Beriman kepada para rasul adalah rukun iman yang keempat.
Rasul adalah orang yang diutus oleh Allah Ta’ala kepada umat manusia. Allah Ta’ala menjadikannya perantara kepada hamba-hamba-Nya untuk menyampaikan syariat-Nya. Ia adalah manusia biasa yang diciptakan melalui perantara seorang ayah dan seorang ibu, kecuali Isa bin Maryam yang diciptakan Allah tanpa ayah.
Allah Ta’ala mengutus para rasul sebagai rahmat bagi manusia dan untuk menegakkan hujah atas mereka, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
اِنَّآ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ كَمَآ اَوْحَيْنَآ اِلٰى نُوْحٍ وَّالنَّبِيّٖنَ مِنْۢ بَعْدِهٖۚ وَاَوْحَيْنَآ اِلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَعِيْسٰى وَاَيُّوْبَ وَيُوْنُسَ وَهٰرُوْنَ وَسُلَيْمٰنَ ۚوَاٰتَيْنَا دَاوٗدَ زَبُوْرًاۚ وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنٰهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلًا لَّمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ ۗوَكَلَّمَ اللّٰهُ مُوْسٰى تَكْلِيْمًاۚ رُسُلًا مُّبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّٰهِ حُجَّةٌ ۢ بَعْدَ الرُّسُلِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا
“Sesungguhnya Kami telah mamberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya. Dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS an-Nisa’: 163-165)
Rasul berjumlah banyak. Rasul pertama adalah Nuh ‘alaihissalam dan rasul terakhir adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya Kami telah mamberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya.” (QS an-Nisa’: 163)
Dalam kitab ash-Shahihain dan kitab lainnya disebutkan tentang hadis syafaat. Bahwa pada Hari Kiamat, manusia mendatangi Nuh ‘alaihissalam seraya berkata kepadanya,
يَا نُوحُ، إِنَّكَ أَنْتَ أَوَّلُ الرُّسُلِ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ
“Wahai Nuh, engkau adalah rasul pertama yang diutus kepada penduduk bumi.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Ada pun dalil yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan rasul terakhir adalah firman Allah Ta’ala:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَ
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (QS al-Ahzab: 40)
Dan dalam riwayat yang sahih beliau bersabda,
وَأَنَا خَاتِمُ النَّبِيِّينَ
“Dan aku adalah penutup para nabi.” (HR al-Bukhari)
Maka, hendaklah kita percaya bahwa apa yang disampaikan para nabi adalah dari Allah dan apa yang ada dalam risalah mereka adalah benar.
Kita harus percaya kepada para nabi yang namanya ditetapkan kepada kita. Sedangkan nabi-nabi yang namanya tidak ditetapkan, maka kita memercayainya secara global.
Hendaklah kita percaya bahwa tidak ada umat di dunia ini kecuali diutus kepada mereka rasul untuk menegakkan hujah atasnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut.” (QS an-Nahl: 36)
Dan firman Allah Ta’ala:
وَاِنْ مِّنْ اُمَّةٍ اِلَّا خَلَا فِيْهَا نَذِيْرٌ
“Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” (QS Fathir: 24)
Kita juga harus percaya kepada seluruh yang dikabarkan oleh para rasul, jika periwayatannya benar, dan kita tahu bahwa itu benar. Kita juga harus mengikuti nabi penutup para nabi, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena dialah yang mewajibkan kepada kita untuk mengikutinya.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ جَمِيْعًا ۨالَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۖ فَاٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهِ النَّبِيِّ الْاُمِّيِّ الَّذِيْ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَكَلِمٰتِهٖ وَاتَّبِعُوْهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
“Katakanlah, ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi. Tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan. Maka berimanlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Dan ikutilah dia, supaya kalian mendapat petunjuk.’” (QS al-A’raf: 158)
Maka Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk mengikuti beliau, sebagaimana firman-Nya:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ
“Katakanlah, ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kalian.’” (QS Ali Imran: 31)
Adapun rasul-rasul yang lain, kita mengikuti mereka jika ada syariat kita yang memerintahkan kita untuk mengikuti mereka, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ. فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا. وَأَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ صَلَاةُ دَاوُدَ. كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيُصَلِّي ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ
“Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Daud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari. Dan salat yang paling disukai oleh Allah adalah salat Nabi Daud. Ia tidur di pertengahan malam dan salat di sepertiga malam, lalu tidur lagi di seperenam malam terakhir.” (HR Ibnu Majah)
Hadis ini memberitahukan salat malam dan puasa Nabi Daud yang seyogyanya kita ikuti.
Adapun jika tidak ada syariat kita yang memerintahkan untuk mengikutinya, maka para ulama berbeda pendapat, apakah syariat orang-orang sebelum kita merupakan syariat kita selagi tidak terdapat larangan dalam syariat kita, ataukah syariat itu bukan syariat kita hingga ada syariat kita yang menyuruh untuk mengikutinya? Yang benar adalah bahwa syariat orang-orang sebelum kita adalah syariat kita jika tidak ada syariat kita yang menentangnya.
Ketika Allah Ta’ala menjelaskan tentang para nabi dan rasul, Dia berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ فَبِهُدٰىهُمُ اقْتَدِهْ
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS al-An’am: 90)
Oleh karena itu, Allah menyuruh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menempuh jalan para nabi sebelumnya.
Allah Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّاُولِى الْاَلْبَابِ
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS Yusuf: 111)
Ini merupakan akhir surah Yusuf yang di dalamnya Allah menerangkan kepada kita secara panjang lebar agar kita mengambil pelajaran di dalamnya. Maka dari itu, para ulama banyak mengambil pelajaran dari surat Yusuf tentang hukum qadha dan lainnya. Ketika menetapkan hukum, mereka melihat qarinah (petunjuk atau bukti) yang menyertainya, karena Allah Ta’ala berfirman:
وَشَهِدَ شَاهِدٌ مِّنْ اَهْلِهَاۚ اِنْ كَانَ قَمِيْصُهٗ قُدَّ مِنْ قُبُلٍ فَصَدَقَتْ وَهُوَ مِنَ الْكٰذِبِيْنَ وَاِنْ كَانَ قَمِيْصُهٗ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ فَكَذَبَتْ وَهُوَ مِنَ الصّٰدِقِيْنَ
“Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya, ‘Jika baju gamisnya koyak di depan, maka wanita itu benar, dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar.” (QS Yusuf: 26-27)
Para ulama berbeda pendapat bahwa ini merupakan qarinah, karena jika baju sobek di depan, maka laki-laki itulah yang meminta, sehingga sang wanita menyobek (menarik) bajunya. Jika baju itu sobek di belakang, maka wanita itulah yang meminta, hingga laki-laki itu lari dan wanita itu menarik bajunya dari belakang hingga sobek. Itulah qarinah yang dijadikan petunjuk untuk menetapkan hukum. Maka petunjuk-petunjuk ini menetapkan adanya hukum dan para ulama bersandar kepada qarinah itu. Dalam sunah juga dijelaskan bahwa ketetapan suatu hukum ditentukan berdasarkan qarinah dalam masalah-masalah selain ini. Tetapi, pendapat yang kuat adalah syariat orang sebelum kita merupakan syariat kita selama tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa syariat kita menentangnya.
Kita harus mencintai para rasul, mengagungkan mereka dan bersaksi bahwa mereka berada pada tingkat tertinggi dari tingkat-tingkat orang-orang yang baik dan saleh, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ ۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًا
“Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS an-Nisa’: 69)
Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA ALLAH
Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA MALAIKAT-MALAIKAT ALLAH
Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH
Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA HARI AKHIR
Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA TAKDIR
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)