Seorang suami wajib memberi nafkah istrinya. Kewajiban suami menafkahi istri harus memenuhi dua syarat, yaitu:
1️⃣ Istri memasrahkan diri kepada suaminya dan memungkinkan bagi suami untuk melakukan hubungan badan dengannya secara wajar, baik sempurna maupun tidak, serta sebelumnya tidak ada penghalang yang menghalangi hak suami atas istri. Jika istri menolak memasrahkan diri atau walinya menghalangi, atau mereka saling mendiamkan setelah akad, yaitu istri tidak memasrahkan diri dan suami tidak meminta, maka suami tidak wajib memberi nafkah. Memberi nafkah menjadi wajib sebagai imbalan atas diperolehnya keberhakan dengan akad nikah. Jika suami memperoleh hak yang melekat dari akad, maka istri berhak mendapatkan nafkah. Jika suami kehilangan haknya, maka istri tidak berhak mendapat nafkah.
2️⃣ Istri adalah seorang wanita dewasa yang memungkinkan suami melakukan hubungan badan. Jika istri masih kecil yang belum dapat melakukan hubungan badan, maka suami tidak wajib memberi nafkah, karena nafkah menjadi wajib dengan adanya peluang melakukan hubungan badan. Adalah tidak masuk akal suami yang tidak memiliki peluang untuk berhubungan badan berkewajiban memberi nafkah. Demikian juga jika wali melarangnya memasrahkan diri.
Jika istri durhaka dan keluar dari ketaatan kepada suami, maka suami tidak wajib memberi nafkah, walaupun suami bisa melakukan hubungan badan dengan cara memaksa. Suami lebih tidak wajib memberi nafkah jika ia sama sekali tidak memiliki peluang untuk melakukan hubungan badan.
Jika suami belum dewasa, belum dapat melakukan hubungan badan, sedangkan istrinya sudah dewasa, dapat melakukan hubungan badan dan memasrahkan diri kepada suaminya yang belum dewasa itu, maka istri berhak mendapat nafkah menurut jumhur ulama, yaitu mazhab Hanafi dan pendapat yang masyhur di mazhab Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan mazhab Maliki dan salah satu dari dua pendapat mahzab Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu dari dua riwayatnya memandang bahwa suami yang belum dewasa tidak wajib menafkahi istri yang sudah dewasa maupun masih kecil.
Pendapat yang sahih adalah pendapat yang pertama, karena istri memasrahkan diri secara penuh, seperti halnya jika suami dewasa. Alasan lain adalah karena istri dapat melakukan hubungan badan.
Begitu juga jika suami tidak dapat melakukan hubungan badan karena sakit, atau majbub (dipotong zakarnya), atau ‘innin (lemah syahwat), atau tidak berada di tempat, atau berada dalam penjara karena hutang atau sebab lainnya, maka istri berhak mendapat nafkah, sebab ia memungkinkan untuk berhubungan badan.
Kias antara suami yang belum dewasa dan istri yang belum dewasa tidaklah benar karena perempuan yang belum dewasa tidak dapat menyerahkan diri secara penuh dan tidak dapat melakukan hubungan badan.
Jika keadaan demikian terjadi, maka wali suami yang belum dewasa harus memberi nafkah dari harta anak kecil tersebut, karena menafkahi istri adalah kewajiban suami, sedangkan walinya mewakili dia dalam melaksanakan kewajibannya seperti hutang, zakat, pelanggaran hukum, dan nilai harta bendanya.
Baca juga: SUAMI WAJIB MEMBERI NAFKAH KEPADA ISTRI
Baca juga: LAKI-LAKI ADALAH PEMIMPIN BAGI PEREMPUAN
Baca juga: MEMBANTU DALAM KETAATAN KEPADA ALLAH
(Dr Abdul Aziz bin Fauzan bin Shalih al-Fauzan)