Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
إنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وإنَّ الْبِرَّ يَهدِي إِلَى الْجَنَّةِ. وإنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا. وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهدِي إِلَى النَّارِ. وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa kepada Surga. Sesungguhnya seseorang akan terus berkata jujur hingga dia dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur (shiddiq). Dan sesungguhnya kebohongan membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa kepada Neraka. Sesungguhnya seseorang akan terus berbohong hingga dicatat di sisi Allah sebagai pembohong (kadzdzab).” (Muttafaq ‘alaih)
Dalam riwayat at-Tirmidzi,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ. فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ. وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا. وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ. فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ. وَمَا يَزَالُ الْعَبْدُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Hendaklah kalian selalu jujur. Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa kepada Surga. Seseorang akan terus berkata jujur dan berusaha keras untuk jujur hingga dia dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Dan hendaklah kalian menjauhi kebohongan. Sesungguhnya kebohongan membawa kepada kejahatan, dan kejahatan membawa kepada Neraka. Seseorang akan terus berbohong dan berusaha keras untuk berbohong hingga dicatat di sisi Allah sebagai pembohong (kadzdzab).”
PENJELASAN
Kejujuran
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah kalian selalu jujur.” Yakni pegang teguhlah kejujuran.
Kejujuran adalah kesesuaian antara berita dengan kenyataan. Artinya, ketika kamu menyampaikan berita, berita tersebut harus sesuai dengan kenyataan. Contohnya, jika seseorang bertanya kepadamu, “Hari apa ini?” dan kamu menjawab, “Hari ini adalah hari Rabu” (dan memang benar hari Rabu), itu adalah kejujuran. Namun, jika kamu mengatakan “Hari ini adalah hari Selasa,” itu adalah kebohongan.
Maka, kejujuran adalah kesesuaian antara berita dan kenyataan. Dalam hadis Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan kedua sahabatnya disebutkan tentang keutamaan kejujuran dan baiknya akibat yang ditimbulkan. Orang yang jujur akan mendapatkan akhir yang baik, sedangkan orang yang berbohong amalnya akan sia-sia. Oleh karena itu, sebagian orang awam berkata, “Kebohongan bisa menyelamatkan,” namun saudaranya menjawab, “Kejujuran lebih menyelamatkan dan lebih diharapkan.” Dan ini benar.
Ketahuilah bahwa berita bisa disampaikan melalui lisan maupun anggota badan. Dengan lisan, itu adalah ucapan, sedangkan dengan anggota badan, itu adalah perbuatan. Bagaimana kebohongan bisa terjadi melalui perbuatan? Ketika seseorang melakukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya, maka dia telah berbohong dengan perbuatannya. Misalnya, orang munafik adalah pembohong karena dia menampakkan kepada orang lain bahwa dia adalah seorang mukmin; dia shalat, berpuasa, bersedekah, bahkan mungkin menunaikan haji, tetapi sebenarnya hatinya berbeda. Siapa pun yang melihat perbuatannya akan menilainya sebagai orang yang saleh, tetapi perbuatan-perbuatan itu tidak mencerminkan apa yang ada dalam batinnya, sehingga itu adalah kebohongan.
Oleh karena itu, kami mengatakan bahwa kejujuran bisa dilakukan melalui lisan maupun anggota badan. Jika berita yang disampaikan sesuai dengan kenyataan, maka itu adalah kejujuran lisan. Jika perbuatan anggota badan sesuai dengan apa yang ada di dalam hati, maka itu adalah kejujuran dalam perbuatan.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akibat dari kejujuran ketika beliau memerintahkan untuk jujur. Beliau bersabda, “Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa kepada Surga.”
al-Birr berarti banyaknya kebaikan. Salah satu dari nama-nama Allah adalah a-Barr, yang berarti Dia banyak memberikan kebaikan dan kemurahan, Maha Mulia, dan Maha Agung.
al-Birr berarti banyaknya kebaikan, dan ia adalah salah satu hasil dari kejujuran. Dalam sabdanya, “Sesungguhnya al-birr membawa kepada Surga,” maka orang yang memiliki al-birr – kita memohon kepada Allah agar kita termasuk dari mereka – al-birr-nya akan membimbingnya menuju Surga. Dan Surga adalah tujuan dari setiap permintaan. Oleh karena itu, manusia diperintahkan untuk memohon kepada Allah Surga dan berlindung kepada-Nya dari Neraka.
فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke Surga, sungguh dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS Ali ‘lmran: 185)
Dan sabdanya, “Sesungguhnya seseorang akan terus berkata jujur hingga dia dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur (shiddiq).” Dalam sebuah riwayat: “Seseorang akan terus berkata jujur dan berusaha keras untuk jujur hingga dia dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur (shiddiq).”
Shiddiq berada pada peringkat kedua dari tingkatan-tingkatan makhluk yang diberi nikmat oleh Allah, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَعَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّٰلِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُو۟لَٰٓئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), mereka akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS an-Nisa’: 69)
Maka, seseorang yang berusaha untuk jujur akan dicatat di sisi Allah sebagai seorang shiddiq. Diketahui bahwa kedudukan shiddiq adalah derajat yang agung yang hanya dicapai oleh segelintir orang di antara manusia. Kedudukan ini bisa dimiliki oleh laki-laki maupun perempuan, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
مَّا ٱلْمَسِيحُ ٱبْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ ٱلرُّسُلُ وَأُمُّهُۥ صِدِّيقَةٌ
“al-Masih putra Maryam hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul. Dan ibunya adalah seorang shiddiqah (yang berpegang teguh pada kebenaran).” (QS al-Ma’idah: 75)
Orang yang paling utama dari orang-orang yang jujur (shiddiqin) secara mutlak adalah orang yang paling jujur di antara mereka, yaitu Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Dia adalah Abdullah bin Utsman bin Abi Quhafah, yang segera menerima ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau mengajak kepada Islam, tanpa ada keraguan sedikit pun dan tanpa henti. Begitu Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajaknya kepada Islam, dia langsung masuk Islam dan membenarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kaumnya mendustakan beliau. Dia juga membenarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peristiwa Isra dan Mi’raj, sementara orang-orang mendustakan beliau dan berkata, “Bagaimana mungkin engkau, wahai Muhammad, pergi dari Makkah ke Baitul Maqdis dan kembali dalam satu malam, kemudian berkata, ‘Sesungguhnya aku telah naik ke langit’? Ini tidak mungkin terjadi.” Mereka kemudian pergi ke Abu Bakar dan berkata, “Apakah engkau mendengar apa yang dikatakan oleh sahabatmu?” Abu Bakar bertanya, “Apa yang dikatakannya?” Mereka menjawab, “Dia berkata begini dan begini.” Abu Bakar berkata, “Jika dia berkata begitu, maka dia benar.” Sejak hari itu, Abu Bakar diberi gelar as-Shiddiq (yang jujur). Semoga Allah meridhainya.
Kebohongan
Adapun kebohongan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian menjauhi kebohongan.”
Kata “إيَّاكم” digunakan untuk memperingatkan, artinya: waspadalah terhadap kebohongan.
Kebohongan adalah memberitakan sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan, baik melalui ucapan maupun perbuatan.
Seseorang dikatakan berbohong melalui ucapan jika tidak ada kesesuaian antara ucapan dan kenyataan. Misalnya, jika seseorang bertanya kepadamu, “Hari apa ini?” dan kamu menjawab, “Hari ini adalah hari Kamis” atau “Hari Selasa” (padahal sebenarnya hari Rabu), maka ini adalah kebohongan melalui ucapan karena tidak sesuai dengan kenyataan; karena hari ini sebenarnya adalah hari Rabu.
Seseorang dikatakan berbohong dengan perbuatan jika dia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang ada di hatinya. Orang-orang munafik dikatakan berbohong dengan perbuatan karena mereka menampakkan kepada orang lain bahwa mereka beriman, mengerjakan salat berjamaah, berpuasa, bersedekah, menunaikan haji, dan melakukan kesalehan lainnya, padahal batin mereka sebenarnya kafir.
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya kebohongan membawa kepada kepada kejahatan (fujur).”
Fujur adalah keluar dari ketaatan kepada Allah, karena seseorang berbuat dosa, melampaui batas, dan keluar dari ketaatan kepada Allah menuju kemaksiatan kepada-Nya.
Kejahatan terbesar adalah kekufuran – kita berlindung kepada Allah dari itu – karena orang-orang kafir adalah orang-orang yang jahat, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ
“Mereka itulah orang-orang kafir yang durhaka.” (QS ‘Abasa: 42)
Dan Allah Ta’ala berfirman:
كَلَّآ اِنَّ كِتٰبَ الْفُجَّارِ لَفِيْ سِجِّيْنٍۗ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا سِجِّيْنٌۗ كِتٰبٌ مَّرْقُوْمٌۗ وَيْلٌ يَّوْمَىِٕذٍ لِّلْمُكَذِّبِيْنَۙ الَّذِيْنَ يُكَذِّبُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ
“Sekali-kali janganlah bergitu! Sesungguhnya kitab orang yang durhaka tersimpan dalam Sijjin. Tahukah kamu apakah Sijjin itu? (Ialah) kitab yang bertulis. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, (yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan.” (QS al-Muthaffifin: 7-11)
Dan Allah Ta’ala berfirman:
وَّاِنَّ الْفُجَّارَ لَفِيْ جَحِيْمٍ
“Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam Neraka.” (QS al-Infithar: 14)
Maka, kebohongan membawa kepada kejahatan (fujur), dan kejahatan (fujur) membawa kepada Neraka. – Kita berlindung kepada Allah darinya -.
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya seseorang akan terus berbohong hingga dicatat di sisi Allah sebagai pembohong (kadzdzab).” Dalam riwayat lain, “Seseorang akan terus berbohong dan berusaha keras untuk berbohong hingga dicatat di sisi Allah sebagai pembohong (kadzdzab).”
Kebohongan adalah salah satu perkara yang diharamkan. Bahkan, sebagian ulama berpendapat bahwa berbohong termasuk dosa besar karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam bahwa orang yang berbohong akan dicatat di sisi Allah sebagai pembohong.
Salah satu bentuk kebohongan yang sangat besar adalah apa yang dilakukan oleh sebagian orang hari ini, yaitu menyampaikan perkataan yang mereka ketahui sebagai kebohongan hanya untuk membuat orang lain tertawa. Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan ancaman atas perbuatan ini,
وَيْلٌ لِمَنْ حَدَّثَ فَكَذَبَ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ. وَيْلٌ لَهُ. ثُمَّ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah orang yang berbicara lalu berbohong agar orang-orang tertawa! Celakalah dia! Celakalah dia!” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad)
Ini adalah ancaman yang sangat keras atas suatu perkara yang dianggap remeh oleh banyak orang.
Maka, kebohongan dalam segala bentuknya adalah haram, dan semuanya membawa kepada kejahatan (fujur), tanpa pengecualian.
Disebutkan dalam hadis bahwa ada tiga hal yang dikecualikan dari larangan berbohong: dalam peperangan, untuk mendamaikan pihak-pihak yang sedang bertikai, dan ucapan seorang istri kepada suaminya atau ucapan seorang suami kepada istrinya (HR al-Bukhari dan Muslim). Namun, sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kebohongan dalam hadis ini adalah tauriyyah, yaitu penyampaian kata-kata yang memiliki dua makna, di mana yang dimaksud adalah makna yang benar, dan bukan kebohongan yang jelas.
Dan dikatakan bahwa tauriyyah kadang-kadang disebut sebagai kebohongan, seperti dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَمْ يَكْذِبْ إِبْرَاهِيمُ النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلَام قَطُّ إِلَّا ثَلَاثَ كَذَبَاتٍ: ثِنْتَيْنِ فِي ذَاتِ اللَّهِ قَوْلُهُ {إِنِّي سَقِيمٌ} وَقَوْلُهُ {بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا}. وَوَاحِدَةٌ فِي شَأْنِ سَارَةَ
“Ibrahim ‘alaihissalam tidak berbohong kecuali dalam tiga hal. Dua di antaranya berkaitan dengan Zat Allah, yaitu perkataannya, ‘Sesungguhnya aku sakit,’ dan perkataannya, ‘…tetapi berhala yang paling besar itulah yang melakukannya.’ Sedangkan yang satu lagi adalah ketika beliau berbicara tentang keadaan Sarah…” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Sesungguhnya Ibrahim tidak berbohong, melainkan dia berbicara dengan tauriyyah di mana dia berada dalam kebenaran.
Baik itu yang satu ataupun yang lain, kebohongan tidak diperbolehkan kecuali dalam tiga hal ini menurut pendapat banyak ulama. Namun, sebagian ulama mengatakan bahwa kebohongan tidak diperbolehkan sama sekali, baik dalam bercanda, serius, atau jika melibatkan pengambilan harta orang lain.
Kebohongan yang paling parah adalah berbohong dan bersumpah untuk mengambil harta orang lain secara batil. Contohnya: Seseorang dituduh memiliki kewajiban terhadap orang lain, tetapi dia mengingkarinya dan berkata, “Demi Allah, kamu tidak memiliki hak apapun terhadapku,” atau dia mengklaim sesuatu yang bukan miliknya dengan berkata, “Aku memiliki ini dan itu padamu,” padahal dia berbohong. Jika dia bersumpah atas klaimnya dan berbohong, maka itu adalah sumpah palsu (al-yamin al-ghamus) yang menenggelamkan pelakunya dalam dosa, kemudian menenggelamkannya dalam Neraka. – Kita berlindung kepada Allah darinya -.
Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda,
مَنْ حَلَفَ يَمِينَ صَبْرٍ لِيَقْتَطِعَ بِهَا مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، لَقِيَ اللَّهَ وَهْوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ
“Barangsiapa bersumpah dengan sumpah palsu untuk mengambil harta seorang muslim dengan cara yang batil, maka ia akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan Allah murka kepadanya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa kebohongan adalah haram. Seseorang tidak diperbolehkan untuk berbohong dalam keadaan apa pun, baik dalam bercanda maupun serius, kecuali dalam tiga perkara, dengan adanya perbedaan pendapat di antara para ulama tentang makna hadis yang telah disebutkan sebelumnya.
Baca juga: TIDAK BOLEH MENCELAKAI SESAMA MUSLIM
Baca juga: PENGERTIAN AHLI SUNAH WALJAMAAH
Baca juga: PENYEBAB LEMAH IMAN
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)