ia menyentuhkannya ke kulitnya, karena yang demikian itu sangat baik.โ€ (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ahmad)

Namun, apakah mengulangi wudhu dan shalat lebih utama karena sabda beliau, โ€œKamu mendapatkan pahala dua kali.โ€

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, โ€œApabila sunah itu telah engkau ketahui (yaitu tidak perlu mengulang, namun engkau tetap mengulanginya), maka engkau tidak mendapatkan pahala dua kali, bahkan engkau dianggap sebagai pelaku bidโ€™ah. Sedangkan orang yang mengulangi (shalat) seperti yang disebutkan dalam hadis, ia tidak mengetahui sunah, sehingga ia berijtihad. Oleh karena itu, ia mendapatkan ganjaran dari dua amal: yang pertama adalah ganjaran shalat dengan tayamum, dan yang kedua adalah ganjaran karena mengulangi shalat.โ€

๐Ÿ€ Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, โ€œBarangsiapa menahan keinginan buang air karena tidak memiliki persediaan air, maka yang lebih utama baginya adalah shalat dengan bertayamum tanpa menahan keinginan buang air, daripada mempertahankan wudhunya dan shalat dalam keadaan menahan keinginan buang air.โ€

๐Ÿ€ Apabila seseorang lupa bahwa air ada di dekatnya lalu ia shalat dengan tayamum, kemudian ia teringat keberadaan air tersebut, maka sebagai tindakan kehati-hatian, sebaiknya ia mengulangi shalatnya itu.

๐Ÿ€ Apakah lebih baik seseorang menunda shalat hingga akhir waktu dengan harapan mendapatkan air, ataukah ia sebaiknya bertayamum dan shalat di awal waktu?

Pendapat yang lebih kuat adalah sebaiknya ia shalat di awal waktu, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu โ€˜alaihi wa sallam, โ€œMaka siapapun dari umatku yang bertemu dengan waktu shalat, hendaklah ia shalat.โ€ Mendahulukan shalat di awal waktu menjadi semakin utama jika dengan tayamum itu ia dapat melaksanakan shalat berjamaah.

๐Ÿ€ Jika seseorang mampu menggunakan air, namun khawatir kehilangan waktu shalat jika ia berwudhu atau mandi, maka apakah ia harus bertayamum dan shalat atau tetap menggunakan air meskipun waktu shalat telah berlalu? Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa ia harus menggunakan air selama ia mampu menggunakannya, meskipun itu berarti waktu shalat akan berlalu.

๐Ÿ€ Apabila air terputus dari penduduk kampung, ini tidak berarti bahwa seseorang telah kehilangan air secara keseluruhan. Air mungkin masih tersedia di kampung sebelah yang dekat. Oleh karena itu, ia harus mencari air tersebut dan berwudhu dari sana.

๐Ÿ€ Apabila seseorang mendapatkan air yang hanya cukup untuk sebagian tubuhnya, terdapat dua pendapat mengenai hal ini: Pendapat pertama menyatakan bahwa ia harus menggunakan air tersebut untuk bagian tubuh yang dapat dicuci dan bertayamum untuk bagian yang tersisa. Ini dinyatakan oleh Imam Ahmad yang mengatakan bahwa seseorang yang hanya memiliki air cukup untuk berwudhu sementara ia dalam keadaan junub harus berwudhu dan bertayamum. Pendapat kedua berpendapat bahwa ia harus bertayamum dan meninggalkan air tersebut jika tidak cukup untuk mencuci seluruh tubuhnya.

๐Ÿ€ Jika seseorang membawa perbekalan air, namun ia khawatir akan kehausan jika menggunakan air tersebut, atau mengkhawatirkan teman seperjalanan atau ternaknya, maka ia boleh menyimpan air tersebut untuk kebutuhan minum dan bertayamum untuk shalat.

Ditanyakan kepada Ahmad, โ€œSeseorang membawa seember air untuk berwudhu, kemudian ia melihat suatu kaum kehausan. Apakah engkau lebih suka jika ia memberi minum kepada mereka atau berwudhu?โ€ Ahmad menjawab, โ€œMemberi minum kepada mereka.โ€

Shalat bagi orang yang kehilangan kedua sarana penyuci (air dan debu) adalah sebagai berikut:

Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu โ€˜anha bahwa ia meminjam kalung dari Asmaโ€™, namun kalung itu hilang. Maka Rasulullah shallallahu โ€˜alaihi wa sallam mengutus beberapa orang untuk mencarinya, dan mereka menemukannya. Waktu shalat tiba, tetapi mereka tidak memiliki air, sehingga mereka shalat tanpa wudhu. Ketika mereka kembali kepada Rasulullah shallallahu โ€˜alaihi wa sallam, mereka mengeluhkan hal tersebut kepada beliau, maka Allah menurunkan ayat tentang tayamum. (HR al-Bukhari dan Muslim)

Mereka melaksanakan shalat tanpa berwudhu sebelum disyariatkannya tayamum, dan Nabi shallallahu โ€˜alaihi wa sallam tidak mengingkari perbuatan mereka. Berdasarkan hal ini, jika seseorang kehilangan kedua sarana pensuci (air dan debu), maka ia diperbolehkan shalat tanpa bersuci dan tidak diwajibkan mengulangi shalat yang telah dilakukannya.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, โ€œBarangsiapa tidak mendapatkan air dan tanah (debu), ia boleh shalat pada waktu itu menurut pendapat yang paling shahih, dan tidak ada keharusan baginya untuk mengulangi shalat menurut pendapat yang paling shahih.โ€

Baca juga:ย SIFAT/TATA CARA TAYAMUM

Baca juga: PEMBATAL-PEMBATAL TAYAMUM

Baca juga: SYARAT SUAMI MENAFKAHI ISTRI

(Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)

Fikih