AMAL HARTA ORANG HIDUP YANG BERMANFAAT BAGI ORANG MATI

AMAL HARTA ORANG HIDUP YANG BERMANFAAT BAGI ORANG MATI

Salah satu bukti nyata keluasan karunia Allah Ta’ala adalah orang yang sudah mati mendapatkan manfaat dari amal ibadah orang yang masih hidup. Para ulama membagi amal ibadah orang yang masih hidup yang bermanfaat bagi orang yang telah mati menjadi dua macam, yaitu amal ibadah badan dan amal ibadah harta. Amal ibadah harta adalah amal yang dilakukan dengan mendermakan harta, seperti bersedekah, melunasi utang, dan menyembelih hewan kurban. Ibadah-ibadah ini bermanfaat bagi orang yang mati dan pahalanya sampai kepadanya berdasarkan hadis-hadis yang diriwayatkan secara sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amal-amal ibadah harta tersebut di antaranya adalah:

1. Sedekah secara Umum

Ahli sunah waljamaah berpendapat bahwa pahala sedekah yang dihadiahkan kepada orang yang sudah mati akan sampai kepadanya, berdasarkan keumuman hadis-hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentangnya. Dalil yang dijadikan landasan hukum adalah hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha:

Seorang laki-laki mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ibuku meninggal secara mendadak. Menurutku, seandainya ia masih sempat berbicara, ia pasti bersedekah. Bolehkah aku bersedekah untuknya?”

Beliau menjawab,

نَعَمْ، فَتَصَدَّقِيْ عَنْهَا

Ya. Bersedekahlah atas nama ibumu.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud)

Dalam hadis ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakui dan membenarkan sedekah yang dikeluarkan atas nama orang yang telah mati. Dengan demikian, orang yang telah mati mendapatkan manfaat dari sedekah yang dikeluarkan oleh orang yang masih hidup atas namanya.

Perihal sampainya pahala sedekah amal tersebut para ulama telah sepakat. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila seseorang meninggal dunia (wafat), maka terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.” (HR Muslim)

2. Sedekah Memberi Minum

Dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia. Sedekah apakah yang paling utama?”

Beliau menjawab,

الْمَاءِ

Memberi air minum.”

Kemudian Sa’ad menggali sumur dan berkata, “Sumur ini pahalanya untuk Ummu Sa’ad.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud. Dalam Shahih at-Targhib hadis ini dinilai hasan lighairihi)

3. Sedekah Memberi Makan

Sedekah memberi makan dapat disamakan dengan sedekah memberi minum. Hal itu berdasarkan keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “maka terputuslah seluruh amalannya kecuali tiga: sedekah jariah…” (HR Muslim)

Hadis yang menganjurkan sedekah memberi makan sangat banyak, seperti hadis dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ajaran Islam apakah yang paling baik?”

Beliau menjawab,

 تُطْعِمُ الطَّعَامَ

Engkau memberi makan.” (HR al-Bukhari)

Sedekah seperti ini pahalanya akan sampai kepada orang yang telah meninggal, dan pahala yang diterima pun sangat besar. Ini termasuk sedekah yang dianjurkan Nabi, sebagaimana disebutkan dalam hadis Aisyah di atas, “Bersedekahlah atas nama ibumu.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud)

Memberi makan termasuk ke dalam kategori bersedekah secara umum.

4. Memberi Makan Orang yang Berbuka Puasa

Termasuk sedekah memberi makan adalah memberi jamuan berbuka bagi orang-orang yang berpuasa, khususnya bagi orang-orang yang tidak memiliki makanan untuk berbuka puasa, seperti yang banyak terjadi di berbagai negara Islam dewasa ini.

5. Memerdekakan Budak

Telah sahih dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia memerdekakan budak laki-laki milik saudaranya, Abdurrahman. Atsar ini disebutkan oleh Ibnu Baththal dalam ‘Umdatul Qari Syarh Shahih al-Bukhari.

Ibnu Baththal juga berkata, “Dalil lain tentang bersedekah dengan memerdekakan budak adalah hadis dari Sa’ad bin Ubadah, dia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Ibuku telah meninggal dunia, apakah akan bermanfaat baginya apabila aku memerdekakan budak untuknya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tentu.’”

Ibnu Baththal menegaskan, “Dalil penguatnya adalah tindakan Aisyah memerdekakan budak Abdurrahman.”

6. Melunasi Hutangnya

Inilah amal ibadah harta yang sangat bermanfaat bagi orang yang telah mati. Hal itu berdasarkan hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نَفْسُ الْـمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّىٰ يُقْضَى عَنْهُ

Jiwa anak Adam selalu tergantung karena utangnya sampai utangnya dilunasi.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibnu Majah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wali orang yang telah mati untuk melunasi utang si mayit, seperti sabda beliau kepada Sa’ad bin al-Athwal radhiyallahu ‘anhu,

إِنَّ أَخَاكَ مُحْتَبَسٌ بِدَيْنِهِ، فَاقْضِ عَنْهُ

Sesungguhnya saudaramu tertahan karena utangnya. Oleh karena itu, lunasilah utangnya.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Lihat Shahih Sunan Ibnu Majah dan Ahkam al-Jana-iz)

7. Wakaf Harta

Sahnya wakaf harta didasarkan pada hadis dari Abu Habibah ath-Tha-i, dia berkata, “Saudaraku berwasiat kepadaku agar mewakafkan sebagian hartanya. Maka aku menemui Abud Darda dan berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya saudaraku berwasiat kepadaku supaya mewakafkan sebagian hartanya. Menurutmu, ke manakah aku harus menyalurkannya? Apakah kepada fakir miskin, ataukah kepada orang yang berjihad di jalan Allah?’

Abud Darda menjawab, ‘Seandainya aku yang berwasiat, niscaya aku tidak akan menyamakan mereka dengan para mujahidin.’” (HR at-Tirmidzi. at-Tirmidzi berkata, “Hadis ini hasan sahih.”)

Maksudnya, aku hanya memberikan kepada orang-orang yang berjihad.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ibunda Sa’ad bin Ubadah meninggal ketika Sa’ad sedang tidak di tempat. Setelah kembali, Sa’ad berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat ketika aku sedang tidak ada di sisinya. Apakah bermanfaat baginya jika aku bersedekah untuknya?”

Beliau menjawab, “Tentu saja.”

Sa’ad berkata, “Kalau begitu, aku menjadikan engkau sebagai saksi bahwa kebunku, al-Mikhraf telah kusedekahkan atas namanya.” (HR al-Bukhari)

8. Berkurban untuknya

Berkurban hukumnya wajib atas umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mampu. Berkurban juga wajib bagi orang yang sebelum wafat ia berwasiat kepada kerabatnya agar berkurban dengan menggunakan hartanya. Demikianlah yang disepakati para ulama. Para ulama berselisih pendapat tentang sahnya kurban untuk si mayit yang sebelum meninggal tidak berwasiat demikian. Dan pendapat yang benar adalah bahwa hukum kurban tersebut adalah sah.

Sahnya berkurban dalam hal ini berdasarkan beberapa dalil berikut:

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mengerjakan salat Idul Adha bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seusai salat, seekor kibas dibawa ke hadapan kami. Lalu beliau menyembelihnya dengan membaca,

بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ، هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي

Dengan nama Allah, Allah Mahabesar. Ya Allah, ini adalah kurban untukku dan untuk umatku yang belum berkurban.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud dan Shahih Sunan at-Tirmidzi)

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu tentang penyembelihan dua kibas. Ketika menyembelih salah satunya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, ini adalah kurban dari seluruh umatku.” Pada penyembelihan kibas lainnya beliau berdoa, “Ya Allah, ini adalah kurban dari Muhammad dan keluarga Muhammad.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah. Sedangkan riwayat Ibnu Majah disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam al-Irwa’ al-Ghalil.

Dalam hal ini, Ibnu Abul Izz al-Hanafi menjelaskan, “Salah satu pendekatan diri dalam ibadah kurban adalah dengan mengalirkan darah hewan yang disembelih, dan terkadang hal ini dilakukan atas nama orang lain.”

Menurutku, perkataan Ibnu Abul Izz di atas, yaitu ‘atas nama orang lain’ mencakup orang yang masih hidup dan orang yang telah mati, berdasarkan keumuman dalil yang ada. Makna ini ditunjukkan oleh sabda beliau, “Ya Allah, ini adalah kurban dari seluruh umatku.” Sebab umat beliau mencakup orang yang masih hidup dan orang yang sudah mati. Wallahu a’lam.

Berdasarkan pengertian ini, aku tegaskan bahwa diperbolehkan berkurban bagi orang yang telah mati, dengan salah satu dari dua syarat berikut:

Pertama: Sewaktu masih hidup, ia berwasiat agar berkurban dengan menggunakan harta pribadinya. Kedua: Orang yang masih hidup melibatkan orang yang telah mati pada niat berkurban, seperti yang ditunjukkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Allah, ini adalah kurban dariku dan dari umatku yang belum berkurban.”

Perhatian: Berkurban untuk orang yang telah mati atas inisiatif orang yang masih hidup dan tidak memenuhi salah satu dari dua syarat di atas tidak ada dalilnya. Wallahu a’lam.

9. Membangun Masjid

Membangun masjid termasuk sedekah jariah yang akan bermanfaat bagi orang yang telah mati bila pahala pembangunannya dihadiahkan untuknya.

Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa yang diketuai al-Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengeluarkan fatwa bahwa membantu mendanai pembangunan masjid atau membantu secara fisik termasuk sedekah jariah bagi orang yang memberikannya atau meniatkannya untuk orang lain dengan syarat niatnya baik dan harta yang disedekahkan adalah halal.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mendorong atau menganjurkan pembangunan masjid. Dalilnya antara lain adalah hadis dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ مِثْلَهُ فِي الْجَنَّةِ

Barangsiapa membangun masjid karena mengharap wajah (keridaan) Allah, niscaya Allah akan mendirikan untuknya bangunan yang serupa di Surga.” (HR al-Bukhari)

Juga hadis dari Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ بَنَى مَسْجِدًا يُذْكَرُ فِيهِ اسْمُ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ

Barangsiapa membangun masjid agar nama Allah dikumandangkan di dalamnya (untuk berdzikir), niscaya Allah akan mendirikan istana di Surga untuknya.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Lihat Shahih Sunan Ibnu Majah)

10. Melaksanakan Nazarnya

Melaksanakan nazar orang yang telah mati, apa pun bentuknya, selama diperbolehkan syariat adalah amal ibadah harta yang bermanfaat bagi orang mati tersebut. Hal itu berdasarkan hadis dari Ibnu Abbas, bahwasanya Sa’ad bin Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berkata, “Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, sedangkan ia mempunyai nazar yang belum dilaksanakan.”

Beliau bersabda,

 اقْضِهِ عَنْهَا

Laksanakanlah nazarnya!” (HR al-Bukhari)

Ibnu Abdul Bar berkata, “Bernazar diperbolehkan, sebab Sa’ad bin Ubadah berkata bahwa ibunya bernazar dan Nabi mendengarkan serta tidak mengingkarinya. Justru beliau memerintahkannya melaksanakan nazar itu. Jadi, tidak ada perbedaan pendapat tentang pembolehan bernazar.”

Kemudian Ibnu Abdul Bar berkata, “Pendapat yang paling kuat adalah nazar dalam hal ini bersifat mutlak atau umum. Apabila yang dimaksud dengannya adalah nazar tertentu, pasti Nabi meminta penjelasan kepada Sa’ad bin Ubadah tentang apa yang dinazarkan oleh ibundanya.”

Baca juga: ORANG MATI MENDAPATKAN MANFAAT DARI AMAL IBADAH ORANG HIDUP

Baca juga: AMAL BADAN ORANG HIDUP YANG BERMANFAAT BAGI ORANG MATI

Baca juga: ORANG MATI DIIKUTI OLEH TIGA HAL

Baca juga: TAFSIR SURAT AT-TIN

(Fahd bin Abdurrahman asy-Syuwaib)

Kelembutan Hati