Para ulama membagi amal ibadah orang yang masih hidup yang bermanfaat bagi orang yang sudah mati menjadi dua macam, yaitu amal ibadah badan dan amal ibadah harta.
Amal ibadah badan adalah amal ibadah yang dilakukan dengan fisik. Amal ibadah harta adalah amal yang dilakukan dengan mendermakan harta.
Mengenai sampainya pahala amalan-amalan tersebut kepada orang yang sudah mati, para ulama membuat sebuah kaidah: “Pahala amal akan sampai kepada orang yang mati apabila ada dalil yang menetapkannya.”
Di antara amal ibadah badan orang yang masih hidup yang bermanfaat bagi orang yang sudah mati adalah sebagai berikut:
1. Mengurus Jenazahnya
Mengurus jenazah adalah dengan memandikan dan mengafaninya. Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar rahimahullah membantah pihak yang berpendapat bahwa orang yang telah mati tidak mendapatkan manfaat dari amal orang yang masih hidup dengan berdalilkan ayat,
وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰى
“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS an-Najm: 39)
Mereka juga berdalil dengan hadis yang menyatakan tiga amal saleh yang tidak terputus ketika ajal sudah menjemput seseorang.
Berikut adalah bantahan Ibnu Hajar, “Mengafani orang mati saat menunaikan haji dengan dua helai kain ihramnya dengan membiarkan ia dalam keadaan berihram merupakan amal orang yang masih hidup setelah kematian orang yang mati. Amalan ini tidak berbeda dengan memandikan dan menyalatkannya. Hal ini didukung oleh penjelasan Ibnul Munayyir di dalam Hasyiyah-nya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang para syuhada, ‘Selimutilah mereka bersama darah mereka sendiri!’ Jadi, pendapat tersebut keliru. Kesimpulannya adalah amal ibadah orang yang masih hidup bermanfaat bagi orang yang telah mati.”
Dengan demikian, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Selimutilah mereka bersama darah mereka sendiri,” harus dipahami bahwa ini merupakan amal ibadah orang hidup yang bermanfaat bagi orang sudah mati.
Ibnu Abul Izz rahimahullah juga menulis sanggahan, “Adapun argumentasi mereka dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Apabila seseorang meninggal dunia (wafat), maka terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.’ (HR Muslim) adalah keliru. Sebab beliau tidak menyatakan, ‘Terputuslah perolehan manfaat amal salehnya,’ tetapi hanya ‘Terputuslah seluruh amal salehnya’. Sedangkan amal saleh orang lain yang masih hidup menjadi milik pelakunya. Jika dia menghibahkan pahala amalnya kepada orang yang telah mati, maka pahala amal itu tersampaikan. Jadi, yang sampai bukan pahala amal pribadinya. Ini seperti utang seseorang yang dilunasi oleh orang lain, hingga orang yang berutang terbebas dari tanggungan. Hanya saja, dalam analogi ini dia tidak memiliki uang yang dapat dimanfaatkan untuk melunasi utang tadi.”
2. Menyalatkan Jenazahnya
Dalil-dalil pensyariatannya antara lain adalah:
Dari ar-Rubayyi binti Mu’awwidz radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلُّوا عَلَى جَنَازَةٍ فَأَثْنَوْا خَيْرًا، يَقُوْلُ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: أَجَزْتُ شَهَادَتَهْمْ فِيمَا يَعْلَمُونَ وَأَغْفِرُ لَهُ مَالَا يَعْلَمُونَ
“Jika mereka menyalatkan jenazah dan memujinya dengan kebaikan, maka Rabb ‘Azza wa Jalla berfirman: ‘Aku luluskan kesaksian mereka sesuai dengan yang mereka ketahui. Dan Aku ampuni dosa-dosanya yang tidak mereka ketahui.’” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir. Lihat as-Silsilah ash-Shahihah)
Dari Ummul Mukminin Maimunah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepadaku,
مَا مِنْ مَيِّتٍ يُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ لنَّاسِ إِلَّا شُفِّعُوا فِيْهِ
“Tidaklah jenazah disalatkan oleh sejumlah umat (orang) kecuali syafaat mereka untuknya akan diterima.”
Aku (perawi, yaitu Abu Bakr al-Hakam bin Farrukh) menanyakan maksud ‘ummah’ kepada Abul Malih. Dia menjawab, “Maksudnya adalah sejumlah empat puluh orang.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh an-Nasa-i. Lihat Shahih Sunan an-Nasa-i dan Shahih at-Targhib wa at-Tarhib)
3. Berpuasa untuknya
Di antara amal badan orang hidup yang bermanfaat bagi orang yang sudah mati adalah berpuasa atas nama orang yang mati. Hal ini berdasarkan hadis-hadis berikut:
Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Ketika aku sedang duduk di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang perempuan datang dan berkata, “Aku telah menyedekahkan seorang budak perempuan kepada ibuku, namun sekarang ibuku telah meninggal.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَجَبَ أَجْرُكِ، وَرَدَّهَا عَلَيْكِ فِي الْمِيرَاثُ
“Kamu berhak mendapatkan pahala, dan budak perempuan tersebut kembali kepadamu sebagai warisan.”
Perempuan itu kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, ibuku memiliki utang puasa selama satu bulan. Bolehkah aku berpuasa menggantikan puasanya?”
Beliau menjawab,
صُوْمِيْ عَنْهَا
“Berpuasalah atas nama ibumu!” (HR Muslim)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa seorang perempuan bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ibuku telah meninggal. Dia memiliki tanggungan puasa satu bulan. Apakah boleh aku mengkada puasanya?”
Nabi balik bertanya,
أَرَأَيْتَكِ لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ كُنْتِ تَقْضِينَهُ
“Bagaimana jika ibumu memiliki utang, apakah kamu akan melunasi utangnya?”
Perempuan tersebut menjawab, “Tentu saja.”
Beliau bersabda,
فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى
“Utang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Baihaqi. Lihat Shahih Abu Dawud)
Wali orang yang mati dibolehkan memilih antara berpuasa atas nama mayit atau memberi makan orang miskin. Hadis-hadis tentang berpuasa atas nama mayit telah disebutkan, adapun hadis-hadis tentang memberi makan orang miskin antara lain:
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ أُطْعِمَ عَنْهُ
“Barangsiapa meninggal dunia, sedangkan dia mempunyai tanggungan puasa, maka walinya memberi makanan sebagai gantinya.” (HR Abdurrazzaq dan Abu Dawud. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Shahih Abu Dawud)
Sebagian ulama, di antaranya Ahmad dan Ishaq berkata, “Jika mayit memiliki nazar puasa, maka walinya harus berpuasa untuknya. Jika mayit wajib mengkada puasa Ramadan, maka walinya harus memberi makan, sebagai ganti puasanya.”
Pengertian ini pula yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas tentang puasa Ramadan, “Wali mayit harus memberi makan untuk mengganti puasanya.” Sedangkan tentang puasa nazar, Ibnu Abbas berkata, “Wali orang yang telah meninggal harus mengkada puasanya.”
Dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Jika seorang laki-laki meninggal dunia, sedangkan dia masih mempunyai kewajiban berpuasa Ramadan, maka wali laki-laki tersebut harus memberi makan orang miskin pada setiap harinya sebanyak setengah sha’ gandum, sebagai ganti atau kadanya.” (HR Abdurrazzaq)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Seandainya hadis tentang memberi makan orang miskin berstatus sahih, maka hadis ini dapat digabung dengan hadis-hadis lain, sehingga mengkada puasa dan memberi makan dapat dilakukan. Hal itu karena pihak yang berpendapat boleh berpuasa juga berpendapat boleh memberi makan. Jadi jelaslah bahwa yang benar adalah boleh berpuasa dan boleh memberi makan. Wali mayit boleh memilih di antara keduanya.”
4. Berhaji untuknya
Di antara amal badan orang hidup yang bermanfaat bagi orang yang sudah mati adalah berhaji untuk orang yang telah mati. Dalilnya antara lain adalah:
Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan tentang puasa: Perempuan itu selanjutnya berkata, “Sesungguhnya ibuku belum menunaikan haji sama sekali, apakah aku boleh menunaikan haji untuk menggantikannya?”
Beliau bersabda,
حُجِّي عَنْهَا
“Lakukan haji atas namanya!” (HR Muslim)
5. Mendoakannya
Terdapat beberapa hadis sahih dalam sunah dan atsar yang menganjurkan berdoa bagi orang yang sudah mati. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila seseorang meninggal dunia (wafat), maka terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kami kematian an-Najasyi, Raja Habasyah, pada hari ajalnya. Beliau bersabda,
اِسْتَغْفِرُوْا لِأَخِيْكُمْ
“Mohonkanlah ampun untuk saudara kalian!’” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai memakamkan jenazah, beliau berdiri di atas kuburnya, lalu bersabda,
اِسْتَغْفِرُوْا لِأَخِيْكُمْ وَسَلُوْالَهُ بِالتَثْبِيْتِ، فَإِنَّهُ الآ نَ يُسْأَلُ
“Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian dan mintakanlah (kepada Allah) agar dia diberi keteguhan, karena sekarang dia sedang ditanya.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Lihat Shahih Abu Dawud)
Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.’” (QS al-Hasyr: 10)
Ini adalah doa orang-orang beriman generasi setelah generasi sahabat kepada seluruh kaum mukminin dari kalangan sahabat pendahulu mereka yang telah mati dan orang-orang beriman sebelum dan sesudah mereka.
6. Memberi Kesaksian yang Baik baginya
Dalilnya adalah hadis dari Abul Aswad, dia berkata: Aku tiba di Madinah dan duduk di dekat Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu. Tidak lama kemudian satu jenazah diusung di hadapan orang-orang. Mereka memuji jenazah itu sebagai orang baik. Umar berkata, “Wajib.”
Setelah itu lewat jenazah lain di hadapan mereka. Mereka memujinya sebagai orang baik. Umar berkata, “Wajib.”
Setelah itu lewat jenazah ketiga di hadapan mereka. Mereka mencelanya sebagai orang jahat. Umar berkata, “Wajib.”
Abul Aswad melanjutkan: Mendengar perkataan Umar, aku bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apa maksud perkataan wajib tadi?”
Umar menjawab, “Aku mengatakan itu seperti yang pernah disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
شَهِدَ لَهُ أَرْبَعَةٌ بِخَيْرٍ، أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ
‘Muslim mana saja yang dinyatakan baik oleh empat orang sesamanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam Surga.’
Kami (para sahabat) bertanya, ‘Bagaimana jika tiga orang?’
Beliau menjawab,
وَثَلَاثَةٌ
‘Dan oleh tiga orang juga demikian.’
Kami bertanya lagi, ‘Bagaimana jika oleh dua orang?’
Beliau pun menjawab,
وَاثْنَانِ
‘Dan oleh dua orang juga demikian.’
Kemudian kami (para sahabat) tidak bertanya jika hanya oleh satu orang. (HR al-Bukhari)
7. Melaksanakan Nazarnya
Disunahkan bagi wali orang yang telah mati untuk melaksanakan nazarnya supaya dia terbebas dari kewajiban tersebut.
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa seorang perempuan menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengabarkan bahwa saudarinya bernazar melakukan puasa sebulan, tetapi dia meninggal ketika mengarungi lautan dan belum sempat berpuasa.
Beliau menjawab,
صُوْمِيْ عَنْ أُخْتِكِ
“Berpuasalah atas nama saudara perempuanmu!” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir. Lihat as-Silsilah al-Mukhtasharah)
Demikianlah amal-amal badan orang yang hidup yang bermanfaat bagi orang yang telah mati, dan pahalanya akan sampai kepadanya.
Baca juga: ORANG MATI MENDAPATKAN MANFAAT DARI AMAL IBADAH ORANG HIDUP
Baca juga: AMAL HARTA ORANG HIDUP YANG BERMANFAAT BAGI ORANG MATI
Baca juga: FITNAH HARTA DUNIA
Baca juga: TERAPI LEMAH IMAN
(Fahd bin Abdurrahman asy-Syuwaib)