HUKUM BAGIAN TUBUH HEWAN YANG DIPOTONG DARI HEWAN HIDUP

HUKUM BAGIAN TUBUH HEWAN YANG DIPOTONG DARI HEWAN HIDUP

17. Dari Abu Waqqad al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَهُوَ مَيْتٌ

Apa saja yang dipotong dari hewan dalam keadaan hidup, maka itu adalah bangkai.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi. at-Tirmidzi menilainya sebagai hadis hasan. Lafaz ini dari at-Tirmidzi)

PENJELASAN

al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan dalam konteks hadis-hadis yang terdapat dalam Bab Air pada Kitab Thaharah dari Abu Waqqad al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apa saja yang dipotong dari hewan dalam keadaan hidup, maka itu adalah bangkai.”

Maksudnya: Setiap bagian yang dipotong dari hewan dalam keadaan hidup memiliki status seperti bangkai hewan tersebut. Berdasarkan hal ini, apa yang dipotong dari ikan, belalang, dan yang semisalnya adalah suci, karena bangkai hewan-hewan tersebut suci. Apa yang dipotong dari manusia adalah suci, karena bangkai manusia adalah suci. Adapun apa yang dipotong dari kambing, sapi, dan unta adalah najis, karena bangkai hewan-hewan tersebut najis.

Ini adalah sebuah kaidah yang diambil oleh para ulama. Mereka meletakkan dasar-dasarnya dan menguraikan banyak rincian di atasnya.

Salah satu penerapan kaidah ini adalah, misalnya, jika tangan seorang pencuri dipotong, maka tangan tersebut adalah suci, sebagaimana bangkai manusia yang dihukumi suci ketika ia meninggal. Namun, muncul pertanyaan: Apakah bagian tubuh yang dipotong dari manusia tersebut perlu dishalatkan, mengingat statusnya seperti bangkai manusia?

Jawaban: Bagian tubuh yang dipotong dari seseorang selama orang tersebut masih hidup tidak perlu dishalatkan. Hal ini karena, jika tangan seseorang dipotong dan ia tetap hidup, maka bagian tubuh tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang telah terpisah dan mati sehingga perlu dishalatkan. Namun, jika seseorang telah meninggal dunia, seperti dalam kasus seseorang yang wafat di padang pasir dan tubuhnya dimakan binatang buas sehingga yang ditemukan hanya bagian tubuh tertentu seperti tangan atau kaki, maka bagian tersebut perlu dishalatkan. Ini karena bagian tubuh tersebut merupakan bagian dari orang yang meninggal dunia yang belum dishalatkan, sehingga bagian tubuh tersebut perlu dishalatkan.

Jika ditemukan seluruh tubuh seseorang yang meninggal di padang pasir lalu dimakan oleh binatang buas, kemudian tubuh tersebut dishalatkan dan dikuburkan, lalu setelah satu atau dua hari ditemukan bagian tubuhnya, seperti tangan atau kaki, maka bagian tersebut tidak perlu dishalatkan lagi, karena tubuh asalnya sudah dishalatkan.

Berdasarkan hal ini, jika seseorang memotong tangan seekor kambing dalam keadaan hidup, maka tangan tersebut tidak halal baginya, karena kambing itu jika mati (tanpa disembelih secara syar’i) menjadi najis. Oleh karena itu, apa pun yang dipotong darinya juga menjadi najis dan haram, kecuali jika kambing tersebut disembelih secara syar’i, lalu dipotong atau dilepaskan, kemudian seseorang memotong tangan atau kaki darinya sebelum hewan tersebut mati, maka tangan atau kaki tersebut halal. Hal itu karena hewan tersebut telah disembelih (secara syar’i) dan kehidupannya telah berakhir, meskipun tangan atau kaki tersebut dipotong sebelum hewan itu mati. Potongan tersebut berasal dari makhluk hidup, tetapi makhluk hidup yang statusnya seperti mati (karena sembelihan syar’i). Oleh karena itu, tangan atau kaki yang dipotong sebelum hewan sembelihan tersebut mati dianggap halal, karena sembelihan tersebut halal.

Demikian pula, jika seseorang ingin membunuh seekor cicak dan memotong ekornya, maka ekor tersebut tetap dihukumi haram dalam segala keadaan. Selain itu, ekor tersebut juga dihukumi najis, meskipun terus bergerak selama beberapa waktu setelah terpotong. Hal ini karena asalnya —yaitu cicak— adalah bangkai yang najis. Oleh karena itu, setiap bagian yang dipotong darinya juga dihukumi najis.

Jika kaki belalang dipotong, maka kaki tersebut tetap dihukumi suci karena bangkai belalang adalah suci. Demikian pula, jika tangan ikan dipotong—meskipun ikan tersebut berukuran besar—lalu ikan itu kabur, maka tangan ikan yang dipotong tersebut tetap halal, karena bangkai ikan adalah halal.

Yang penting adalah bahwa kaidah ini —yaitu bahwa setiap bagian yang dipotong dari makhluk hidup memiliki status yang sama seperti bangkainya dalam hal kesucian dan kenajisan, serta kehalalan dan keharaman— sangatlah bermanfaat.

Jika ada yang bertanya: Mengapa penulis rahimahullah memasukkan hadis ini dalam Bab Air dari Kitab Thaharah?

Kami katakan: Hal ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa jika sebuah tangan dipotong dalam keadaan hidup dari hewan yang bangkainya suci, kemudian tangan tersebut jatuh ke dalam air dan menyebabkan perubahan pada air, maka air tersebut tetap suci karena berubah oleh sesuatu yang suci. Sebaliknya, jika kaki seekor kambing dipotong dalam keadaan hidup, lalu kaki tersebut jatuh ke dalam air dan menyebabkan perubahan pada air, maka air itu menjadi najis. Hal ini disebabkan potongan dari kambing tersebut adalah najis.

Baca juga: HUKUM BELALANG

Baca juga: HUKUM BANGKAI

Baca juga: IHSAN

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Bulughul Maram Fikih