Azan merupakan syiar Allah Ta’ala. Bahkan ia merupakan syiar yang sangat agung. Azan adalah pengumuman atau i’lan masuknya waktu salat fardu.
Terdapat beberapa adab yang berkaitan dengan azan yang harus diperhatikan dan dijaga. Di antaranya adalah:
1. Niat yang Benar
Selayaknya seorang muazin hanya mengharapkan wajah Allah Ta’ala dengan azannya, mencari pahala-Nya, dan meraih balasan yang disebutkan dalam banyak hadis. Oleh karena itu, janganlah ia mengharapkan materi dunia, seperti gaji bulanan, rumah khusus untuk tempat tinggalnya, dan kedudukan tinggi di tengah masyarakat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan keutamaan azan dalam sabda beliau,
الْمُؤَذِّنُونَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Muazin adalah orang yang paling panjang lehernya pada Hari Kiamat.” (HR Muslim)
Beliau memperingatkan agar muazin tidak mengejar dunia dengan azannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Utsman bin Abi al-Ash radhiyallahu ‘anhu,
وَاتَّخِذْ مُؤَذِّنًا لَا يَأْخُذُ عَلَى أَذَانِهِ أَجْرًا
“Dan pilihlah muazin yang tidak mengambil upah dari azannya.” (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa-i, at-Tirmidzi dan ia mensahihkannya, Ibnu Majah, al-Hakim dan ia mensahihkannya. Lihat Shahihul Jami’)
Ini menunjukkan bahwa seorang muazin tidak selayaknya mengambil upah dari azannya, walaupun sebagian ulama membolehkan mengambil apa yang telah ditetapkan waliyul amri (pemerintah) baginya, sebagai balasan atas keterikatannya sebagai muazin.
2. Menjaga Waktu
Hendaklah seorang muazin selalu menjaga, memperhatikan, dan memelihara waktu azan tepat pada waktunya. Ia adalah orang yang diberi amanah untuk mengumumkan kepada manusia tentang datangnya waktu salat, waktu berbuka, atau waktu sahur mereka sehingga ia tidak boleh menyia-nyiakan amanah itu sedikit pun.
Telah disebutkan dalam sebuah hadis mursal,
اَلْمُؤَذِّنُوْنَ أُمَنَاءُ الْمُسْلِمِيْنَ عَلَى صَلَاتِهِمْ وَحَاجَاتِهِمْ
“Para muazin adalah orang-orang kepercayaan kaum muslimin atas salat dan hajat-hajat mereka.” (HR al-Baihaqi dengan sanad mursal. Lihat Shahihul Jami’)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
اَلْمُؤَذِّنُوْنَ أُمَنَاءُ الْمُسْلِمِيْنَ عَلَى فِطْرِهَمْ وَسَحُوْرِهِمْ
“Para muazin adalah orang-orang kepercayaan kaum muslimin atas waktu berbuka dan sahur mereka.” (HR ath-Thabrani. Lihat Shahihul Jami’)
3. Hendaklah Muazin Memiliki Suara yang Bagus
Hendaklah orang yang dipilih sebagai muazin adalah orang yang memiliki suara yang bagus dan lantang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi radhiyallahu ‘anhu,
فَقُمْ مَعَ بِلَالٍ، فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ، فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ، فَإِنَّهُ أَنْدَى مِنْك صَوْتًا
“Pergilah menemui Bilal, lalu ajarkan kepadanya apa yang engkau lihat dalam mimpi. Suruhlah ia mengumandangkan azan dengannya. Sesungguhnya ia lebih keras suaranya daripada kamu.” (HR Ahmad, Abu Dawud, ad-Darimi, Ibnu Majah, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan Ibnul Jarud. Disahihkan oleh al-Bukhari, adz-Dzahabi, an-Nawawi dan yang lainnya. Lihat Irwa-ul Ghalil)
Hendaklah kaum muslimin memilih muazin yang memiliki suara yang bagus. Jika muazin memiliki suara yang tidak bagus, maka orang-orang enggan mendengarkan azan. Sayangnya hal ini sering kita saksikan.
4. Dalam Keadaan Suci
Hendaklah seorang muazin dalam keadaan suci semampunya ketika mengumandangkan azan. Ini merupakan keharusan menurut kebanyakan ahli ilmu.
5. Mengumandangkan Azan di Tempat yang Tinggi
Hendaklah muazin naik dan memanjat ke tempat yang tinggi hingga suaranya dapat didengar. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa Bilal biasa mengumandangkan azan di atas loteng rumah seorang perempuan Bani an-Najar. Rumah perempuan itu adalah rumah yang paling tinggi di sekitar masjid. (Riwayat Abu Dawud dan al-Baihaqi. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam al-Irwa’)
Hal ini bisa diwakili dengan pengeras suara yang ada di menara-menara masjid pada zaman sekarang. Demikianlah pendapat sebagian ahli ilmu.
6. Mengumandangkan Azan dengan Berdiri
Hendaklah muazin berdiri ketika mengumandangkan azan. Ini merupakan ijmak ulama, sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Mundzir, “Seluruh ulama telah bersepakat tentang disunahkannya muazin berdiri ketika mengumandangkan azan.”
7. Mengangkat Suara ketika Mengumandangkan Azan
Hendaklah muazin mengangkat suara semampunya hingga seruan untuk salat dapat didengar.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bilal biasa meletakkan kedua jarinya di telinga ketika mengumandangkan azan. (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan ia mensahihkannya, al-Hakim, dan Abu Awanah. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam al-Irwa’)
Hal itu dilakukan untuk membantu meninggikan suara.
8. Menggenapkan Lafaz Azan dan Mengganjilkan Lafaz Ikamah
Diriwayatkan dari Anas, “Bilal diperintahkan untuk menggenapkan lafaz azan dan mengganjilkan lafaz ikamah.” (HR Muslim)
Maknanya adalah mengulang lafaz azan dan cukup mengucapkan lafaz ikamah sekali saja.
9. Harus Mengikuti Sunah dalam Azan
Muazin harus mengikuti sifat azan dan ikamah yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Lafaz azan adalah,
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Marilah salat, marilah salat. Mari menuju kemenangan, mari menuju kemenangan. Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah.”
Untuk ikamah, yaitu lafaz:
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ، قَدْ قَامَتْ الصَّلَاةُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Marilah salat. Mari menuju kemenangan. Sungguh salat telah ditegakkan, sungguh salat telah ditegakkan. Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah.” (Telah berlalu takhrij-nya)
10. Tarji’ di dalam Azan
Makna tarji’ dalam azan adalah muazin mengucapkan dua kalimat syahadat yang pertama dengan suara rendah. Kemudian, meninggikan suara pada kali kedua. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan azan kepada Abu Mahdzurah radhiyallahu ‘anhu seraya bersabda,
تَقُولُ: اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، تَرْفَعُ بِهَا صَوْتَكَ، ثُمَّ تَقُولُ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، تَخْفِضُ بِهَا صَوْتَكَ، ثُمَّ تَرْفَعُ صَوْتَكَ بِالشَّهَادَةِ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَىَّ عَلَى الصَّلاَةِ، حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ، حَىَّ عَلَى الْفَلاَحِ، فَإِنْ كَانَ صَلَاةَ الصُّبْحِ قُلْتَ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Engkau mengucapkan, ‘Allah Mahabesarr, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar,’ dengan mengangkat suaramu. Setelah itu, engkau mengucapkan, ‘Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah, aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah,’ dengan merendahkan suaramu. Kemudian engkau meninggikan suara ketika bersaksi, ‘Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah, aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Marilah salat, marilah salat. Mari menuju kemenangan, mari menuju kemenangan.’ Jika salat Subuh, engkau mengatakan, ‘Salat adalah lebih baik daripada tidur, salat adalah lebih baik daripada tidur. Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah.’” (HR Abu Dawud. Muslim juga mengeluarkan hadis yang semakna)
Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim berkata, “Di dalam hadis ini terdapat hujah yang nyata dan dalil yang jelas bagi mazhab Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, dan jumhur ulama bahwasanya tarji’ dalam azan disyariatkan. Yakni, mengulang syahadat dua kali dengan mengangkat suara setelah mengucapkan keduanya dengan merendahkan suara.”
11. Muazin Menoleh ke Kanan dan ke Kiri
Yakni muazin menoleh ke kanan ketika mengucapkan, ‘Hayya ‘alash shalaah’ dan menoleh ke kiri ketika mengucapkan, ‘Hayya ‘alal falaah’ karena Bilal radhiyallahu ‘anhu biasa melakukannya, sebagaimana disebutkan dalam hadis Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, “Aku melihat Bilal sedang mengumandangkan azan. Aku mengikuti gerak mulutnya ke kanan dan ke kiri seraya mengucapkan, ‘Hayya ‘alash shalaah, hayya ‘alal falaah.’” (HR al-Bukhari dan Muslim)
an-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim, “Para ulama berselisih pendapat mengenai tata cara menoleh. Mereka terbagi dalam beberapa mazhab. Ada tiga bentuk menurut sahabat-sahabat kami, dan yang paling sahih adalah pendapat jumhur ulama: “Muazin mengucapkan, ‘Hayya ‘alash shalaah’ sebanyak dua kali dengan menoleh ke kanan kemudian menoleh ke kiri dan mengucapkan, ‘Hayya ‘alal falaah’ sebanyak dua kali.
12. Tatswib dalam Azan Subuh
Makna tatswib adalah muazin mengucapkan dalam azan Subuh setelah ‘Hayya ‘alal falaah’, ‘ash-Shalaatu khairun minan naum (salat adalah lebih baik daripada tidur).’ Rasulullah mengajarkan seperti itu kepada Abu Mahdzurah.
13. Azan Pertama Sebelum Fajar pada Malam Hari
Maksudnya adalah azan pertama sebelum fajar dikumandangkan pada malam hari, sebelum terbit fajar sidik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنُ اِبْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Sesungguhnya Bilal azan di malam hari, maka makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
14. Menirukan Ucapan Azan Muazin
Disunahkan bagi yang mendengar azan mengucapkan sebagaimana ucapan muazin, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا سَمِعْتُمُ النِّداءَ فَقُولوُا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ
“Jika kalian mendengar azan, ucapkanlah sebagaimana yang diucapkan muazin.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Kecuali ketika muazin mengucapkan ‘Hayya ‘alash shalaah, Hayya alal falaah’, hendaklah orang yang mendengar mengucapkan ‘Laa haula walaa quwwata illaa billaah’.
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mendengar muazin, beliau mengucapkan seperti ucapan muazin, hingga jika sampai pada ucapan ‘Hayya ‘alash shalaah, hayya alal falaah’, beliau mengucapkan ‘Laa haula walaa quwwata illaa billaah’. (HR al-Bukhari)
Disunahkan pula menirukan ucapan muazin ketika membaca pada azan Subuh ‘ash-Shalaatu khairun minan naum’ berdasakan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ يُثَوِّبُ بِا لصَّلَاةِ، فَقُولُوا كَمَايَقُولُ
“Jika kalian mendengar muazin mengucapkan tatswib, ucapkanlah seperti yang dia ucapkan.” (HR Ahmad. Lihat Shahihul Jami’)
15. Mengucapkan ‘Wa ana’ (dan aku juga) ketika Muazin Mengucapkan Syahadat
Hendaklah orang yang mendengar azan mengucapkan ‘Wa ana, wa ana (dan aku juga, dan aku juga)’ ketika mendengar muazin mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mendengar muazin mengucapkan syahadat, beliau mengucapkan, “Wa ana, wa ana (aku juga bersaksi, aku juga bersaksi).” (HR Abu Dawud, al-Hakim dan yang lainnya. Lihat Sahiihul Jaami’)
16. Berselawat kepada Nabi
Setiap muslim hendaklah berselawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah azan, berdasarkan sabda beliau,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ، فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ، ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ
“Jika kalian mendengar muazin mengumandangkan azan, maka ucapkanlah seperti yang dia ucapkan, kemudian berselawatlah atasku.” (HR Muslim) dengan lafaz selawat apa saja di samping selawat Ibrahimiyah (selawat yang dibaca ketika tasyahhud dalam salat)
17. Zikir Setelah Azan
Hendaklah setiap muslim membaca zikir setelah azan sebagaimana yang tersebut dalam hadis,
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa mengucapkan doa ini setiap kali selesai mendengar azan, ‘Ya, Allah, Pemilik panggilan yang sempurna ini dan salat yang ditegakkan ini, berilah wasilah (kedudukan yang tinggi) dan kemuliaan kepada Muhammad, serta berilah beliau maqam mahmud yang telah Engkau janjikan,’ maka ia berhak mendapat syafaat dariku pada Hari Kiamat.” (HR al-Bukhari)
Selain itu, membaca zikir yang lain sebagaimana disebutkan dalam hadis:
مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ: وَأَنَا أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ
“Barangsiapa membaca setelah mendengar azan, ‘Aku bersaksi bahwasanya tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Aku rida Allah sebagai Rabb-ku, Muhammad sebagai Rasulku, dan Islam sebagai agamaku,’ niscaya akan diampuni dosanya.” (HR Muslim)
18. Berdoa di antara Azan dan Ikamah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الدُّعَاءَ لَا يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ
“Tidak akan tertolak doa yang dipanjatkan antara azan dan ikamah.” (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan ia mensahihkannya, dan yang lainnya. Lihat Shahihul Jami’)
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk mencari waktu-waktu mustajab dan berdoa pada saat-saat itu.
19. Tidak Meninggalkan Masjid Setelah Dikumandangkan Azan
Seseorang tidak boleh keluar dari masjid setelah dikumandangkan azan kecuali ada sebab yang darurat. Sesungguhnya ketika Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu melihat seseorang keluar dari masjid setelah azan Asar, dia berkata, “Orang ini telah mendurhakai Abul Qasim (Rasulullah). (HR Muslim)
20. Memberikan Tenggang Waktu yang Cukup antara Azan dan Ikamah
Hendaklah muazin memberikan tenggang waktu yang cukup antara azan dan ikamah hingga orang yang berwudu dapat menyempurnakan wudunya dengan tenang dan orang yang makan dapat menyelesaikan makannya dengan tenang, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اِجْعَلْ بَيْنَ أَذَانِكَ وَإِقَامَتِكَ نَفَسًا، حَتَّى يَقْضِيَ الْمُتَوَضِّىءُ حَاجَتَهُ فِي مُهْلٍ ، وَيَفْرُغُ الْآكِلُ مِنْ طَعَامِهِ فِي مُهْلٍ
“Berikanlah tenggang yang cukup antara azan dan ikamah kalian hingga orang yang berwudu dapat menyempurnakan wudunya dengan tenang dan orang yang makan dapat menyelesaikan makannya dengan tenang.” (HR Abu asy-Syaikh. Terdapat juga riwayat yang serupa dari Ubay, sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahihul Jami’)
Baca juga: AZAN DIKUMANDANGKAN JIKA SUDAH MASUK WAKTUNYA
Baca juga: ANTARA SALAT TAHIATUL MASJID DAN MENJAWAB AZAN
Baca juga: ADAB KELUAR RUMAH
(Syekh ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada)