ROH SEORANG MUKMIN TERKATUNG-KATUNG (TERTAHAN) PADA UTANGNYA HINGGA DILUNASI

ROH SEORANG MUKMIN TERKATUNG-KATUNG (TERTAHAN) PADA UTANGNYA HINGGA DILUNASI

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

نَفْسُ الْـمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ

Jiwa seorang mukmin terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai utang itu dilunasi.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi, ad-Darimi, Ibnu Majah dan al-Baghawi. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ish Shaghir)

SYARAH HADIS

Sesungguhnya agama Islam adalah agama yang sempurna, mudah dan mengatur hubungan antara manusia dengan Khaliq (Allah) Azza wa Jalla serta mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan makhluk lainnya.

Islam mengatur muamalah (intraksi) manusia dengan peraturan terbaik. Agama Islam mengajarkan adab dan muamalah yang baik dalam semua transaksi yang dibenarkan dan disyariatkan dalam Islam, misalnya dalam transaksi jual beli, sewa menyewa dan gadai. Termasuk dalam transaksi pinjam meminjam atau utang piutang yang akan kita bicarakan.

Utang piutang adalah muamalah yang dibenarkan syariat Islam. Muamalah ini wajib dilaksanakan sesuai syariat Islam, tidak boleh menipu, tidak boleh ada unsur riba, tidak boleh ada kebohongan dan kedustaan, dan wajib diperhatikan bahwa utang wajib dibayar.

Utang-piutang banyak dilakukan kaum muslimin, tetapi dalam prakteknya banyak yang tidak sesuai dengan syariat. Fakta ini wajib diluruskan, terutama bagi para penuntut ilmu dan para dai.

Yang wajib diperhatikan oleh kaum muslimin dan muslimat, terutama para penuntut ilmu bahwa utang dibolehkan dalam syariat Islam, tetapi wajib dibayar. Oleh karena itu, setiap utang piutang harus dicatat atau ditulis nominal serta waktu pelunasannya. Ini sebagai janji, dan janji wajib ditepati. Kalau memang belum mampu bayar, maka sampaikanlah kepada yang memberikan utang bahwa kita belum mampu bayar pada hari atau pekan ini atau bulan ini dan minta tempo lagi, agar diberi kelonggaran waktu pada hari, atau pekan, atau bulan berikutnya.

Yang wajib diingat oleh setiap muslim dan muslimah bahwa utang wajib dibayar dan kalau tidak dibayar ia akan dituntut sampai Hari Kiamat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan jenazah seorang muslim yang masih memiliki tanggungan utang dua dinar sampai utang itu dilunasi.

Seorang yang meninggal dunia, maka yang pertama kali diurus adalah membayarkan utang-utangnya meskipun itu menghabiskan seluruh hartanya dan tidak meninggalkan warisan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ

“…Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya…” (QS an-Nisa’: 11)

Allah Ta’ala berfirman:

مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ

“…Setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah…” (QS an-Nisa’: 12)

Tentang makna hadis di atas, ‘Jiwa seorang mukmin terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai utang dilunasi’, Imam ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Hadis ini menunjukkan bahwa seseorang akan tetap disibukkan dengan utangnya walaupun ia telah meninggal dunia. Hadis ini menganjurkan agar kita melunasi utang sebelum meninggal dunia. Hadis ini juga menunjukkan bahwa utang adalah tanggung jawab berat. Jika demikian halnya, maka alangkah besar tanggung jawab orang yang mengambil barang orang lain tanpa izin, baik dengan cara merampas atau merampok.”

Imam al-Munawi rahimahullah berkata, “Jiwa seorang mukmin, maksudnya rohnya, terkatung-katung setelah kematiannya dengan sebab utangnya. Maksudnya, ia terhalangi dari kedudukan mulia yang telah disediakan untuknya, atau (terhalang) dari masuk Surga bersama rombongan orang-orang yang saleh.”

Syekh al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Yakni, jiwanya ketika di dalam kubur tergantung pada utang atas dirinya, seakan-akan –wallaahu a’lam– merasa sakit karena menunda penyelesaian utangnya. Dia tidak merasa gembira dan tidak lapang dada dengan kenikmatan untuknya karena dirinya masih mempunyai kewajiban membayar utang. Oleh karena itu, kita katakan, ‘Wajib atas para ahli waris untuk segera dan mempercepat menyelesaikan utang-utang si mayit.’”

Masalah utang memang dibenarkan dalam syariat Islam, akan sebagai kaum muslimin wajib berhati-hati, karena banyak orang yang meremehkan utang, padahal utang adalah masalah besar, menyangkut masalah agama, kehormatan, rumah tangga dan dakwah. Dan orang yang tidak membayar atau tidak melunasi utang diancam dengan tidak masuk Surga.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berdoa agar telindung dari utang. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa dalam salatnya,

اَللّٰهُمَّ إِنِّـيْ أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْـمَسِيحِ الدَّجَّالِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْـمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْـمَمَـاتِ  اَللّٰهُمَّ إِنِّـيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْـمَأْثَمِ وَالْـمَغْرَمِ

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, aku berlindung kepadamu dari fitnah al-Masih ad-Dajjal, dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah hidup dan fitnah mati. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang.”

Seseorang bertanya kepada beliau, “Mengapa engkau sering berlindung kepada Allah dari utang?”

Beliau menjawab,

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ، وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ

Sesungguhnya apabila seseorang terlilit utang, maka bila berbicara ia akan berdusta dan bila berjanji ia akan memungkiri.” (HR al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan para sahabat dan berbicara kepada mereka bahwa jihad di jalan Allah Azza wa Jalla dan iman kepada Allah Azza wa Jalla adalah amal yang paling utama. Lalu seorang laki-laki berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

نَعَمْ، إِنْ قُتِلْتَ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُـحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ

Ya, asalkan engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar dan mengharapkan pahala, maju ke medan perang dan tidak melarikan diri.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,

كَيْفَ قُلْتَ؟

Apa yang engkau katakan tadi?

Ia mengulanginya, “Bagaimana menurutmu jika aku gugur di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan terhapus?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

نَعَمْ، وَأَنْتَ صَابِرٌ مُـحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلَّا الدَّيْنَ، فَإِنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ قَالَ لِـيْ ذٰلِكَ

Ya, asalkan engkau gugur di jalan Allah dalam keadaan sabar dan mengharapkan pahala, maju ke medan perang dan tidak melarikan diri, kecuali utang, karena itulah yang disampaikan malaikat Jibril kepadaku tadi.” (HR Muslim, Ahmad, Malik, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, ad-Darimi dan al-Baihaqi)

Dari Muhammad bin Jahsy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Pada suatu hari kami duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menguburkan jenazah. Beliau menengadahkan kepalanya ke langit, kemudian menepuk dahinya dengan telapak tangannya sambil bersabda,

سُبْحَانَ اللّٰـهِ، مَاذَا نُزِّلَ مِنَ التَّشْدِيدِ؟

Subhanallah, betapa berat ancaman yang diturunkan.”

Kami diam saja namun sesungguhnya kami terkejut. Keesokan harinya aku bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, ancaman berat apakah yang turun?”

Beliau menjawab,

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ ، لَوْ أَنَّ رَجُلًا قُتِلَ فِـيْ سَبِيْلِ اللّٰـهِ ثُمَّ أُحْيِيَ ثُمَّ قُتِلَ ثُمَّ أُحْيِيَ ثُمَّ قُتِلَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْـجَنَّـةَ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ دَيْنُهُ

Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seorang laki-laki terbunuh di jalan Allah, kemudian dihidupkan kembali, kemudian terbunuh lagi, kemudian dihidupkan kembali, kemudian terbunuh lagi, sementara ia mempunyai utang, maka ia tidak akan masuk Surga hingga ia melunasi utangnya.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh an-Nasa-i, Ahmad, al-Hakim, dan al-Baghawi. Disahihkan oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam Sunan an-Nasa-i)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُغْفَرُ لِلشَّهِيْدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلَّا الدَّيْنَ

Orang yang mati syahid diampuni seluruh dosanya, kecuali utang.” (HR Muslim)

Faedah: Yang dimaksud dalam hadis-hadis tentang mati syahid adalah orang yang mati syahid di medan perang menghadapi orang-orang kafir, dan ia berperang bersama ulil amri. Bukan yang dimaksud adalah orang yang membawa bom bunuh diri dengan merusak seperti sekarang ini dengan membom tempat-tempat yang aman dan lainnya. Mati karena tindakan seperti itu tidak bisa dikatakan mati syahid, melainkan mati konyol dan tergolong bunuh diri, karena tindakan tersebut melanggar syariat dan membuat kerusakan di muka bumi serta membunuh kaum muslimin dan orang-orang yang dijamin oleh pemerintah.

Dari Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguburkan jenazah. Beliau bersabda,

أَهَا هُنَا مِنْ بَنِي فُلَانٍ أَحَدٌ؟

Adakah seseorang dari Bani Fulan di sini?

Beliau mengulanginya tiga kali. Lalu berdirilah seorang laki-laki. Rasulullah bertanya kepadanya,

مَا مَنَعَكَ فِـي الْـمَرَّتَيْنِ الْأُوْلَيَيْنِ أَنْ لَا تَكُوْنَ أَجَبْتَنِيْ؟ أَمَا إِنِّـيْ لَـمْ أُنَوِّهْ بِكَ إِلَّا بِخَيْرٍ، إِنَّ فُلَانًا لِرَجُلٍ مِنْهُمْ مَاتَ مَأْسُورًا بِدَيْنِهِ

Apa yang menghalangimu untuk menjawab seruanku pada kali yang pertama dan kedua? Adapun aku tidak menyebutkan sesuatu kepadamu melainkan kebaikan. Sesungguhnya Fulan -seorang laki-laki dari kalangan mereka yang sudah mati- tertawan (tertahan) karena utangnya.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa-i -dan ini adalah lafaznya-, al-Hakim, Ahmad dan al-Baihaqi)

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تُـخِيْفُوْا أَنْفُسَكُمْ بَعْدَ أَمْنِهَا

Janganlah kalian membahayakan diri kalian setelah mendapatkan keamanan!

Mereka bertanya, “Bagaimana itu, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab,

الدَّيْنُ

Yaitu dengan utang.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, al-Hakim, al-Baihaqi dan selainnya. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah dan Shahih al-Jami’ish Shaghir)

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, maula (bekas budak) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ فَارَقَ الرُّوْحُ الْـجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ: اَلْكِبْرِ  وَالْغُلُوْلِ  وَالدَّيْنِ دَخَلَ الْـجَنَّةَ

Apabila roh telah berpisah dari jasad (meninggal dunia), sedang ia terbebas dari tiga perkara: kesombongan, ghulul (korupsi) dan utang, niscaya ia masuk Surga.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi dan selainnya. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah)

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Seorang laki-laki meninggal dunia dan kami pun memandikan jenazahnya. Lalu kami mengafaninya dan memberinya wangi-wangian. Kemudian kami datang membawa mayit itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami berkata, “Salatkanlah jenazah ini.”

Beliau melangkahkan kakinya, lalu bertanya,

أَعَلَيْهِ دَيْنٌ؟

Apakah dia mempunyai tanggungan utang?

Kami menjawab, “Dua dinar.”

Beliau pun pergi.

Abu Qatadah kemudian menanggung utangnya. Lalu kami datang lagi kepada beliau. Abu Qatadah berkata, “Dua dinarnya aku tanggung.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُحِقَّ الْغَرِيْمُ وَبَرِئَ مِنْهُمَـا الْـمَيِّتُ؟

Engkau betul akan menanggungnya sehingga mayit itu terlepas darinya?

Dia menjawab, “Ya.”

Rasulullah pun menyalatinya.

Setelah hari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا فَعَلَ الدِّينَارَانِ؟

Apakah yang telah dilakukan oleh dua dinar tersebut?

Abu Qatadah berkata, “Sesungguhnya ia baru meninggal kemarin.”

Jabir berkata: Rasulullah mengulangi pertanyaan itu keesokan harinya. Abu Qatadah berkata, “Aku telah melunasinya wahai Rasulullah!’

Maka Rasulullah bersabda,

الْآنَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ

Sekarang barulah dingin kulitnya.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa-i dan Ibnu Hibban)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ، فَلَيْسَ ثَمَّ دِيْنَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ، وَلٰكِنَّهَا الْـحَسَنَاتُ وَالسَّيِّئَاتُ

Barangsiapa meninggal dunia sedangkan ia masih memiliki tanggungan utang, sedang di sana tidak ada dinar dan tidak juga dirham, akan tetapi yang ada hanya kebaikan dan kejelekan.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. al-Hakim mensahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat Ahkamul Jana-iz karya Syekh al-Albani)

Hadis-hadis di atas merupakan ancaman bagi orang yang berutang dan tidak membayar atau tidak melunasi utangnya.

Adab-adab Orang yang Berutang

– Harus meluruskan niat dan tujuannya dalam berutang.

– Tidak berutang kecuali dalam kondisi darurat.

– Wajib berniat melunasi utangnya.

Dari Shuhaib bin al-Khair radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

أَيُّمَـا رَجُلٍ تَدَيَّنَ دَيْنًا وَهُوَ مُـجْمِعٌ أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللّٰـهَ سَارِقًا

Siapa saja yang berutang sedang ia berniat tidak melunasi utangnya, maka ia akan bertemu Allah sebagai seorang pencuri.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

– Berusaha berutang kepada orang yang kaya atau mampu dan baik.

– Utang hanya sesuai kebutuhan.

– Wajib memenuhi janji dan berkata jujur, serta berlaku baik kepada orang yang meminjamkan uang atau barang kepada kita.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا

Dan penuhilah janji karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (QS al-Isra’:  34)

– Wajib membayar utang tepat waktu dan tidak menunda-nundanya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَطْلُ الْـغَنِيِّ ظُلْمٌ

Menunda-nunda (pembayaran utang) dari orang yang mampu adalah kezaliman.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

– Memberi kabar kepada orang yang memberi utang jika belum mampu membayar.

– Harus berusaha keras mencari jalan keluar untuk segera melunasi utangnya.

– Mendoakan kebaikan untuk orang yang telah meminjamkan sesuatu kepada kita dan berterima kasih kepadanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَنَعَ إِلَيْكُمْ مَعْرُوْفًا فَكَافِئُوْهُ. فَإِنْ لَـمْ تَـجِدُوْا مَا تُكَافِئُوْنَهُ، فَادْعُوْا لَهُ حَتَّىٰ تَرَوْا أَنَّـكُمْ قَدْ كَافَأْتُـمُوْهُ

Barangsiapa telah berbuat kebaikan kepadamu, balaslah kebaikannya itu. Jika engkau tidak mendapati apa yang dapat membalas kebaikannya itu, maka berdoalah untuknya hingga engkau menganggap bahwa engkau benar-benar telah membalas kebaikannya. (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud -dan ini lafaznya-, an-Nasa-i, al-Bukhari, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan ath-Thayalisi dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anuma. Lihat Silsilah ash-Shahihah)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membayar dan melunasi utang mendoakan kebaikan dan berkah kepada orang yang meminjamkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika membayar utang, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa:

بَارَكَ اللهُ لَكَ فِـيْ أَهْلِكَ وَمَالِكَ، إِنَّمَـا جَزَاءُ السَّلَفِ الْـحَمْدُ وَالْوَفَاءُ

Semoga Allah memberikan keberkahan kepadamu dan kepada keluarga dan hartamu. Sesungguhnya balasan salaf (pinjaman) itu adalah pelunasan (dengan sempurna) dan pujian.” (Hadi hasan. Diriwayatkan oleh an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan Ahmad. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil)

Adab-adab Orang yang Memberi Utang

– Memberi kelapangan, kemudahan dan keringanan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَـسَّـرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ، يَـسَّـرَ اللهُ عَلَـيْـهِ فِـي الدُّنْـيَـا وَالْآخِرَةِ

Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah utang), maka Allah memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat.” (HR Muslim dan lainnya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

– Bersikap baik dalam menagih utang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَحِمَ اللّٰـهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى

Allah merahmati orang yang mudah ketika menjual, membeli dan meminta haknya.” (HR al-Bukhari dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma)

– Memberikan tempo kepada yang tidak mampu bayar

Berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla:

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang berutang) itu dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS al-Baqarah: 280)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا، فَلَـهُ بِكُـّلِ يَوْمٍ صَدَقَـةٌ قَبْـلَ أَنْ يَـحِلَّ الدَّيْنُ  فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ، فَـأَنْظَرَهُ بَعْدَ ذٰلِكَ، فَلَهُ بِكُـّلِ يَـوْمٍ مِثْـلِهِ صَدَقَـةٌ

Barangsiapa memberi tempo waktu kepada orang yang berutang yang mengalami kesulitan membayar utang, maka ia mendapatkan (pahala) sedekah pada setiap hari sebelum tiba waktu pembayaran. Jika waktu pembayaran telah tiba kemudian ia memberi tempo lagi setelah itu kepadanya, maka ia mendapat (pahala) sedekah pada setiap hari semisalnya.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Hakim -dan ini lafaznya-, dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu)

Jika orang yang berutang tidak mungkin untuk membayar dan kita telah melihat keadaan keluarga dan usahanya sulit, maka yang terbaik adalah membebaskan utangnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا قَالَ لِفِتْيَانِهِ، تَجَاوَزُوْا عَنْهُ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا فَتَجَاوَزَ اللهُ عَنْهُ

Dahulu ada seorang pedagang yang suka memberikan pinjaman kepada manusia. Jika ia melihat orang kesulitan membayar utangnya, maka ia berkata kepada anak-anak buahnya, ‘Maafkanlah darinya (bebaskanlah dari utangnya), mudah-mudahan Allah memaafkan kita.’ Maka Allah pun memaafkannya.” (HR al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

– Tidak boleh menarik manfaat atau keuntungan dari pinjamannya tersebut

Para ulama membuat sebuah kaedah yang berbunyi, “Setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat, maka itu adalah riba.”

Fawaiid Hadis

    1. Peringatan keras tentang perkara utang. Utang adalah kegalauan pada malam hari, kehinaan pada siang hari dan penghalang masuk Surga.
    2. Roh seorang mukmin tergantung dengan utangnya sampai utangnya dibayar.
    3. Orang yang tidak berniat untuk membayar utangnya maka ia akan bertemu Allah Azza wa Jalla kelak sebagai pencuri.
    4. Wajib memenuhi janji dan berkata jujur.
    5. Wajib membayar utang tepat waktu dan tidak menundanya.
    6. Orang yang mati syahid diampuni seluruh dosanya kecuali utang.
    7. Orang yang mati syahid tertunda masuk Surga sampai dibayarkan utangnya.
    8. Wajib segera membayar dan melunasi utang sebelum ajal tiba.
    9. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau mensalatkan jenazah yang masih mempunyai tanggungan utang.
    10. Dianjurkan berdoa setiap salat agar terhindar dari utang atau dapat melunasi utang.
    11. Boleh melunasi utang orang yang sudah mati oleh selain anak-anaknya.
    12. Hak-hak hamba wajib dilunasi atau minta dimaafkan sebelum meninggal dunia.
    13. Utang yang belum dilunasi akan dituntut sampai Hari Kiamat kecuali jika orang yang meminjamkan membebaskan atau mengikhlaskannya.
    14. Bila ada orang yang belum mampu membayar utang, maka hendaklah diberi tempo, sampai ada kelapangan untuk membayar.
    15. Bila memang orang yang berutang tidak mampu membayar, maka hendaklah bagi yang meminjamkan utang menyedekahkan hartanya alias membebaskan utangnya (pemutihan).
    16. Tidak boleh menarik manfaat (lebih) dari utang karena itu adalah riba.
    17. Ancaman kepada orang yang zalim dan melewati batas terhadap manusia.
    18. Orang yang bangkrut yang sebenarnya adalah orang yang bangkrut pada Hari Kiamat, karena berbuat zalim kepada orang lain.
    19. Pada Hari Kiamat tidak ada lagi mata uang, maka pahala kebaikannya dipakai untuk membayar utang-utang dan kezalimannya sampai akhirnya ia bangkrut/pailit.
    20. Orang yang tidak punya pahala kebaikan, maka kejelekan orang-orang yang dia berutang kepadanya atau orang yang dia zalimi akan ditimpakan/dilimpahkan kepadanya sehingga dia menjadi orang yang bangkrut. Nas-alullaah al-‘Afwa wal ‘Aafiyah.

Baca juga: BERUTANG DENGAN NIAT TIDAK MEMBAYAR

Baca juga: ADAB UMUM UTANG PIUTANG

Baca juga: TIDAK MENCELAKAI ORANG MUSLIM

(Ustaz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas. Disalin dari https://almanhaj.or.id/12084-ruh-seorang-mukmin-terkatung-katung-tertahan-pada-utangnya-hingga-dilunasi.html)

Adab