RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA ALLAH

RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA ALLAH

Beriman kepada Allah adalah beriman bahwa Allah adalah ada, Mahahidup, Mahamengetahui, dan Mahakuasa. Dialah Rabb semesta alam. Tidak ada sembahan selain-Nya. Dia mempunyai kerajaan yang mutlak dan pujian yang mutlak. Hanya Kepada-Nyalah segala urusan kembali. Allah-lah yang paling berhak untuk disembah. Tidak sesuatu pun berhak disembah kecuali Dia. Dia adalah tempat bertawakal. Dari Dialah kemenangan dan taufik. Dia-lah yang memiliki sifat kesempurnaan yang tidak mungkin menyerupai sifat-sifat makhluk.

Allah Ta’ala berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ

Tidak sesuatu pun serupa dengan Dia.” (QS asy-Syura: 11)

Jadi, kamu harus beriman kepada wujud Allah, rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, serta nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Barangsiapa mengingkari wujud Allah, maka ia kafir dan kekal di dalam Neraka. Barangsiapa ragu-ragu dalam hal ini, maka ia juga kafir. Hal itu karena seseorang harus beriman secara pasti bahwa Allah adalah Mahahidup, Mahamengetahui, Mahakuasa dan ada.

Barangsiapa ragu dalam rububiyah-Nya, maka ia juga kafir. Barangsiapa menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia kafir. Barangsiapa mengatakan, “Sesungguhnya para wali mengatur dan menguasai alam semesta,” lalu ia berdoa dan meminta bantuan kepada mereka, maka ia telah kafir, sebab ia tidak beriman kepada Allah.

Barangsiapa mempersembahkan ibadah kepada selain Allah, maka ia kafir, sebab ia tidak beriman kepada keesaan Allah dan uluhiyah-Nya. Barangsiapa bersujud kepada matahari, bulan, pohon, sungai, laut, gunung, malaikat, nabi, atau para wali, maka ia kafir dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari agama, sebab ia mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain.

Demikian juga orang yang mengingkari dengan mendustakan apa yang disifatkan Allah kepada diri-Nya, maka dia kafir karena telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Jika dia mengingkari salah satu sifat Allah dengan mendustakannya, maka ia kafir karena mendustakan al-Qur’an dan as-Sunnah. Misalnya, jika ada orang yang mengatakan bahwa Allah tidak bersemayam di atas Arsy dan tidak turun ke langit dunia, maka ia kafir. Namun, jika ia mengingkari sifat Allah dengan menakwil, maka perlu dilihat apakah dalam penakwilannya ada ruang untuk ijtihad atau tidak. Jika dalam penakwilannya ada ruang untuk ijtihad, maka ia tidak dianggap kafir, tetapi dianggap fasik karena telah keluar dari manhaj ahli sunah waljamaah. Adapun jika penakwilannya pada hal-hal yang tidak ada ruang untuk ijtihad, maka pengingkarannya adalah sama dengan pendustaan, sehingga ia dikategorikan sebagai orang kafir. Naudzubillah.

Itulah keimanan kepada Allah Ta’ala.

Jika kamu beriman kepada Allah dengan cara seperti ini, pasti kamu akan menaati-Nya, mengerjakan perintah-perintah-Nya, dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Orang yang beriman kepada Allah dengan cara yang benar pasti dalam hatinya terdapat pengagungan kepada-Nya secara mutlak, dan pasti terdapat dalam hatinya kecintaan kepada Allah secara mutlak. Ketika ia mencintai Allah dengan cinta yang mutlak yang tidak disamai oleh kecintaan kepada apapun selain-Nya, serta mengagungkan Allah dengan pengagungan yang mutlak yang tidak disamai oleh pengagungan apa pun, maka dia akan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Demikian juga, masuk dalam kategori beriman kepada Allah adalah kamu beriman bahwa Allah berada di atas segala sesuatu dan Dia bersemayam di atas Arsy-Nya. Sedangkan Arsy Allah berada di atas semua makhluk-Nya dan merupakan makhluk yang paling besar yang kita ketahui, karena telah diriwayatkan dalam atsar, “Sesungguhnya langit yang tujuh lapis dan bumi yang tujuh lapis, jika dibandingkan dengan Kursi adalah seperti bola yang dilemparkan di atas tanah yang lapang.”

Berhati-hatilah!

Lemparkanlah bola di atas tanah yang lapang, lalu perhatikanlah ukuran bola itu bila dibandingkan dengan luasnya tanah lapang. Apa yang terjadi?

Jawabnya, “Tidak ada apa-apanya.”

Kelanjutan hadis ini mengatakan, “Sesungguhnya keutamaan Arsy atas Kursi adalah seperti keutamaan tanah yang lapang atas bola tersebut.”

Jadi, Kursi Allah bila dibandingkan dengan Arsy Allah adalah seperti bola yang dilemparkan di atas tanah yang lapang. Maka renungkanlah, betapa besarnya Arsy tersebut.

Oleh karena itu, Allah menyifati Arsy dengan keagungan, seperti yang difirmankan-Nya:

رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ

Rabb yang memiliki Arsy yang agung.” (QS at-Taubah: 129)

ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيْدُ

Yang mempunyai singgasana lagi Mahamulia.” (QS al-Buruj: 15)

Maka, Allah menyifati Arsy dengan kemuliaan, keagungan dan kehormatan.

Di atas Arsy inilah Allah Ta’ala bersemayam. Itu berarti Allah berada di atas Arsy, dan Arsy di atas semua makhluk-Nya. Kursi saja kecil dibanding Arsy, -luasnya seluas langit dan bumi-, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ

Kursi Allah meliputi langit dan bumi.” (QS al-Baqarah: 255)

Kamu wajib beriman bahwa Allah berada di atas segala sesuatu, dan segala sesuatu jika dibandingkan dengan Allah tidak ada apa-apanya. Allah terlalu mulia dan terlalu agung untuk dipahami dan diketahui oleh akal manusia. Bahkan, jika mata manusia bisa melihat Allah Ta’ala. Orang-orang mukmin kelak di Surga akan melihat Allah. Akan tetapi, mereka tidak mampu menguasai dan tidak bisa mengetahui secara mendetail, sebagaimana dalam firman-Nya:

لَا تُدْرِكُهُ الْاَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْاَبْصَارَ

Dia tidak dapat dicapai oleb penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala penglihatan itu.” (QS al-An’am: 103)

Keadaan Allah terlalu agung dan terlalu besar untuk diketahui manusia. Maka kita harus beriman kepada Allah dalam keagungan-Nya ini, sehingga kita wajib menyembah-Nya dengan penyembahan yang sesungguhnya.

Di antara bukti keimanan kepada Allah adalah percaya bahwa Allah meliputi segala sesuatu dengan ilmu-Nya, dan bahwa Allah mengetahui mata yang berkhianat, mengetahui apa yang disembunyikan di dalam hati, dan mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, baik yang sedikit maupun yang banyak, baik yang besar maupun yang kecil.

Allah Ta’ala berfirman:

 اِنَّ اللّٰهَ لَا يَخْفٰى عَلَيْهِ شَيْءٌ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِى السَّمَاۤءِ

Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.” (QS Ali Imran: 5)

Begitu juga, hendaklah kamu percaya bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Jika menghendaki sesuatu, Allah cukup berkata, “Jadi”, maka jadilah sesuatu walaupun hanya dengan perintah.

Perhatikanlah penciptaan dan kebangkitan manusia. Jumlah manusia sangat banyak. Tidak seorang pun mampu menghitungnya kecuali Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

 مَا خَلْقُكُمْ وَلَا بَعْثُكُمْ اِلَّا كَنَفْسٍ وَّاحِدَةٍ

Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja.” (QS Luqman: 28)

Semua makhluk diciptakan dan dibangkitkan oleh Allah seperti menciptakan dan membangkitkan satu jiwa.

Allah Ta’ala berfirman:

فَاِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَّاحِدَةٌ؛ فَاِذَا هُمْ بِالسَّاهِرَةِ

Sesungguhnya pengembalian itu hanyalah dengan satu kali tiupan saja, maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi.” (QS an-Nazi’at: 13-14)

Kamu juga bisa menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Ketika manusia tertidur, sebenarnya Allah telah mewafatkannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَهُوَ الَّذِيْ يَتَوَفّٰىكُمْ بِالَّيْلِ

Dan Dialah yang menidurkan kalian di malam hari.”(QS al-An’am: 60)

Akan tetapi, kematian itu bukanlah kematian yang sempurna yang berpisah roh dari jasad dengan perpisahan yang sempurna, melainkan perpisahan yang masih memiliki keterkaitan roh dengan jasad. Kemudian Allah membangkitkan orang yang tidur dari tidurnya seakan-akan ia hidup kembali.

Itulah salah satu rahmat Allah dan kebijaksanaan-Nya. Nikmat ini sangat terasa sebelum lampu listrik ditemukan. Dahulu, begitu malam tiba, manusia berada dalam kegelapan malam yang menakutkan. Ketika fajar tiba, mereka merasakan cahaya sinar pagi dan hati mereka pun menjadi lega. Mereka merasakan nikmat itu karena malam telah berlalu dan siang telah tiba.

Adapun zaman sekarang, malam sudah seperti siang. Orang-orang sudah tidak terlalu merasakan nikmatnya pagi. Namun demikan, orang yang terbangun dari tidurnya merasa dirinya diberi kehidupan yang baru. Ini adalah rahmat Allah dan kebijaksanaan-Nya.

Kita juga percaya bahwa Allah Mahamendengar dan Mahamelihat. Mendengar semua yang kita katakan walaupun kita samarkan.

Allah Ta’ala berfirman:

اَمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّا لَا نَسْمَعُ سِرَّهُمْ وَنَجْوٰىهُمْ ۗ بَلٰى وَرُسُلُنَا لَدَيْهِمْ يَكْتُبُوْنَ

Apakah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.” (QS az-Zukhruf: 80)

Di tempat lain Allah Ta’ala berfirman:

فَاِنَّهٗ يَعْلَمُ السِّرَّ وَاَخْفٰى

Sungguh, Dia mengetahui rahasia dan yang tersembunyi.” (QS Thaha: 7)

Yakni, lebih tersembunyi dari rahasia, yaitu apa yang ada di dalam hati manusia, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهٖ نَفْسُهٗ

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya.” (QS Qaaf: 16)

Yakni, apa yang muncul dalam hatimu, maka Allah mengetahuinya, walaupun belum kamu tampakkan kepada manusia.

Sesungguhnya Allah Ta’ala Mahamelihat. Dia Melihat semut kecil hitam yang berjalan di atas pasir hitam di kegelapan malam. Tidak ada yang samar oleh-Nya.

Jika kamu beriman kepada ilmu Allah, kekuasaan-Nya, penglihatan-Nya dan pendengaran-Nya, maka kamu harus selalu merasa diawasi oleh-Nya, sehingga kamu tidak mendengar sesuatu kecuali yang diridai oleh Allah, dan tidak melakukan sesuatu kecuali yang diridai oleh Allah. Jika kamu berbicara, maka Allah akan mendengarmu, dan jika kamu berbuat sesuatu, maka Allah akan melihatmu. Dengan demikian kamu akan merasa takut kepada Allah yang melihatmu melakukan sesuatu yang dilarang. Kamu merasa takut kepada Allah yang melihatmu meninggalkan sesuatu yang diperintahkan. Begitu juga kamu merasa takut kepada Rabbmu untuk memperdengarkan kepada-Nya sesuatu yang tidak diridai-Nya dan meninggalkan sesuatu yang diperintahkan-Nya.

Jika kamu beriman kepada kesempurnaan kekuasaan Allah, maka kamu akan meminta kepada-Nya semua yang kamu inginkan dengan doa yang menunjukkan tidak adanya permusuhan di dalamnya. Kamu jangan mengatakan bahwa ini jauh dan tidak mungkin, sebab segala sesuatu adalah mungkin di hadapan kekuasaan Allah.

Sebagai contoh, ketika Musa ‘alaihissalam tiba di Laut Merah dalam pelarian dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya, Allah memerintahkan Musa memukulkan tongkatnya ke laut. Musa pun melakukannya sehingga Laut Merah terbelah menjadi dua belas jalan. Air di antara jalan-jalan itu meninggi seperti gunung yang menjulang tinggi. Dalam sekejap air laut mengering dan sama sekali tidak terkena air. Mereka dapat berjalan di atasnya seakan-akan berjalan di atas padang pasir. Ini terjadi karena kekuasaan Allah Ta’ala.

Begitu juga pada peristiwa yang dialami oleh Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu beserta pasukan kaum muslimin dalam penaklukkan Persia. Ketika itu pasukan kaum muslimin sedang mengejar orang-orang Persia. Setiba pasukan kaum muslimin di tepi sungai Dijlah yang terkenal di Irak, mereka tidak menemukan sarana penyeberangan karena jembatan telah dihancurkan dan perahu-perahu telah ditenggelamkan oleh orang-orang Parsia, sedangkan mereka telah berhasil menyeberang ke arah timur. Sa’ad bin Abi Waqqash bermusyawarah dengan para sahabatnya. Mereka memutuskan untuk menyeberangi sungai di atas kuda-kuda dan unta-unta mereka. Bahkan di antara mereka ada yang berjalan kaki. Mereka menyeberangi sungai tanpa kesulitan. Maka, siapakah yang menguasai sungai itu sehingga dasarnya mengeras seperti batu yang bisa dilalui oleh pasukan kaum muslimin dan tidak menenggelamkan mereka? Tentunya, Dialah Allah Ta’ala Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.

Hal seperti ini juga terjadi pada Ala’ bin al-Hadhrami radhiyallahu ‘anhu beserta pasukannya yang tengah memerangi kaum Bahrain. Ketika mereka akan menyebrangi laut, mereka berdoa kepada Allah Ta’ala, lalu menyeberang di atas permukaan air tanpa kesulitan.

Masih banyak tanda-tanda kekuasaan Allah yang lain.

Setiap yang dikabarkan oleh Allah dalam kitab-Nya atau dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kejadian luar biasa yang disaksikan oleh manusia, maka mengimaninya termasuk beriman kepada Allah, karena hal itu termasuk beriman kepada kekuasaan Allah.

Di antara tanda beriman kepada Allah Ta’ala adalah mengetahui bahwa Allah melihatmu. Jika kamu tidak bisa melihatnya, maka yakinlah bahwa Dia melihatmu.

Perkara ini telah dilupakan banyak orang. Kamu menyaksikan sendiri di antara orang-orang yang beribadah kepada Allah banyak yang menganggap bahwa ibadah merupakan suatu kebiasaan atau rutinitas saja. Ia tidak melakukannya seakan-akan melihat Allah. Ini merupakan kekurangan dalam iman dan amal.

Di antara tanda beriman kepada Allah adalah percaya bahwa semua hukum hanya milik Allah Yang Mahatinggi lagi Mahabesar. Hukum kauni (alam) maupun hukum syariat semuanya milik Allah. Tidak ada penguasa kecuali Allah. Di tangan-Nya sajalah segala sesuatu, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

قُلِ اللهم مٰلِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِى الْمُلْكَ مَنْ تَشَاۤءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاۤءُۖ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاۤءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاۤءُ ۗ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۗ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Katakanlah, ‘Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Ali Imran: 26)

Berapa banyak raja yang kekuasaannya dirampas di waktu siang dan malam. Berapa banyak manusia biasa menjadi raja di waktu siang dan malam. Semua itu terjadi atas kehendak Allah.

Berapa banyak orang mulia yang merasa dirinya unggul di atas orang lain menjadi paling hina dalam sekejap. Berapa banyak orang hina menjadi orang mulia dalam waktu sekejap. Semua itu terjadi karena kekuasaan Allah dan semua hukum ada di tangan-Nya.

Demikian juga, hukum syariat adalah milik Allah, bukan milik manusia. Allah-lah yang menghalalkan, mengharamkan dan mewajibkan sesuatu. Tidak ada hak hamba atas hal ini.

Kewajiban, kehalalan, keharaman, semunya milik Allah. Oleh karena itu, Allah melarang hamba-Nya menyifati sesuatu dengan halal atau haram tanpa seizin-Nya. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَا تَصِفُ اَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هٰذَا حَلٰلٌ وَّهٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوْا عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ اِنَّ الَّذِيْنَ يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُوْنَۗ؛ مَتَاعٌ قَلِيْلٌ ۖوَّلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

Dan janganlah kalian mengatakan terbadap apa yang disebut-sebut oleh lidah kalian secara dusta ini halal, dan ini haram untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit. Dan bagi mereka azab yang pedih.” (QS an-Nahl: 116-117)

Kesimpulannya bahwa pintu beriman kepada Allah adalah sangat luas. Membicarakan masalah ini membutuhkan waktu berhari-hari. Akan tetapi, bahasa isyarat tidak perlu diungkapkan dengan bahasa yang panjang lebar.

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA MALAIKAT-MALAIKAT ALLAH

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA PARA RASUL

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA HARI AKHIR

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA TAKDIR

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Akidah