Sesungguhnya perdebatan adalah senjata yang ampuh dalam menangkis keraguan dan menanggulangi bid’ah. Perdebatan hanya dapat dilakukan oleh sekelompok orang yang diberi ilmu dan pemahaman terhadap al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta pengetahuan tentang keraguan yang diajukan oleh lawan debat dan cara untuk membantahnya. Mereka juga memiliki kemampuan untuk menyampaikan hujah-hujah yang meyakinkan yang tidak dapat disangkal oleh lawan debat. Tidak seharusnya orang yang ilmunya terbatas terlibat dalam perdebatan dengan ahli bid’ah atau sejenisnya, terutama jika orang yang berbid’ah tersebut memiliki hujah yang lebih kuat dan lebih banyak ilmunya, agar tidak merusak Islam akibat hal tersebut.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma memiliki sebuah perdebatan terkenal di kalangan para ahli ilmu dan riwayat dengan al-Haruriyyah (kelompok yang hendak memberontak terhadap Ali radhiyallahu ‘anhu). Ibnu Abd al-Barr meriwayatkannya dalam al-Jami’, dimana di dalamnya terdapat kisah sebagai berikut:
Mereka berkata, “Apa yang membawamu ke sini, wahai Ibnu Abbas?”
Ibnu Abbas menjawab, “Aku datang dari sisi para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak seorang pun dari kalian berasal dari mereka. Aku datang dari sisi sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang kepadanya al-Qur’an diturunkan, dan mereka lebih mengetahui tentang tafsirnya. Aku datang untuk menyampaikan apa yang mereka katakan kepada kalian dan untuk menyampaikan apa yang kalian katakan kepada mereka.”
Kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Jangan berdebat dengan orang-orang Quraisy, karena Allah berfirman: ‘Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka berdebat.’ (QS az-Zumar: 3)”
Namun sebagian yang lain berkata, “Ya, kita akan berbicara dengannya.”
Lalu dua atau tiga orang dari mereka berbicara dengan Ibnu Abbas. Ibnu Abbas berkata, “Apa yang kalian perselisihkan dengan Ali?”
Mereka menjawab, “Tiga hal.”
Ibnu Abbas bertanya, “Apa saja itu?”
Mereka menjawab, “Yang pertama, keputusan yang melibatkan manusia dalam urusan Allah, padahal Allah berfirman: ‘Sesungguhnya keputusan itu hanya milik Allah.’ (QS al-An’am: 57)”
Ibnu Abbas berkata, “Itu satu alasan, apa lagi?”
Mereka berkata, “Dia berperang tetapi tidak menyita harta dan tidak menawan tawanan. Jika mereka (musuh) adalah orang-orang beriman, maka tidak boleh diperangi, dan jika mereka kafir, maka perang dan tawanan mereka boleh.”
Ibnu Abbas berkata, “Apa lagi?”
Mereka menjawab, “Dia menghapuskan dirinya dari gelar Amirul Mu’minin. Jika dia bukan Amirul Mu’minin, berarti dia adalah Amirul Kafir.”
Ibnu Abbas berkata, “Apa pendapat kalian jika aku datang kepada kalian dengan bukti dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah yang membatalkan perkataan kalian ini, apakah kalian akan kembali kepada kebenaran?”
Mereka menjawab, “Mengapa kami tidak akan kembali?”
Ibnu Abbas berkata, “Tentang perkataan kalian: ‘Hukum manusia dalam urusan Allah’, maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَقْتُلُوا۟ ٱلصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَن قَتَلَهُۥ مِنكُم مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآءٌ مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ ٱلنَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِۦ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ
‘Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian membunuh binatang buruan ketika kalian sedang berihram. Barang siapa di antara kalian membunuhnya dengan sengaja, maka sebagai hukuman adalah mengganti dengan binatang ternak yang sebanding dengan yang dibunuhnya, yang ditentukan oleh dua orang yang adil di antara kalian.’ (QS al-Ma’idah: 95)
Dan tentang masalah perempuan dan suaminya, Allah berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَٱبْعَثُوا۟ حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِۦ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَآ
‘Dan jika kalian khawatir akan terjadi perselisihan antara keduanya, maka kirimlah seorang penengah dari pihak laki-laki dan seorang penengah dari pihak perempuan.’ (QS an-Nisa’: 35)
Maka Allah memberikan keputusan tersebut kepada para hakim yang terdiri dari manusia, dan aku bertanya kepada kalian, ‘Apakah kalian mengetahui hukum manusia dalam membunuh darah seorang muslim dan memperbaiki hubungan mereka lebih utama, ataukah dalam membunuh seekor kelinci yang harganya seperempat dirham, atau dalam hubungan suami istri?’”
Mereka menjawab, “Tentu saja ini lebih utama.”
Ibnu Abbas berkata, “Apakah kalian sudah memahami ini?”
Mereka menjawab, “Ya.”
Ibnu Abbas berkata, “Adapun perkataan kalian: ‘Dia berperang tetapi tidak menyita harta dan tidak menawan tawanan.’ Apakah kalian akan menyebut ibu kita, Aisyah, sebagai tawanan? Jika kalian berkata bahwa dia adalah tawanan, maka kalian telah menghalalkan apa yang tidak boleh dihalalkan, dan jika kalian berkata dia bukan ibu kita, maka kalian telah kafir. Kalian berada dalam kebingungan antara dua kesesatan.”
Mereka menjawab, “Ya.”
Ibnu Abbas melanjutkan, “Adapun perkataan kalian: ‘Dia menghapuskan dirinya dari kepemimpinan orang-orang mukmin,’ maka aku akan mendatangkan kepadamu orang yang kalian ridhai. Ketahuilah bahwa pada saat Perjanjian Hudaibiyah, ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perjanjian damai dengan Abu Sufyan dan Suhail bin Amr, Nabi bersabda kepada Ali, ‘Tulislah wahai Ali: Ini adalah perjanjian yang disepakati oleh Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Abu Sufyan dan Suhail bin Amr berkata, ‘Kami tidak tahu bahwa engkau adalah Rasulullah. Jika kami tahu engkau adalah Rasulullah, kami tidak akan memerangi engkau.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, ‘Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku adalah utusan-Mu, hapuslah kata-kata ini ya Ali dan tulislah: Ini adalah perjanjian yang disepakati oleh Muhammad bin Abdullah, Abu Sufyan, dan Suhail bin Amr.’”
Ibnu Abbas berkata lagi: “Dua ribu orang dari mereka pun kembali, sedangkan yang lainnya pergi dan akhirnya dibunuh semuanya.”
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya.
Baca juga: GHULUW TERHADAP ORANG SHALIH ADALAH AWAL KESYIRIKAN
Baca juga: MEMPERBANYAK AMAL SALEH DI USIA LANJUT
Baca juga: AMAL BADAN ORANG HIDUP YANG BERMANFAAT BAGI ORANG MATI
(Fuad bin Abdul ‘Aziz asy-Syalhub)