121. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dalam kisah Tsumamah bin Utsal ketika dia masuk Islam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mandi. (Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq, dan pokok hadisnya disepakati oleh Bukhari dan Muslim)
122. Dan dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
“Mandi pada hari Jumat adalah wajib atas setiap orang yang telah bermimpi basah (telah baligh).” (Diriwayatkan oleh tujuh imam hadis)
123. Dan dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعِمَتْ، وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ
“Barang siapa berwudhu pada hari Jumat, maka dengannya dan itu sebaik-baik (keringanan). Dan barang siapa mandi, maka mandi lebih utama.” (Diriwayatkan oleh lima imam, dan at-Tirmidzi menilainya sebagai hadis hasan)
PENJELASAN
Penulis rahimahullah menyebutkan dalam Bab Mandi dan Hukum Orang Junub dalam kitab Bulughul Maram hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang orang yang masuk Islam: Apakah harus mandi atau tidak?
Abu Hurairah menyebutkan bahwa Tsumamah bin Utsal radhiyallahu ‘anhu masuk Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mandi. Namun, perintah ini –menurut pendapat yang lebih kuat– bukan kewajiban, melainkan anjuran (sunah). Sebab, banyak orang masuk Islam di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga tidak dapat dihitung karena banyaknya, tanpa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mandi. Perkara seperti ini –yakni mandi ketika masuk Islam– tersembunyi (tidak diketahui) oleh orang yang baru masuk Islam.
Jika Rasul ‘alaihiashshalatu wassalam tidak menjelaskan hal itu kepada orang-orang yang masuk Islam serta tidak masyhur (diketahui luas), padahal termasuk perkara yang mendorong banyak orang untuk meriwayatkannya, maka hal itu menunjukkan bahwa mandi (ketika masuk Islam) tidak wajib.
Apabila seseorang masuk Islam, kami katakan kepadanya, “Yang lebih utama adalah kamu mandi sebagai bentuk pensucian untuk tubuhmu, sebagaimana kamu telah membersihkan hatimu dari kesyirikan.” Adapun kewajiban (mandi), maka hal itu tidak ada.
Meski demikian, wajib atas orang yang masuk Islam dan belum berkhitan untuk berkhitan, karena khitan adalah wajib. Akan tetapi, jika kita khawatir bahwa apabila kita memerintahkannya berkhitan segera setelah dia masuk Islam, dia akan murtad dari Islam, maka kita tidak memerintahkannya saat itu. Kita menunggu hingga Islam menguat dalam hatinya dan iman masuk ke dalam sanubarinya. Setelah itu baru kita memerintahkannya. Sebab, sebagian orang yang baru masuk Islam, jika kamu berkata kepadanya, “Kamu harus berkhitan,” maka dia akan lari dan meninggalkan Islam. Oleh karena itu, tidak mungkin kita memerintahkan mereka dengan sesuatu dari syariat Islam agar Islam tidak membuat mereka lari, tetapi kita menunggu hingga iman menguat di dalam hatinya, lalu kita memerintahkannya untuk berkhitan.
Kemudian disebutkan hadis Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu tentang mandi Jumat. Sungguh, Abu Sa’id meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, “Mandi pada hari Jumat adalah wajib atas setiap orang yang sudah bermimpi basah.”
“Mandi Jumat” maksudnya adalah mandi yang diwajibkan untuk (hari) Jumat. “Wajib” artinya adalah suatu keharusan. “Atas setiap yang bermimpi basah,” maksudnya adalah atas setiap orang yang telah baligh. Ini menunjukkan mandi Jumat diwajibkan atas setiap orang yang telah baligh. Akan tetapi kewajiban tersebut dibatasi bagi orang yang menghadiri shalat Jumat saja. Adapun orang yang tidak menghadiri shalat Jumat dari kalangan perempuan, orang sakit, dan musafir, jika mereka tidak berada di negeri yang dilaksanakan shalat Jumat di dalamnya atau yang semisal dengan itu, maka mereka tidak diwajibkan mandi. Jadi, mandi wajib atas orang yang menghadiri shalat Jumat, bahkan sekalipun dia seorang musafir yang singgah di suatu negeri pada hari Jumat dan akan berangkat darinya pada akhir siang, maka shalat Jumat wajib atasnya dan mandi Jumat pun wajib atasnya. Namun, jika dia tidak mampu melakukan mandi, maka gugurlah kewajiban tersebut darinya.
Mandi yang diwajibkan untuk shalat Jumat bukan karena janabah (hadas besar). Oleh karena itu, seandainya seseorang shalat Jumat tanpa mandi, maka kami katakan kepadanya, “Kamu berdosa,” namun shalat Jumatnya tetap sah. Sebab, mandi ini bertujuan untuk kebersihan, bukan untuk menghilangkan hadas, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْ أَنَّكُمْ تَطَهَّرْتُمْ لِيَوْمِكُمْ هَذَا
“Seandainya kalian bersuci untuk hari kalian ini.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Pendapat ini —maksudku pendapat tentang wajibnya mandi Jumat— adalah pendapat yang lebih kuat dari pendapat-pendapat para ulama. Dalil dalam masalah ini sangat jelas, karena sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mandi pada hari Jumat adalah wajib.” Yang mengatakannya adalah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau adalah makhluk yang paling mengetahui syariat Allah, mengetahui mana yang wajib dari syariat dan mana yang tidak wajib. Selain itu, beliau adalah makhluk yang paling fasih dalam berbicara dan paling jelas dalam penyampaiannya, sehingga tidak mungkin beliau mengekspresikan sesuatu yang tidak wajib lalu mengatakan bahwa itu wajib.
Beliau juga merupakan makhluk yang paling tulus dalam memberi nasihat. Tidak mungkin beliau mengekspresikan sesuatu dengan lafaz yang menunjukkan kewajiban, padahal itu bukan kewajiban. Seandainya beliau mengekspresikan sesuatu yang tidak wajib dengan lafaz wajib, tentu itu dianggap sebagai pengaburan. Namun, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, ucapannya jelas, tidak ada pengaburan dan tidak ada penyesatan di dalamnya, bahkan sejelas terangnya matahari.
Kemudian, yang menguatkan kewajiban (mandi Jumat) adalah bahwa Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berkhotbah kepada orang-orang pada hari Jumat. Lalu datanglah Amirul Mukminin Utsman radhiyallahu ‘anhu ketika Umar sedang berkhotbah. Umar radhiyallahu ‘anhu mengkritiknya karena keterlambatannya hadir. Utsman berkata, “Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, aku tidak menambah apa-apa selain berwudhu, kemudian aku datang.” Umar berkata, “Wudhu juga (saja)?” – maksudnya, apakah engkau tidak mandi? – padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ
“Apabila salah seorang dari kalian datang untuk (shalat) Jumat, hendaklah ia mandi.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)
Umar menegurnya di hadapan orang banyak saat beliau sedang berkhotbah.
Kedudukan Utsman radhiyallahu ‘anhu dalam Islam sudah dikenal. Dia bukan dari kalangan Arab Badui, ataupun dari orang-orang yang layak untuk dicela dengan celaan seperti itu di hadapan manusia. Tidak mungkin Amirul Mukminin Umar mencelanya dengan celaan seperti itu dalam perkumpulan besar itu, kecuali karena beliau memandang bahwa hal itu adalah suatu kewajiban.
Seseorang bisa saja merasa heran bahwa sebagian ulama berpendapat tidak wajib, padahal hadisnya jelas dan terang, berasal dari makhluk yang paling fasih, paling tulus, dan paling mengetahui tentang syariat Allah. Bagaimana mungkin bisa terjadi demikian?
Orang-orang yang berpendapat bahwa mandi Jumat tidak wajib berdalil dengan hadis setelahnya, yaitu hadis Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa berwudhu pada hari Jumat, maka dengannya dan itu sebaik-baik (keringanan). Dan barang siapa mandi, maka mandi lebih utama.”
“Maka dengannya “ maksudnya dengan keringanan yang ia ambil, “dan itu sebaik-baik” keringanan. Namun, hadis ini sama sekali tidak bisa bertentangan dengan hadis Abu Sa’id, kecuali jika dapat mematahkan dalil dengan bukti yang nyata. Adapun hadis Abu Sa’id diriwayatkan oleh tujuh imam hadis. Mereka adalah para imam ahli hadis yang meriwayatkannya. Hadis itu jelas dan tegas, sedangkan hadis Samurah ada kelanjutan pembahasan berikut ini.
Pertama: Para ulama berselisih pendapat tentang apakah hadis ini bersambung atau terputus, karena masalah ini dibangun di atas riwayat al-Hasan dari Samurah, dan dalam masalah ini terdapat perbedaan di kalangan para ahli hadis.
Kedua: Jika kamu merenungkan lafaz ini, maka kamu tidak akan menemukan padanya cahaya lafaz kenabian, (yakni sabda), “Barang siapa berwudhu pada hari Jumat, maka dengannya dan itu sebaik-baik (keringanan). Dan barang siapa mandi, maka mandi lebih utama.” Sedangkan perkataan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki cahaya, keindahan, dan kelembutan. Adapun lafaz ini —sebagaimana kalian lihat— terdapat di dalamnya sesuatu dari kelemahan (dalam gaya bahasa).
Oleh karena itu, kami katakan: Hadis Samurah ini lemah sanadnya dan lemah isi (matannya).
Ia juga lemah dibandingkan dengan hadis Abu Sa’id, karena hadis Abu Sa’id diriwayatkan oleh tujuh imam hadis dan isinya jelas serta tegas. Sedangkan hadis Samurah tidak diriwayatkan oleh salah satu dari dua imam kitab Shahih, yakni al-Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, kami tegaskan —semoga Allah ‘Azza wa Jalla memberi taufik kepada kami— bahwa wajib atas setiap orang untuk mandi pada hari Jumat sebelum shalat, kecuali bagi orang-orang yang tidak menghadirinya, seperti perempuan, orang sakit, dan musafir yang tidak berada di negeri tempat shalat Jumat ditegakkan, serta siapa saja yang berada dalam keadaan yang semisal dengan mereka.
Jika ada yang bertanya, “Kapan waktu mandi Jumat? Apakah dimulai sejak terbit fajar atau sejak terbit matahari?”
Kami jawab, “Yang lebih utama adalah melakukannya setelah terbit matahari, yaitu pada waktu hendak berangkat (menuju shalat Jumat).”
Baca juga: MANDI-MANDI YANG DISUNAHKAN
Baca juga: ADAB MANDI
Baca juga: ISLAM ADALAH AGAMA YANG MEMPERBAIKI MASYARAKAT
(Syekh Muhammab bin Shalih al-‘Utsaimin)