Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wa kutubihi” (dan beriman kepada kitab-kitab-Nya) ketika ditaya tentang iman.
Kata kutub adalah bentuk jamak dari kitab, artinya kitab-kitab yang Allah turunkan kepada para rasul. Setiap rasul memiliki kitab, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
اَللّٰهُ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ وَالْمِيْزَانَ
“Allah-lah yang menurunkan kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan).” (QS asy-Syura: 17)
Dan firman Allah Ta’ala:
لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنٰتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتٰبَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS al-Hadid: 25)
Di antara kitab-kitab itu ada yang kita ketahui dan ada yang tidak kita ketahui.
Taurat adalah kitab yang diturunkan Allah Ta’ala kepada Musa ‘alaihissalam. Kitab ini kita ketahui. Injil adalah kitab yang diturunkan Allah Ta’ala kepada Isa ‘alaihissalam. Kitab ini pun kita ketahui. Suhuf Ibrahim, Zabur kitab Nabi Daud, dan Suhuf Musa juga disebutkan dalam al-Qur’an. Tetapi kita tidak mengetahuinya.
Kitab-kitab yang disebutkan namanya dalam al-Qur’an harus kita imani. Kitab-kitab yang tidak disebutkan namanya dalam al-Qur’an harus kita imani secara global. Maka, kita percaya bahwa Allah Ta’ala telah menurunkan Taurat kepada Musa, Injil kepada Isa, Zabur kepada Daud, Shuhuf kepada Ibrahim dan sebagainya.
Namun demikian, tidak berarti kitab Injil yang ada pada orang-orang Nasrani sekarang ini adalah kitab Injil yang diturunkan kepada Isa ‘alaihissalam. Kitab Injil yang ada sekarang telah diubah, diganti dan dipermainkan oleh pendeta-pendeta Nasrani. Mereka menambah, mengurang, dan mengubahnya. Maka dari itu, kamu dapati kitab Injil Perjanjian Baru terdiri dari empat atau lima bagian, padahal kitab yang diturunkan kepada Isa ‘alaihissalam cuma satu bagian.
Allah Ta’ala menjamin untuk menjaga kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menjelaskan kepada manusia apa yang benar dan apa yang telah diubah. Sedangkan kitab-kitab terdahulu tidak lepas dari perubahan karena setelah nabi-nabi yang menerima kitab-kitab itu diutus, diutus pula nabi-nabi lain yang menjelaskan kebenaran dan perubahan yang ada pada kitab-kitab tersebut. Itulah rahasianya mengapa Allah Ta’ala menjamin untuk menjaga al-Qur’an dan tidak menjamin untuk menjaga kitab-kitab lain, yaitu supaya manusia tahu bahwa mereka membutuhkan para nabi. Jika mereka mendapati kitab-kitab mereka telah diubah, maka akan datang nabi-nabi lain yang menjelaskan kebenaran.
Intinya, kita beriman bahwa kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi berasal dari Allah. Tetapi bukan kitab-kitab yang ada di tangan para pengikutnya sekarang ini, karena kitab-kitab itu sudah diubah, ditambah, dan diganti.
Di antara bukti iman kita kepada kitab-kitab adalah kita beriman bahwa setiap berita yang dikabarkan di dalamnya adalah benar, sebagaimana setiap berita yang ada di dalam al-Qur’an adalah benar. Hal itu karena berita-berita yang ada pada kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi berasal dari Allah, dan setiap berita yang datang dari Allah pasti benar. Kita juga harus beriman bahwa setiap hukum yang berasal dari Allah adalah benar, karena semua hukum yang Allah wajibkan kepada hamba-Nya adalah benar.
Tanya: Apakah hukum-hukum tersebut tetap terjaga hingga sekarang tanpa perubahan? Haruskah kita melaksanakan hukum-hukum yang dijelaskan dalam kitab-kitab terdahulu?
Jawab: Menurut kami, apa yang diceritakan oleh Allah Ta’ala kepada kita dalam kitab-kitab tersebut harus kita amalkan selagi tidak ada riwayat dalam syariat kita yang menentangnya. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala tentang Taurat:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَآ اَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْاَنْفَ بِالْاَنْفِ وَالْاُذُنَ بِالْاُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّۙ وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌۗ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهٖ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهٗ ۗوَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
“Dan Kami telah tetapkan terbadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa melepaskan (hak kisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS al-Ma’idah: 45)
Ayat ini tertulis dalam Taurat yang dikutip Allah di dalam al-Qur’an. Allah Ta’ala tidak menceritakannya kepada kita kecuali supaya kita mengambil hikmah darinya dan mengamalkannya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّاُولِى الْاَلْبَابِ
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS Yusuf: 111)
Dan firman Allah Ta’ala:
اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ فَبِهُدٰىهُمُ اقْتَدِهْ
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS al-An’am: 90)
Apa yang diceritakan oleh Allah Ta’ala dan dikutip kepada kita dari kitab-kitab terdahulu menjadi syariat bagi kita karena Allah tidak menyebutkannya secara sia-sia, kecuali syariat kita bertentangan dengannya. Jika syariat kita bertentangan dengannya, maka syariat kita menjadi penghapus syariat-syariat sebelumnya, sebagaimana juga sebagian ayat syariat yang diturunkan kepada kita yang dihapus dengan ayat-ayat lain. Demikian juga hukum-hukum yang dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-kitab terdahulu. Hukum-hukum itu kadang dihapus dengan syariat yang baru ini.
Adapun ajaran-ajaran di dalam kitab-kitab mereka, maka kita tidak membenarkannya dan tidak pula menyalahkannya, sebagaimana diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Jika Bani Israil berbicara kepada kita, janganlah kita membenarkan atau mendustakan mereka. Jika kita membenarkan mereka, bisa jadi kita membenarkan kebatilan. Jika kita menyalahkan mereka, jangan-jangan kita menyalahkan kebenaran. Oleh karena itu, yang lebih selamat adalah mengatakan, “Kami beriman kepada Allah, beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada kalian.” Kita tidak membenarkan mereka dan mendustakan mereka jika syariat kita tidak membenarkan atau mendustakannya, Jika syariat kita membenarkan atau mendustakannya, maka kita melaksanakan kesaksian itu.
Di antara kesaksian itu adalah kisah yang ditulis dalam sebagian kitab mereka tentang para nabi. Dikisahkan bahwa Daud ‘alaihissalam tertarik kepada istri salah seorang tentaranya. Maka Daud mengirim tentara itu ke medan perang supaya tentara itu terbunuh sehingga ia dapat mengawini istrinya setelah kematiannya.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa nabi Daud memang mengutus tentara itu. Lalu Allah mengutus sekelompok malaikat untuk bergabung dengannya. Lalu, salah seorang dari kelompok yang berperang itu berkata, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
اِنَّ هٰذَآ اَخِيْ ۗ لَهٗ تِسْعٌ وَّتِسْعُوْنَ نَعْجَةً وَّلِيَ نَعْجَةٌ وَّاحِدَةٌ ۗفَقَالَ اَكْفِلْنِيْهَا وَعَزَّنِيْ فِى الْخِطَابِ؛ قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ اِلٰى نِعَاجِهٖۗ وَاِنَّ كَثِيْرًا مِّنَ الْخُلَطَاۤءِ لَيَبْغِيْ بَعْضُهُمْ عَلٰى بَعْضٍ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَقَلِيْلٌ مَّا هُمْۗ وَظَنَّ دَاوٗدُ اَنَّمَا فَتَنّٰهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهٗ وَخَرَّ رَاكِعًا وَّاَنَابَ
“Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seeeor saja. Ia berkata, ‘Serahkanlah kambingmu itu kepadaku,’ dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan. Daud berkata, ‘Sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Dan amat sedikitlah mereka ini.’ Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya. Maka ia meminta ampun kepada Rabbnya, lalu menyungkur sujud dan bertobat.” (QS Shad: 23-24)
Inilah cerita yang dikisahkan Allah Ta’ala tentang nabi Daud. Dengan demikian, cerita aneh tentang nabi Daud bahwa dia mempunyai sembilan puluh sembilah istri, lalu berusaha mengambil istri salah seorang tentaranya agar istrinya genap menjadi seratus adalah dusta. Daud adalah seorang nabi. Tidak mungkin ia melakukan rekayasa kotor semacam itu. Bahkan jika ia bukan nabi pun, ia tidak akan melakukan perbuatan seperti itu. Apalagi ia seorang nabi.
Kisah-kisah seperti itu datang dari Bani Israil. Kami katakan bahwa itu adalah cerita dusta, karena tidak sesuai dengan keadaan seorang nabi maupun orang yang berakal.
Kesimpulannya bahwa kisah-kisah yang ditulis dalam kitab-kitab mereka dibagi menjadi dua bagian:
Pertama: Jika kisah-kisah itu diceritakan Allah Ta’ala dalam al-Qur’an atau diceritakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita, maka kita terima kebenarannya.
Kedua: Jika kisah-kisah itu meragukan, maka tidak terlepas dari tiga keadaan:
1) Jika syariat kita mempersaksikan kedustaannya, maka kita harus menolak dan mendustakannya.
2) Jika syariat kita membenarkannya, maka kita pun membenarkannya dan menerimanya, karena syariat kita mempersaksikan kebenarannya.
3) Adapun hal-hal lain diluar kedua keadaan ini, kita cukup mendiamkannya, karena mereka tidak bisa dipercaya dan dalam berita mereka terdapat banyak kebohongan, kedustaan, perubahan, tambahan, dan pengurangan.
Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA ALLAH
Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA MALAIKAT-MALAIKAT ALLAH
Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA PARA RASUL
Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA HARI AKHIR
Baca juga: RUKUN IMAN – BERIMAN KEPADA TAKDIR
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)