RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA TAKDIR

RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA TAKDIR

Dan firman-Nya: “Dan engkau beriman kepada takdir, baik maupun buruknya.” Ini adalah rukun keenam.

Takdir adalah ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala sesuatu yang akan terjadi hingga Hari Kiamat. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan pena, lalu berfirman kepadanya,

اكْتُبْ

Tulislah!

Pena pun bertanya, “Wahai Rabb-ku, apa yang harus aku tulis?”

Allah berfirman,

اكْتُبْ مَا هُوَ كَائِنٌ

Tulislah apa yang akan terjadi.” (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud)

Maka pena menuliskan pada saat itu segala sesuatu yang akan terjadi hingga Hari Kiamat. Apa yang menimpa seseorang tidak mungkin meleset darinya, dan apa yang meleset darinya tidak mungkin menimpanya. Allah telah menyebutkan hal ini secara ringkas dalam kitab-Nya dengan firman-Nya:

اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا فِى السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِۗ اِنَّ ذٰلِكَ فِيْ كِتٰبٍۗ اِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌ

Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuz). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS al-Hajj: 70)

Dan Dia berfirman:

مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌ

Tiada sesuatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS al-Hadid: 22)

Sebelum Kami menciptakannya,” yaitu sebelum Kami menciptakan bumi, sebelum Kami menciptakan diri kalian, dan sebelum Kami menciptakan musibah.

Sesungguhnya Allah telah menulis semua ini lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.

Tingkatan Takdir

Para ulama berkata, “Beriman kepada takdir tidak boleh tidak kecuali dengan meyakini keempat tingkatannya, yaitu:

Tingkatan pertama: Beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Mahamengetahui segala sesuatu. Hal ini banyak disebutkan dalam Kitab-Nya yang agung, di mana Allah menyebutkan keluasan ilmu-Nya terhadap segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya:

لِتَعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ەۙ وَّاَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

Agar kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu dan bahwa Allah, ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.” (QS ath-Thalaq: 12)

Dan firman Allah Ta’ala:

وَعِندَهُۥ مَفَاتِحُ ٱلْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِى ظُلُمَٰتِ ٱلْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مُّبِينٍ

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).” (QS al-An’am: 59)

Tingkatan kedua: Beriman bahwa Allah Ta’ala telah menetapkan takdir segala sesuatu hingga Hari Kiamat. Allah telah menuliskannya lima puluh ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi. Maka, segala sesuatu yang terjadi telah tertulis dan selesai; pena-pena telah kering dan lembaran-lembaran telah dilipat. Apa yang menimpamu tidak mungkin meleset darimu, dan apa yang meleset darimu tidak mungkin menimpamu. Oleh karena itu, jika sesuatu menimpamu, janganlah berkata, “Seandainya aku melakukan ini, hal itu tidak akan menimpaku,” karena hal itu adalah sesuatu yang telah tertulis dan pasti terjadi sebagaimana yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapkan. Maka, tidak ada jalan untuk menghindarinya, apa pun yang kamu lakukan. Perkara itu akan terjadi sebagaimana yang telah tertulis dan tidak akan pernah berubah, karena hal tersebut telah ditetapkan.

Jika ada yang bertanya, “Bukankah telah disebutkan dalam hadis,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Barangsiapa ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahmi.’ (HR al-Bukhari dan Muslim)?”

Jawabannya: Memang benar, hal ini telah disebutkan. Namun, seseorang yang dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya karena menyambung silaturahmi, telah ditetapkan bahwa ia akan menyambung silaturahmi, rezekinya akan dilapangkan, dan umurnya akan dipanjangkan. Hal ini pasti terjadi.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahmi,” bertujuan mendorong kita untuk bersegera dan berlomba-lomba dalam menyambung silaturahmi. Pada kenyataannya, telah ditetapkan bahwa seseorang akan menyambung silaturahmi dan memperoleh pahala tersebut, atau ia tidak akan menyambung silaturahmi dan terhalang dari pahala tersebut. Hal itu telah selesai ditetapkan. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hal ini agar kita termotivasi untuk menyambung silaturahmi.

Ketahuilah bahwa penulisan di Lauh Mahfuz diikuti oleh penulisan-penulisan lainnya.

Salah satunya terjadi ketika janin di dalam rahim ibunya telah berusia empat bulan. Pada saat itu, Allah mengutus satu malaikat yang bertugas di rahim. Malaikat tersebut meniupkan roh ke dalam janin dan diperintahkan untuk mencatat empat hal: rezekinya, ajalnya, amalnya, serta apakah ia akan menjadi orang yang celaka atau bahagia. Maka, hal-hal tersebut dituliskan. Penulisan ini bukanlah bagian dari penulisan di Lauh Mahfuz, melainkan penulisan khusus yang berkaitan dengan perjalanan hidup manusia di masa depan. Oleh karena itu, para ulama menyebutnya sebagai kitabah umuriyah (penulisan umur), yaitu penulisan yang berkaitan dengan umur manusia.

Demikian pula, terdapat penulisan lainnya yang terjadi setiap tahun, yaitu pada malam Lailatul Qadar. Pada malam tersebut, Allah menetapkan dan mencatat apa yang akan terjadi dalam satu tahun mendatang. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةٍ مُّبٰرَكَةٍ اِنَّا كُنَّا مُنْذِرِيْنَ فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ اَمْرٍ حَكِيْمٍ

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi, dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS ad-Dukhan: 3-4)

Kata “yufraqu” berarti dijelaskan dan dirinci. Oleh karena itu, malam tersebut dinamakan Lailatul Qadar.

Tingkatan ketiga dalam iman kepada takdir adalah beriman bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak ada satu pun yang berada di luar kehendak-Nya, baik perkara yang terkait dengan kekuasaan-Nya, seperti turunnya hujan, kehidupan, dan kematian, maupun perkara yang berhubungan dengan perbuatan hamba, seperti shalat, puasa, dan ibadah lainnya. Semuanya terjadi dengan kehendak Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

لِمَنْ شَاۤءَ مِنْكُمْ اَنْ يَّسْتَقِيْمَۗ وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ

(Yaitu) bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kalian tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Rabb semesta alam.” (QS at-Takwir: 28-29)

Dan firman Allah Ta’ala:

وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِيْنَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ مِّنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَتْهُمُ الْبَيِّنٰتُ وَلٰكِنِ اخْتَلَفُوْا فَمِنْهُمْ مَّنْ اٰمَنَ وَمِنْهُمْ مَّنْ كَفَرَ ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَا اقْتَتَلُوْاۗ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيْدُ

Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih. Maka ada di antara mereka yang beriman, dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS al-Baqarah: 253)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kepada kita bahwa kita tidak memiliki kehendak kecuali dengan kehendak Allah, dan bahwa segala perbuatan kita terjadi dengan kehendak Allah.

Firman Allah Ta’ala: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu.”

Segala sesuatu terjadi dan terlaksana dengan kehendak Allah. Tidak ada satu pun yang terjadi di dalam kerajaan-Nya tanpa izin dan kehendak-Nya. Oleh karena itu, kaum muslimin sepakat atas kalimat agung ini: “Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tidak akan pernah terjadi.”

Tingkatan keempat adalah beriman bahwa segala sesuatu merupakan ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

اَللّٰهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ ۙوَّهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ وَّكِيْلٌ

Allah menciptakan segala sesuatu, dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS az-Zumar: 62)

Dan juga firman-Nya:

وَخَلَقَ كُلَّ شَىْءٍ فَقَدَّرَهُۥ تَقْدِيرًا

Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS al-Furqan: 2)

Maka segala sesuatu yang terjadi adalah ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla. Manusia adalah ciptaan Allah, begitu pula seluruh amal perbuatannya adalah ciptaan Allah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Nabi Ibrahim ‘alaihishshalatu wassalam ketika beliau berkata kepada kaumnya:

وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat itu.” (QS as-Shaffat: 96)

Perbuatan seorang hamba memang ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun pelaku langsung dari perbuatan tersebut adalah hamba itu sendiri, bukan Allah. Allah-lah yang menciptakan perbuatan tersebut, sehingga hamba melakukannya. Dengan demikian, perbuatan itu dinisbatkan kepada Allah sebagai penciptaan, dan dinisbatkan kepada hamba sebagai usaha dan tindakan. Pelaku perbuatan adalah hamba, yang berusaha adalah hamba, sedangkan yang menciptakan adalah Allah.

Segala sesuatu yang terjadi adalah ciptaan Allah ‘Azza wa Jalla, namun apa yang termasuk sifat-sifat Allah bukanlah makhluk. al-Qur’an, misalnya, Allah menurunkannya kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi ia bukan makhluk, karena al-Qur’an adalah kalam Allah, dan kalam Allah adalah salah satu sifat-Nya yang tidak termasuk makhluk.

Ini adalah empat tingkatan iman kepada takdir. Wajib bagi kamu untuk beriman kepada semuanya. Jika tidak, maka kamu tidak beriman kepada takdir.

Manfaat Beriman kepada Takdir

Manfaat beriman kepada takdir adalah sangat besar. Jika seseorang mengetahui bahwa sesuatu pasti terjadi sebagaimana yang Allah perintahkan, ia akan merasa tenang. Jika ia tertimpa musibah, ia akan bersabar dan berkata, “Ini dari Allah.” Jika ia memperoleh kebahagiaan, ia akan bersyukur dan berkata, “Ini dari Allah.”

Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, karena seluruh urusannya adalah kebaikan. Jika ia mendapat kebahagiaan, ia bersyukur, maka itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, maka itu menjadi kebaikan baginya.” (HR Muslim)

Orang yang beriman meyakini bahwa segala sesuatu terjadi dengan takdir Allah, sehingga ia senantiasa berada dalam kebahagiaan dan kelapangan hati. Ia menyadari bahwa apa pun yang menimpanya berasal dari Allah. Jika ia tertimpa kesusahan, ia bersabar, menunggu jalan keluar dari Allah, dan memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala untuk menghilangkan kesulitan itu. Jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur dan memuji Allah, serta menyadari bahwa hal itu terjadi bukan karena upayanya dan bukan pula karena kekuatannya, melainkan semata-mata karena karunia dan rahmat Allah.

Takdir Baik dan Takdir Buruk

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “baik maupun buruknya.”

Kebaikan adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia dan sesuai dengan keinginannya, seperti ilmu yang bermanfaat, harta yang melimpah, kesehatan, keluarga, anak-anak, dan hal-hal yang serupa. Keburukan adalah kebalikannya, seperti kebodohan, kemiskinan, penyakit, kehilangan keluarga, anak-anak, dan hal-hal yang serupa.

Semua itu berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik yang kebaikan maupun keburukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan kebaikan dengan hikmah dan menentukan keburukan juga dengan hikmah, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:

وَنَبْلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

Dan Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kami-lah kalian dikembalikan.” (QS al-Anbiya: 35)

Apabila Allah mengetahui bahwa termasuk dalam kebaikan dan hikmah adalah menetapkan keburukan, maka Dia menakdirkannya karena dampaknya berupa maslahat yang besar, sebagaimana firman-Nya Ta’ala:

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS ar-Rum: 41)

Jika ada yang bertanya, “Bagaimana menggabungkan antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَأَنْ تُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

Dan engkau beriman kepada takdir, baik maupun buruknya.” dan sabda beliau,

الشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ

Keburukan tidak (dinisbatkan) kepada-Mu,” (HR Muslim) bagaimana mungkin keburukan itu berasal dari Allah?”

Jawaban atas hal ini adalah (pertama) bahwa keburukan yang murni tidak pernah terjadi dalam perbuatan Allah selamanya. Keburukan yang murni, yang sama sekali tidak mengandung kebaikan, baik secara langsung maupun pada akhirnya, tidak mungkin ada dalam perbuatan Allah selamanya. Dari satu sisi, bahkan keburukan yang Allah takdirkan sebagai keburukan, pasti memiliki akibat yang baik di baliknya. Keburukan tersebut mungkin menjadi keburukan bagi suatu kaum, namun menjadi kebaikan bagi kaum yang lain.

Apakah kamu melihat, jika Allah menurunkan hujan yang sangat deras hingga merusak tanaman seseorang, tetapi hujan itu memberi manfaat bagi tanah dan membawa kebaikan bagi suatu kaum, maka hal itu menjadi kebaikan bagi mereka yang mendapatkan manfaat darinya, namun menjadi keburukan bagi orang yang dirugikan olehnya. Dengan demikian, hal tersebut adalah kebaikan dari satu sisi dan keburukan dari sisi lain.

Kedua: Bahkan keburukan yang Allah takdirkan atas manusia pada hakikatnya adalah kebaikan. Sebab, jika seseorang bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah, ia akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dibandingkan dampak keburukan tersebut. Selain itu, keburukan itu mungkin menjadi sebab keteguhan dan pengenalan terhadap besarnya nikmat Allah atas hamba-Nya, sehingga pada akhirnya menghasilkan akibat yang terpuji.

Diriwayatkan dari salah seorang perempuan ahli ibadah bahwa ia mengalami luka di jarinya atau tangannya, lalu ia bersabar dan bersyukur kepada Allah atas hal itu, seraya berkata, “Sesungguhnya manisnya pahala dari luka ini telah membuatku lupa akan pahitnya kesabaran menghadapinya.”

Kemudian kita katakan (ketiga): Sesungguhnya keburukan pada hakikatnya tidak terdapat dalam perbuatan Allah itu sendiri, melainkan dalam makhluk-Nya. Makhluk-makhluk itulah yang mengandung kebaikan dan keburukan, sedangkan perbuatan Allah itu sendiri adalah kebaikan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الفَلَقِ  مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ

Katakanlah, ‘Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai waktu subuh, dari kejahatan makhluk-Nya.’” (QS al-Falaq: 1-2)

Artinya, dari keburukan yang Allah ciptakan. Dengan demikian, keburukan hanya terdapat pada makhluk-Nya, bukan pada perbuatan Allah itu sendiri. Adapun perbuatan Allah, semuanya adalah kebaikan.

Sebagai bukti untuk hal ini, misalkan seorang pasien yang sakit diberitahu bahwa salah satu cara penyembuhannya adalah dengan pengobatan menggunakan api (kauterisasi). Kemudian kamu membakar bagian tubuh pasien tersebut dengan api. Tindakan ini tentu menyakitkan, tidak diragukan lagi, tetapi perbuatan tersebut bukanlah keburukan, melainkan kebaikan bagi pasien karena kamu mengharapkan akibat yang baik dari tindakan kauterisasi tersebut. Demikian pula perbuatan Allah terhadap hal-hal yang tidak disukai atau mengandung keburukan, pada hakikatnya merupakan kebaikan dari segi perbuatan dan penciptaan-Nya, karena dari hal tersebut muncul banyak kebaikan yang besar.

Jika ada yang bertanya: “Bagaimana kamu menggabungkan hal ini dengan firman Allah Ta’ala:

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ

Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.’ (An-Nisa: 79)?”

Jawabannya adalah dengan mengatakan: Firman Allah “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah” berarti berasal dari karunia-Nya. Dia-lah yang menganugerahkan nikmat itu kepadamu, baik pada awal maupun akhirnya. Sedangkan firman-Nya “dan apa saja bencana yang menimpamu maka dari (kesalahan) dirimu sendiri” berarti bahwa kamulah penyebabnya. Adapun yang menetapkan (takdir) bencana tersebut adalah Allah, tetapi kamulah yang menjadi penyebabnya, sebagaimana firman-Nya:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS asy-Syura: 30)

Kesimpulan dari pembahasan ini adalah: Segala sesuatu yang terjadi, baik itu kebaikan maupun keburukan, semuanya terjadi dengan takdir Allah.

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA ALLAH

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA MALAIKAT-MALAIKAT ALLAH

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA KITAB-KITAB ALLAH

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA PARA RASUL

Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA HARI AKHIR

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Akidah Riyadhush Shalihin