Adapun firman Allah Ta’ala: “Dan Aku jadikan kezaliman haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi,” maksudnya adalah janganlah sebagian kalian menzalimi sebagian yang lain. Penetapan (j’al) di sini adalah penetapan secara syar’i, bukan secara kauni. Hal itu karena penetapan yang Allah nisbatkan kepada diri-Nya bisa berupa penetapan kauni (berkaitan dengan penciptaan atau ketetapan alam), seperti firman-Nya:
وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاساً وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشاً
“Dan Kami jadikan malam sebagai pakaian dan siang sebagai waktu mencari penghidupan,” (QS an-Naba’: 10–11), atau penetapan syar’i (berkaitan dengan hukum atau aturan), seperti firman-Nya:
مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلا سَائِبَةٍ وَلا وَصِيلَةٍ وَلا حَامٍ
“Allah tidak pernah mensyariatkan bahirah, saibah, wasilah, dan ham.” (QS al-Ma’idah: 103)
Ma ja’ala di sini bermakna tidak mensyariatkannya. Kalau tidak, maka secara kenyataan hal itu memang telah terjadi, karena orang-orang Arab dahulu memang melakukan hal itu.
Demikian pula dalam hadis ini: “Aku jadikan kezaliman haram di antara kalian,” maksudnya adalah penetapan secara syar’i, bukan kauni, karena kezaliman tetap terjadi dalam kenyataan.
Adapun firman Allah Ta’ala: “Aku jadikan kezaliman haram di antara kalian,” maka kezaliman para hamba terhadap sesama mereka terjadi pada tiga hal, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya saat berkhotbah kepada manusia pada Haji Wada’,
إِنَّ دِمَاءَكُمْ، وَأَمْوَالَكُمْ، وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا. ألَا قَدْ بَلَّغْتُ؟
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini. Ketahuilah, apakah aku telah menyampaikan (pesan ini)?”
Mereka menjawab, “Ya.”
Beliau bersabda,
اللَّهُمَّ فَا شْهَدْ
“Ya Allah, saksikanlah.” (HR al-Bukhari)
Inilah tiga perkara utama: darah, harta, dan kehormatan.
Kezaliman atas Darah
Kezaliman di antara manusia adalah haram dalam hal darah. Tidak boleh bagi siapa pun melampaui batas terhadap darah orang lain, baik dengan tindakan yang menyebabkan hilangnya nyawa seperti pembunuhan maupun yang menimbulkan kerusakan sebagian seperti melukai, mematahkan tulang, dan semacamnya. Semua itu hukumnya haram dan tidak diperbolehkan.
Ketahuilah bahwa mematahkan tulang mayit sama seperti mematahkannya ketika masih hidup, sebagaimana hal itu diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
“Mematahkan tulang mayit sama seperti mematahkannya saat hidup.” (HR Abu Dawud. Dinyatakan sahih oleh Syekh al-Albani dalam Irwaul Ghalal)
Mayit memiliki kehormatan; tidak boleh diambil sesuatu pun dari anggota tubuhnya, dan tidak boleh dipatahkan bagian tubuhnya, karena ia adalah amanah dan ia akan dibangkitkan dalam keadaan utuh pada Hari Kiamat. Jika demikian, tidak diperbolehkan kamu mengambil apa pun darinya. Oleh karena itu, para ahli fikih mazhab Hanbali rahimahullah secara tegas menetapkan bahwa tidak boleh diambil sesuatu pun dari anggota tubuh mayit, meskipun ia telah mewasiatkannya. Hal itu karena mayit memiliki kehormatan, sebagaimana orang hidup memiliki kehormatan.
Mematahkan tulang mayit sama seperti mematahkannya ketika masih hidup. Jika kita mengambil salah satu anggota tubuh dari mayit, atau mematahkan salah satu tulangnya, itu merupakan bentuk kejahatan terhadapnya dan bentuk pelanggaran terhadap dirinya, dan kita berdosa karenanya.
Seseorang tidak boleh mendonorkan bagian dari anggota tubuhnya, karena anggota tubuhnya adalah amanah yang ada padanya. Tidak halal baginya untuk menyia-nyiakan amanah tersebut. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ
“Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri.” (QS an-Nisa: 29)
‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhu menafsirkan ayat ini berkaitan dengan seseorang yang sedang dalam keadaan junub, berada di tengah cuaca dingin, dan khawatir akan celaka jika mandi. ‘Amr bin al-’Ash menganggap hal itu termasuk dalam kandungan ayat tersebut.
Peristiwa itu terjadi ketika ‘Amr bin al-’Ash berada dalam sebuah ekspedisi militer. Ia dalam keadaan junub dan malam itu sangat dingin. Maka ia bertayamum dan memimpin shalat bersama sahabat-sahabatnya.
Ketika mereka kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mendengar kabar tersebut, beliau bersabda,
يَا عَمْرُو، صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ؟
“Wahai ‘Amr, engkau shalat bersama sahabat-sahabatmu sedangkan engkau dalam keadaan junub?” (yakni belum mandi?)
‘Amr menjawab, “Wahai Rasulullah, aku teringat firman Allah Ta’ala: ‘Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri. Sesungguhnya Allah Mahapenyayang kepada kalian’ (QS an-Nisa’: 29) dan aku khawatir dengan cuaca dingin itu, maka aku bertayamum.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa. Beliau menyetujui perbuatannya dan istidlal-nya (cara ia mengambil dalil dari ayat tersebut). Beliau tidak mengatakan bahwa ayat itu tidak menunjukkan hal tersebut. (HR Ahmad dan Abu Dawud. Dinilai sahih oleh Syekh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Dengan demikian, segala sesuatu yang membahayakan tubuh kita atau menyebabkan hilangnya bagian darinya, tidak halal bagi kita untuk melakukannya, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri.” Maka sesuatu seperti rokok dan hal-hal membahayakan lainnya yang diharamkan atas kita tidak lain kecuali demi menjaga tubuh, karena tubuh terhormat dan harus dihormati.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Darah kalian” mencakup darah yang menyebabkan seseorang binasa, yaitu pembunuhan dan darah yang tidak sampai membinasakan, seperti luka, patah tulang, atau yang semisal dengannya.
Kezaliman atas Harta
Adapun sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “dan harta kalian,” maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan bagi sebagian kita untuk mengambil harta saudaranya tanpa hak dengan cara apa pun. Baik merampas, mencuri, merampok, berkhianat, menipu, atau berdusta. Dengan cara apa pun di antara semua itu, maka mengambil harta orang lain seperti itu hukumnya haram.
Orang-orang yang menjual barang kepada masyarakat dengan cara menipu –terutama para pedagang sayur– maka setiap uang, bahkan setiap koin yang mereka peroleh dari kelebihan harga akibat penipuan adalah haram. Orang-orang yang melakukan penipuan dalam jual beli berarti telah melakukan dua hal pelanggaran. Pelanggaran pertama adalah menyerang atau merugikan saudara-saudara mereka sesama muslim dengan mengambil harta mereka tanpa hak. Pelanggaran kedua adalah bahwa mereka mendapatkan pelepasan diri dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seburuk-buruk barang dagangan adalah barang dagangan yang menyebabkan pemiliknya terkena pelepasan diri dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadis yang sahih,
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Barang siapa menipu kami, maka ia bukan termasuk golongan kami.” (HR Muslim)
Termasuk bentuk kezaliman pula adalah apa yang dilakukan sebagian tetangga, di mana kamu mendapati dia menggeser batas tanah ke arah tetangganya agar tanahnya bertambah luas, padahal telah tetap dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
مَنْ اقْتَطَعَ مِنَ ٱلْأَرْضِ شِبْرًا بِغَيْرِ حَقٍّ، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ ٱلْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
“Barang siapa mengambil sejengkal tanah tanpa hak, maka ia akan dikalungi dengan tanah tersebut dari tujuh lapis bumi pada Hari Kiamat.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Yakni pada Hari Kiamat akan ada di lehernya kalung dari tujuh lapis bumi –wal’iyadzu billah – yang harus dia pikul pada hari dikumpulkan (kiamat).
Perbuatan ini termasuk bentuk kezaliman.
Termasuk kezaliman adalah seseorang memiliki piutang atas orang lain berupa uang, lalu orang yang berutang mengingkarinya dan berkata, “Kamu tidak punya apa-apa padaku.” Ini merupakan bentuk memakan harta orang lain secara batil. Bahkan jika persoalan ini dibawa ke pengadilan, dan orang yang berbuat zalim menang di hadapan hakim, maka dia tetap tidak akan menang di hadapan Allah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَىَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ يَكُونُ أَلْحَنُ بِحُجَتِهِ مِنْ بَعْضٍ. فَأَقْضِي لَهُ وَإِنَّمَا أَقْضِي بِنَحْوِ مَا أَسْمَعُ. فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِشَىْءٍ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ، فَإِنَّمَا أَقْتَطِعُ لَهُ جَمْرَةً مِنْ نَّارِ. فَلْيَسْتَقِلْ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
“Kalian datang bersengketa kepadaku. Boleh jadi sebagian dari kalian lebih fasih dalam menyampaikan hujahnya daripada yang lain, maka aku pun memutuskan perkara sesuai dengan apa yang aku dengar. Barang siapa yang aku putuskan memperoleh sesuatu dari hak saudaranya, maka sesungguhnya aku telah memotongkan untuknya bara api dari Neraka. Maka silakan ia ambil sedikit atau banyak darinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Jangan pernah menyangka bahwa jika kamu menang atas lawanmu di hadapan hakim sementara kamu di pihak yang salah, kamu akan selamat di akhirat. Tidak! Sama sekali tidak! Sebab, hakim hanya memutuskan berdasarkan apa yang ia dengar. Ia tidak mengetahui perkara gaib. Namun Allah, Dzat Yang Mahamengetahui segala yang gaib Jalla wa ‘Ala Dia-lah yang akan menghisabmu pada Hari Kiamat.
Demikian pula termasuk memakan harta orang lain secara batil adalah seseorang mengklaim terhadap orang lain sesuatu yang bukan haknya, lalu ia mendatangkan bukti dengan kesaksian palsu, sehingga keputusan hukum dijatuhkan untuknya berdasarkan itu. Ini jelas merupakan bentuk memakan harta secara batil.
Contoh-contoh seperti ini sangat banyak. Semuanya adalah haram jika tidak didasarkan pada kebenaran. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Maka janganlah kalian saling menzalimi.”
Kezaliman atas Kehormatan
Adapun kehormatan seseorang juga haram untuk dilanggar. Maka tidak halal bagi seseorang untuk menjatuhkan kehormatan saudaranya, seperti dengan menggunjingnya dalam suatu majelis atau mencacinya, karena perbuatan itu termasuk dosa besar.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضاً
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain. Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain.” (QS al-Hujurat: 12)
Perhatikanlah urutan yang disebutkan dalam ayat ini:
Pertama, Allah memerintahkan untuk menjauhi banyak prasangka. Sebab, jika seseorang mulai berprasangka buruk terhadap saudaranya, ia akan terdorong untuk mencari-cari kesalahan orang lain. Maka Allah melarang: “Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain.” Jika ia sudah mencari-cari kesalahan orang lain, maka akibatnya ia akan mulai menggunjing. Oleh karena itu, pada yang ketiga Allah berfirman: “Dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain.”
Kemudian Allah Ta’ala berfirman:
أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
“Apakah salah seorang dari kalian suka memakan daging saudaranya yang telah mati?” (QS al-Hujurat: 12)
Jawabannya tentu tidak.
Perintah memakan daging saudara yang telah mati itu bukanlah sesuatu yang diwajibkan, tapi sangat dibenci, sebagaimana firman Allah: “Maka kalian membencinya.”
Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa pada Hari Kiamat, orang yang telah digunjing akan dihadirkan dalam wujud mayat manusia. Lalu kepada orang yang menggunjing dikatakan, “Makanlah dagingnya.” Ia dipaksa untuk memakannya, padahal ia membencinya. Ia dipaksa sebagai bentuk hukuman baginya. Wal’iyadzu billah.
Gibah hukumnya haram. Telah diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam ketika beliau di-mi’raj-kan melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga. Mereka mencakar wajah dan dada mereka dengan kuku-kuku tersebut.
Beliau pun bertanya,
يَا جِبْرِيلُ، مَنْ هَٰؤُلَاءِ؟
“Wahai Jibril, siapakah mereka?”
Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia dan melanggar kehormatan mereka.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad)
Na’udzubillah.
Apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya, maka saudaranya itu akan mengambil dari amal kebaikannya di akhirat. Karena itu, diceritakan bahwa sebagian ulama salaf pernah diberitahu, “Si Fulan menggunjingmu.” Ia pun bertanya, “Benarkah?” Dijawab, “Ya, dia telah menggunjingmu.”
Maka ulama salaf tersebut menyiapkan hadiah, lalu mengirimkannya kepada si penggunjing. Orang itu pun merasa heran, “Bagaimana mungkin aku menggunjingnya, tapi dia malah mengirimiku hadiah?”
Ia pun menjawab, “Benar, engkau telah memberiku hadiah berupa pahala, dan pahala itu kekal. Sedangkan aku memberimu hadiah yang akan lenyap di dunia. Ini adalah bentuk balasan atas hadiahmu kepadaku.”
Perhatikanlah, betapa dalamnya pemahaman para ulama salaf radhiyallahu ‘anhum.
Kesimpulannya, gibah adalah haram dan termasuk dalam dosa-dosa besar. Terutama jika gibah ditujukan kepada para pemimpin, baik dari kalangan penguasa maupun ulama. Menggibahi mereka lebih berat dosanya daripada menggibahi orang-orang biasa.
Gibah terhadap para ulama merendahkan ilmu yang mereka miliki dan yang mereka ajarkan kepada masyarakat, sehingga orang-orang tidak lagi mau menerima ilmu yang mereka sampaikan. Ini membahayakan agama.
Adapun gibah terhadap para penguasa mengurangi wibawa mereka di mata masyarakat, hingga akhirnya masyarakat memberontak kepada mereka. Jika masyarakat memberontak kepada pemimpinnya, maka jangan tanya lagi betapa besar kekacauan yang akan terjadi, sebagaimana dikatakan: “Masyarakat tidak akan baik bila hidup dalam kekacauan tanpa pemimpin, dan tidak ada pemimpin yang layak jika orang bodoh yang memimpin.”
Kami memohon kepada Allah agar Dia melindungi kami dan kalian dari segala yang mendatangkan murka-Nya.
Sesungguhnya Dia Mahapemurah lagi Mahamulia.
Baca juga: KEZALIMAN DAN JENIS-JENISNYA
Baca juga: WASPADA TERHADAP KEZALIMAN DAN KESERAKAHAN
Baca juga: PAHALA BESAR BAGI ORANG YANG MEREALISASIKAN TAUHID
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)