Allah Ta’ala mengangkat Syu’aib sebagai nabi dan mengutusnya kepada penduduk Madyan. Selain menyekutukan Allah, penduduk Madyan curang dalam muamalah, yaitu mengurangi takaran dan timbangan.
Nabi Syu’aib menyeru mereka agar mereka mentauhidkan Allah, melarang mereka dari perbuatan syirik, memerintahkan mereka berlaku adil dalam muamalah, dan melarang mereka berbuat curang dalam muamalah. Syu’aib mengingatkan mereka dengan kebaikan-kebaikan dan rezeki yang bermacam-macam yang telah Allah Ta’ala anugerahkan kepada mereka sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk menzalimi orang lain. Syu’aib menakut-nakuti mereka dengan azab yang akan menimpa mereka di dunia sebelum di akhirat. Syu’aib berkata, “Wahai kaumku, penuhilah takaran dan timbangan dengan adil. Janganlah kalian merugikan orang lain terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kalian melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan. Sisa (yang halal) dari Allah adalah lebih baik bagi kalian, jika kalian orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorang penjaga atas diri kalian.” (QS Hud: 85-86)
Ucapan Syu’aib, “Sisa (yang halal) dari Allah adalah lebih baik bagi kalian.” Maksudnya, rezeki yang Allah berikan kepada kalian adalah lebih baik bagi kalian daripada harta yang kalian rampas dari orang lain dengan mengurangi takaran dan timbangan. Harta yang sedikit tetapi halal adalah lebih baik daripada harta yang banyak tetapi haram.
Ucapan Syu’aib, “Dan aku bukanlah seorang penjaga atas diri kalian.” Maksudnya, lakukanlah apa yang aku perintahkan kepada kalian demi mencari wajah Allah dan mengharap pahala-Nya, bukan agar aku atau orang lain melihat kalian melakukannya.
Mereka menjawab dakwah Syu’aib dengan mencemooh dan menolak seruannya dengan mengejek. Mereka berkata, “Wahai Syu’aib, apakah agamamu menyuruhmu agar kami meninggalkan apa-apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami berbuat apa-apa yang kami kehendaki pada harta kami? Sesungguhnya kamu benar-benar orang yang sangat penyantun lagi berakal.” (QS Hud: 87).
Yakni, kami akan tetap menyembah apa yang disembah oleh leluhur kami. Kami akan terus berbuat terhadap harta kami apa-apa yang kami inginkan, apa pun bentuknya. Kami tidak akan pernah masuk ke dalam perintah Allah dan perintah rasul-rasul-Nya.
Nabi Syu’aib berkata, “Wahai kaumku, bagaimana pendapat kalian jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Rabbku dan Dia memberiku rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Aku tidak bermaksud menyalahi kalian terhadap apa yang aku larang darinya. Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal, dan hanya kepada-Nya aku kembali.” (QS Hud: 88)
Ucapan Syu’aib, “Wahai kaumku, bagaimana pendapatmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Rabbku.” Yakni keyakinan dan ketenangan tentang kebenaran agama yang aku bawa.
Ucapan Syu’aib, “Dan Dia memberiku rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)?” Yakni Allah memberiku berbagai macam kekayaan.
Ucapan Syu’aib, “Aku tidak bermaksud menyalahi kalian terhadap apa yang aku larang darinya.” Yakni, aku tidak melarang kalian berbuat curang dalam timbangan dan takaran, sedangkan aku melakukannya sehingga aku dituduh melakukannya. Aku adalah orang yang ketika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, akulah orang pertama yang melakukannya; ketika aku melarang kalian dari sesuatu, akulah orang pertama yang meninggalkannya. Allah telah memberi dan melapangkan rezeki kepadaku. Aku membutuhkan muamalah, tetapi aku terikat dengan ketaatan kepada Rabbku.
Ucapan Syu’aib, “Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup.” Yakni, aku tidak punya maksud dan tujuan lain selain memperbaiki keadaan kalian dan mendatangkan manfaat bagi kalian, agar kehidupan dunia dan agama kalian menjadi baik sebatas kemampuanku.
Ini merupakan jenis tazkiah diri. Dan penolaknya adalah ucapannya, “Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah.” Maksudnya, taufik yang aku dapatkan untuk melakukan kebaikan dan menghindari keburukan tidak lain adalah dari Allah, bukan karena daya dan kekuatanku. “Hanya kepada Allah aku bertawakal.” Aku bersandar kepada-Nya dalam urusanku, dan aku percaya dengan jaminan-Nya. “Dan hanya kepada-Nya aku kembali” dalam menunaikan ibadah yang Dia perintahkan kepadaku.
Kemudian Syu’aib memperingatkan mereka dari apa yang telah menimpa umat-umat di sekitar mereka dari sisi tempat dan dari sisi zaman yang tidak jauh dari mereka. Syu’aib berkata, “Jangan sampai penentangan (kalian) terhadapku menyebabkan kalian ditimpa azab seperti yang menimpa kaum Nuh, atau kaum Hud, atau kaum Shalih, sedangkan kaum Luth tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kalian.” (QS Hud: 89)
Kemudian Syu’aib mengajak mereka untuk bertobat dan mendorong mereka kepadanya. Syu’aib berkata, “Dan mohonlah ampun kepada Rabb kalian, kemudian bertobatlah kepada–Nya. Sesungguhnya Rabbku Mahapenyayang lagi Mahapengasih.” (QS Hud: 90)
Mereka gerah terhadap nasihat dan wejangan Syu’aib kepada mereka. Mereka berkata, “Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu.” (QS Hud: 91) Itu karena penentangan dan kebencian mereka terhadap kebenaran telah mendalam.
Mereka berkata, “Dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami. (QS Hud: 91) Kamu bukan seorang pemimpin besar, kamu hanya orang rendahan. Kalau tidak karena keluargamu,” yakni kabilahmu dan orang-orangmu “tentulah kami telah merajammu, sedangkan kamu bukan orang yang berwibawa di sisi kami.” Kamu tidak memiliki harga di hati kami dan tidak punya kehormatan di diri kami. Kami membiarkanmu karena kami memandang kabilahmu.
Nabi Syu’aib berkata dengan lembut, “Wahai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandangan kalian daripada Allah, sedangkan Allah kamu jadikan sesuatu yang terbuang di belakangmu?” Yakni, kalian membuang perintah Allah di belakang punggung kalian dan tidak memedulikannya. “Kalian tidak takut kepada-Nya. Sesungguhnya (pengetahuan) Rabbku meliputi apa yang kalian kerjakan. (QS Hud: 92) Tidak ada amal kalian sekecil apapun di langit dan di bumi samar bagi-Nya sehingga Dia akan membalas kalian dengan sempurna sesuai dengan perbuatan kalian.”
Orang-orang besar yang dihormati dari kalangan mereka yang mengikuti hawa nafsu dan bermain-main dengan kemewahan, begitu kebenaran datang kepada mereka dan ternyata kebenaran itu tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka yang rendah menentang dan menyombongkan diri. Mereka berkata kepada Sya’aib dan orang-orang lemah yang beriman, “Sesungguhnya kami akan mengusir kalian, wahai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kalian kembali kepada agama kami.”
Mereka menggunakan kekuatan premanisme dalam menghadapi kebenaran tanpa memedulikan agama, perjanjian, dan hak. Mereka hanya memerhatikan dan mengikuti hawa nafsu dan akal bodoh yang menunjukan mereka kepada ucapan buruk itu. Mereka berkata, ”Kamu dan orang-orangmu kembali kepada agama kami atau kami mengusirmu dari kota ini.”
Tujuan Syu’aib berdakwah adalah agar mereka beriman. Tetapi sekarang Syu’aib diancam akan dengan diusir dari negerinya jika ia tidak mengikuti mereka, padahal ia dan orang-orang yang bersamanya adalah lebih berhak daripada mereka.
Dengan heran Syu’aib menjawab, ”Apakah kalian akan mengusir kami, walaupun kami tidak menyukainya?” (QS al’A’raf: 88) Yakni, apakah kami akan mengikuti ajaran kalian yang batil meskipun kami membencinya. Semestinya yang diajak kepada ajaran kalian adalah orang-orang yang memiliki kecenderungan kepadanya. Adapun orang yang secara terbuka melarangnya dan menyalahkan orang-orang yang mengikutinya, bagaimana ia diajak kepadanya?
Nabi Syu’aib berkata, “Sungguh kami mengada-adakan kebohongan yang benar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agama kalian sesudah Allah melepaskan kami darinya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali Allah, Rabb kami menghendaki(nya). Pengetahuan Rabb kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakal.” (QS al’A’raf: 89)
Nabi Syu’aib meminta keputusan Allah terkait kaumnya. Ia memohon kepada Allah agar apa yang patut mereka dapatkan segera ditimpakan kepada mereka. Syu’aib berdoa, “ Ya Rabb kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.” (QS al’A’raf: 89)
Para pemuka kaum Syu’aib merasa putus asa untuk menarik Syu’aib dan pengikutnya kepada ajaran mereka. Oleh karena itu, mereka mulai menjauhkan dan manakut-nakuti orang lain agar tidak mengikuti risalah dan jalan dakwah Syu’aib dengan mengatakan bahwa hal itu akan menghilangkan kejayaan dan mata pencarian mereka. Mereka berkata kepada sesamanya, “Sesungguhnya jika kalian mengikuti Syu’aib, tentu kalian jika berbuat demikian (menjadi) orang-orang yang merugi.” (QS al-A’raf: 90)
Manakala mereka membuat Syu’aib lelah dan Syu’aib pun berputus asa dari mereka, Syu’aib berkata kepada mereka, “Wahai kaumku, berbuatlah menurut kemampuan kalian. Sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kalian akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah azab (Rabb). Sesungguhnya aku pun menunggu bersama kalian.” (QS Hud: 93)
Kemudian mereka ditimpa gempa. Mereka tewas menjadi mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka, seolah-olah mereka belum pernah berdiam di kota itu, seolah-olah mereka tidak pernah bersuka ria di halamannya, tidak pernah berteduh di bawahnya, tidak pernah bermain-main di aliran sungainya, dan tidak pernah makan buah-buahannya. Mereka ditimpa azab yang membawa mereka dari segala permainan, kesenangan dan kenikmatan kepada rumah kesedihan, kesengsaraan, kepedihan, dan kehinaan.
Nabi Syu’aib meninggalkan mereka seraya berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepada kalian amanat-amanat Rabbku dan aku telah menasihati kalian. Lalu, bagaimana aku bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?” (QS al-A’raf: 90)
Allah menyelamatkan Syu’aib dan orang-orang yang beriman dari azab yang menimpa kaum Syu’aib dengan rahmat dari-Nya.
Baca juga: KISAH NABI LUTH
Baca juga: KISAH SEORANG PEMUDA DAN RAJA YANG ZALIM
Baca juga: HUJAN TURUN DI KEBUN FULAN
(Syekh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di)