GHULUW TERHADAP ORANG SHALIH ADALAH AWAL KESYIRIKAN

GHULUW TERHADAP ORANG SHALIH ADALAH AWAL KESYIRIKAN

Kesyirikan pertama kali terjadi di muka bumi disebabkan sikap ghuluw (berlebihan dan melampaui batas) terhadap orang saleh. Ini terjadi di zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam.

Disebutkan dalam kitab ash-Shahih, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang firman Allah Ta’ala:

وَقَالُوْا لَا تَذَرُنَّ اٰلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَّلَا سُوَاعًا ەۙ وَّلَا يَغُوْثَ وَيَعُوْقَ وَنَسْرًا

Dan mereka berkata, ‘Janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan janganlah pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.’”(QS Nuh: 23)

Ibnu Abbas berkata, “Ini adalah nama orang-orang saleh dari kaum Nuh. Ketika mereka meninggal dunia, setan mewahyukan (membisikkan) kepada kaum mereka, ‘Buatlah patung-patung di majelis-majelis mereka yang mereka tempati, dan berilah nama dengan nama-nama mereka.’ Mereka melakukannya dan (patung-patung) itu (awalnya) tidak disembah, hingga ketika mereka meninggal dunia dan ilmu terlupakan, (patung-patung itu) akhirnya disembah.” (HR al-Bukhari)

PENJELASAN

Firman Allah Ta’ala, “Dan mereka berkata.” Maksudnya, mereka berkata satu sama lain.

Firman Allah Ta’ala, “Janganlah sekali-kali kalian meninggakan…” Maksudnya, janganlah kalian meninggalkan.

Firman Allah Ta’ala, “…tuhan-tuhan kalian.” Apakah maksudnya, janganlah kalian meninggalkan penyembahan terhadap tuhan-tuhan kalian, ataukah janganlah kalian membiarkan seorang pun melecehkan tuhan-tuhan kalian?

Jawab: Keduanya dimaksudkan. Maksudnya, tolonglah tuhan-tuhan kalian dan janganlah kalian membiarkan siapa pun melecehkannya. Janganlah kalian membiarkan tuhan-tuhan kalian diusik oleh siapa pun, dan janganlah kalian meninggalkan penyembahan terhadapnya. Sebaliknya, kalian harus gigih menyembahnya.

Perkataan ini termasuk bentuk saling berwasiat melakukan kebatilan. Berbeda dengan orang-orang yang beriman dan mengerjakan ama-amal saleh yang saling berwasiat melakukan kebenaran.

Firman Allah Ta’ala, “Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.” Lima nama berhala ini memiliki keistimewaan di atas yang lainnya, sebab firman-Nya, “tuhan-tuhan kalian” bersifat umum, yang mencakup apa saja yang mereka sembah. Seakan nama-nama ini merupakan nama-nama tuhan terbesar mereka sehingga mereka menyebutnya secara khusus.

Aalihah adalah bentuk jamak dari kata ilaah, artinya apa saja yang disembah, baik secara benar maupun batil. Jika yang disembah adalah Allah, maka benar, dan jika yang disembah selain Allah, maka batil.

Ibnu Abbas. berkata, “Ini adalah nama orang-orang saleh dari kaum Nuh.”

Dalam penafsiran ini terdapat kerumitan. Ibnu Abbas berkata, “Ini adalah nama orang-orang saleh dari kaum Nuh,” sedangkan zahir al-Qur’an menyatakan bahwa orang-orang saleh itu hidup sebelum zaman Nuh.

Allah Ta’ala berfirman:

قَالَ نُوْحٌ رَّبِّ اِنَّهُمْ عَصَوْنِيْ وَاتَّبَعُوْا مَنْ لَّمْ يَزِدْهُ مَالُهٗ وَوَلَدُهٗٓ اِلَّا خَسَارًاۚ وَمَكَرُوْا مَكْرًا كُبَّارًاۚ وَقَالُوْا لَا تَذَرُنَّ اٰلِهَتَكُمْ

Nuh berkata, ‘Ya Rabb-ku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku. Dan mereka mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya hanya menambah kerugian baginya. Dan mereka melakukan tipu daya yang sangat besar.’ Dan mereka berkata, ‘Janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian.” (QS Nuh: 21-23)

Zahir ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa mereka menyembah patung-patung itu, lalu Nuh melarang mereka menyembahnya dan memerintahkan mereka beribadah hanya kepada Allah. Namun mereka tidak memedulikan perintah dan larangan Nuh. Mereka berkata, “Janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian.”

Pendapat orang-orang yang menyebutkan bahwa orang-orang dengan nama-nama tersebut ada sebelum Nuh merupakan pendapat Muhammad bin Ka’b dan Muhammad bin Qais. Inilah pendapat yang rajih (kuat) karena sesuai dengan zahir al-Qur’an.

Kemungkinan pula -hanya saja kemungkinan ini jauh- penyembahan itu terjadi di awal risalah Nuh, lalu orang-orang dengan nama-nama tersebut memenuhi seruan Nuh dan beriman kepadanya. Selang berapa lama, mereka meninggal dunia sebelum Nuh, lalu kaumnya menyembah mereka. Kemungkinan ini jauh, bahkan didasarkan pada atsar dari Ibnu Abbas sekalipun.

Intinya, tafsir ayat ini adalah sebagai berikut: Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr adalah patung-patung kaum Nuh. Pada mulanya, mereka adalah orang-orang saleh. Namun seiring perjalanan waktu, kaum Nuh menyembah mereka ini.

Perkataan Ibnu Abbas, “Setan mewahyukan (membisikkan) kepada kaum mereka.” Maksud wahyu di sini adalah bisikan, bukan wahyu ilham.

Perkataan Ibnu Abbas (menceritakan perkataan setan), “Buatlah patung-patung di majelis-majelis mereka yang mereka tempati.”Anshaab adalah jamak dari kata nushub, yaitu apa saja yang didirikan, bisa berupa tongkat, batu atau yang lainnya.

Perkataan Ibnu Abbas (menceritakan perkataan setan), “Dan berilah nama dengan nama-nama mereka.” Maksudnya, buatlah patung di majelis-majelis mereka dan katakan, “Yang ini Wadd, yang-ini Suwa’, yang ini Yaghuts, yang ini Ya’uq dan yang ini Nasr, agar jika kalian melihat mereka, kalian mengingat ibadah mereka sehingga timbul semangat dalam diri kalian untuk mengikuti ibadah mereka.”

Seperti itulah setan menghiasi perbuatan mereka. Ini adalah tipuan dan bisikan setan seperti yang dikatakan kepada Adam:

هَلْ اَدُلُّكَ عَلٰى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَّا يَبْلٰى

Maukah aku tunjukkan kepada kalian pohon keabadian (khuldi) dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (QS Thaha: 120)

Ketika seseorang hanya mengingat ibadah kepada Allah ketika melihat patung mereka ini, berarti ibadah orang itu tidak sempurna atau bahkan tidak ada sama sekali.

Perkataan Ibnu Abbas, “Mereka melakukannya, dan (patung-patung) itu (awalnya) tidak disembah.” Ibnu Abbas menyebutkan bahwa rentang waktu antara Adam dan Nuh terpaut sepuluh abad. Satu abad setara dengan seratus tahun. Seiring perjalanan waktu yang lama, pertikaian dan perpecahan muncul di antara mereka, lalu Allah mengutus nabi-nabi, seperti yang Allah Ta’ala sampaikan dalam firman-Nya:

كَانَ النَّاسُ اُمَّةً وَّاحِدَةً ۗ فَبَعَثَ اللّٰهُ النَّبِيّٖنَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ ۖ وَاَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيْمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ فِيْهِ اِلَّا الَّذِيْنَ اُوْتُوْهُ مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَتْهُمُ الْبَيِّنٰتُ بَغْيًا ۢ بَيْنَهُمْ ۚ فَهَدَى اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَا اخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِاِذْنِهٖ ۗ وَاللّٰهُ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ

Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (kitab), setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian di antara mereka sendiri. Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.” (QS al-Baqarah: 213)

Demikianlah penafsiran Ibnu Abbas untuk ayat di atas.

Pertanyaan: Apakah tafsirnya hujjah?

Jawab: Dalam menafsirkan pertama-tama kita harus merujuk kepada al-Qur’an, karena al-Qur’an saling menafsirkan. Seperti firman Allah Ta’ala, “Dan tahukah kamu apakah Neraka Hawiyah itu?” (QS al-Qari’ah: 10) ditafsirkan oleh firman-Nya, “(Yaitu) api yang sangat panas.” (QS al-Qari’ah: 11)

Jika kita tidak menemukan penafsiran al-Qur’an di dalam al Qur’an, maka kita beralih ke sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika kita tidak menemukan penafsiran dalam sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kita beralih ke tafsir sahabat. Tafsir sahabat adalah hujah, karena mereka lebih tahu al-Qur’an, karena al-Qur’an turun di masa mereka dan dengan bahasa mereka. Mereka lebih mengetahuinya daripada orang lain. Bahkan, ada sebagian ulama berkata, “Tafsir sahabat hukumnya marfu’” Namun ini tidak benar. Hanya saja, tafsir sahabat menjadi hujah bagi generasi setelahnya.

Apabila para sahabat berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an, maka kita memilih pendapat yang dikuatkan oleh rangkaian ayat. Dan ayat di atas memperkuat apa yang dikatakan Ibnu Abbas. Hanya saja, zahir rangkaian ayat menunjukkan bahwa nama-nama tersebut adalah nama orang-orang saleh sebelum era Nuh. Engkau juga sudah mengetahui mana pendapat yang rajih terkait hal ini.

Atsar ini menunjukkan bahwa kesyirikan pertama kali terjadi di muka bumi disebabkan syubhat terhadap orang-orang saleh. Hal itu karena patung-patung yang disembah kaum Nuh pada mulanya adalah orang-orang saleh, lalu seiring berjalannya waktu muncullah sikap ghuluw (berlebihan dan melampaui batas) terhadap mereka, hingga pada akhirnya mereka disembah selain Allah. Ini mengingatkan agar kita jangan sampai bersikap ghuluw terhadap orang saleh.

Atsar ini juga menunjukkan bahwa perkara yang pertama kali mengubah agama para nabi adalah kesyirikan yang disebabkan sikap ghuluw terhadap orang saleh. Pada mulanya manusia adalah satu umat di atas tauhid, lalu mereka berselisih. Kemudian Allah mengutus para nabi untuk menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Allah Ta’ala menurunkan kitab kepada mereka agar dengan kitab itu mereka memutuskan perkara yang diperselisihkan oleh manusia. Inilah awal mula terjadinya kesyirikan di kalangan anak keturunan Adam.

Baca juga: TERJADINYA SYIRIK DALAM TAUHID ULUHIAH

Baca juga: TIDAK MELAMPAUI BATAS DALAM AGAMA

Baca juga: ASAL-USUL KESYIRIKAN

(Syekh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin)

Akidah