AMAL-AMAL SALEH PADA BULAN ZULHIJAH

AMAL-AMAL SALEH PADA BULAN ZULHIJAH

Tentu banyak dari kita yang telah mengetahui bahwa di hari Id umat Islam menyembelih kurban dalam rangka ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla. Akan tetapi, bagi kaum muslimin, sesungguhnya hari raya ini tidak sekedar mengumandangkan takbir dan pergi untuk salat Id kemudian menyembelih kurban, lalu dimasak menjadi makanan yang lezat. Ada hal-hal lain yang perlu dilakukan sehingga hari raya ini penuh makna dalam usaha kita meraih pahala dan ganjaran dari Allah Azza wa Jalla. Semoga hari raya tahun ini menjadi hari raya yang lebih baik dengan amalan-amalan sunah yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ أَيَّامٍ اَلْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيْهَا أَحَبُّ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ، يَعْنِيْ أَيَّامَ الْعَشْرِ

Tidak ada hari dimana suatu amal saleh lebih dicintai Allah Azza wa Jalla melebihi amal saleh yang dilakukan di hari-hari ini (yakni sepuluh hari pertama Zulhijah).”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, termasuk lebih utama dari jihad di jalan Allah?”

Beliau menjawab,

وَلَا الْجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

Termasuk lebih utama dari jihad di jalan Allah, kecuali orang yang keluar dengan jiwa dan hartanya (ke medan jihad) dan tidak ada satu pun yang kembali (ia mati syahid).” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan selainnya)

Di dalam hadis di atas, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa amal saleh pada sepuluh hari di awal bulan Zulhijah lebih utama dari amal saleh di bulan lainnya.

Yang termasuk amal saleh sangatlah banyak, di antaranya:

1. Berpuasa pada Sembilan Hari Pertama Bulan Zulhijah

Mulai dari awal bulan Zulhijah ternyata telah ada amalan yang disunahkan untuk kita kerjakan.

Diriwayatkan dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari bulan Zulhijah, hari Asyura, tiga hari pada setiap bulan, serta hari Senin pertama awal bulan dan hari Kamis.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud)

Hadis ini menganjurkan kita berpuasa pada tanggal satu sampai sembilan Zulhijah. Dan ini merupakan pendapat jumhur ulama.

Adapun hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Aku tidak pernah sekali pun melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari pertama bulan Zulhijah.” (HR Muslim), Imam Ahmad rahimahullah berkata tentang dua hadis yang bertentangan ini, “Bahwasanya yang menetapkan (puasa pada sepuluh hari pertama Zulhijah) lebih didahulukan daripada yang menafikan.”

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Perkataan Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa pada sepuluh hari tersebut mungkin beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa karena suatu sebab, seperti sakit, safar, atau selainnya. Atau Aisyah radhiyallahu ‘anha memang tidak melihat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari-hari tersebut. Tetapi tidak melihatnya Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak mesti menunjukkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa. Dan ini ditunjukkan oleh hadis yang pertama.”

Syekh Muhammad bin Saleh al-’Utsaimin rahimahullah berkata, “Bahwasanya itu merupakan pengabaran dari Aisyah tentang apa yang ia ketahui. Dan perkataan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam didahulukan atas sesuatu yang tidak diketahui oleh perawi. Imam Ahmad rahimahullah telah merajihkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari tersebut. Jika hadis tersebut ditetapkan, maka tidak ada masalah, dan jika tidak ditetapkan, sesungguhnya puasa pada sepuluh hari tersebut masuk dalam keumuman amalan saleh yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tidak ada hari dimana suatu amal saleh lebih dicintai Allah melebihi amal saleh yang dilakukan di hari-hari ini (yakni sepuluh hari pertama Zulhijah).’ Dan puasa termasuk dalam amalan saleh.”

2. Puasa Arafah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ

Puasa pada hari Arafah (tanggal 9 Zulhijah), aku berharap kepada Allah bahwa Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya.” (HR Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda ketika ditanya tentang puasa hari Arafah,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Menghapus (dosa) setahun sebelumnya dan setahun setelahnya.” (HR Muslim)

Puasa ini dikenal dengan puasa Arafah karena pada tanggal tersebut orang yang sedang melaksanakan haji berkumpul di Arafah untuk melakukan runtutan amalan yang wajib dikerjakan pada saat berhaji, yaitu ibadah wukuf.

Jumhur ulama berpendapat bahwa dosa-dosa yang dihapus dengan puasa Arafah adalah dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar, maka wajib baginya bertobat. Pendapat mereka dikuatkan dengan perkataan mereka, “Karena puasa Arafah tidak lebih kuat dan lebih utama dari salat wajib yang lima waktu, salat Jumat, dan Ramadan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَابَيْنَهُنَّ، إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ

Salat yang lima waktu, salat Jumat ke Jumat berikutnya, Ramadan ke Ramadan berikutnya dapat menghapus (dosa-dosa) di antara keduanya selama menjauhi dosa-dosa besar.” (HR Muslim)

Mereka berkata, “Jika ibadah-ibadah yang agung dan mulia tersebut yang termasuk rukun-rukun Islam tidak kuat untuk menghapuskan dosa-dosa besar, maka puasa Arafah yang sunah lebih tidak bisa lagi.” Inilah pendapat yang rajih.

3. Takbiran

Ketahuilah bahwa bertakbir, bertahmid, dan bertahlil disyariatkan pada sepuluh hari pertama Zulhijah.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’,

مَامِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ إِلَى اللهِ اَلْعَمَلُ فِيْهِنَّ مِنْ عَشْرِ ذِيْ الْحِجَّةِ، فَعَلَيْكُمْ بِالتَّسْبِيْحِ وَالتَّهْلِيْلِ وَالتَّكْبِيْرِ

Tidak ada hari-hari yang amal saleh lebih dicintai oleh Allah daripada sepuluh hari pertama Zulhijah. Maka hendaklah kalian bertasbih, bertahlil, dan bertakbir.” (HR Utsman al-Buhairi. Lihat Irwa’ al-Ghalil)

Disyariatkan juga bertakbir setelah salat Subuh pada hari Arafah sampai akhir hari tasyriq dengan takbir:

اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِله الْحَمْدُ

Allah Mahabesar, Allah Mahabesar. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allah. Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, dan bagi Allah-lah segala puji.”

4. Memperbanyak Amal Saleh dan Ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla

Yaitu dengan memperbanyak salat sunah, sedekah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, bertobat kepada Allah dengan sebenar-benarnya, memperbanyak zikir kepada Allah, bertakbir, membaca al-Qur’an, dan ama-amal saleh lainnya. Sedekah dianjurkan setiap hari, maka pada hari-hari ini sedekah lebih dianjurkan lagi. Begitu juga ibadah-ibadah yang lain.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Sa’id bin Jubair jika memasuki sepuluh hari pertama bulan Zulhijah sangat bersungguh-sungguh sampai-sampai dia hampir tidak mampu melakukannya. (HR ad-Darimi)

5. Haji dan Umrah

Allah Ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Kewajiban bagi manusia kepada Allah, berhaji ke Baitullah, bagi siapa yang memiliki kemampuan untuk melakukan perjalanan.” (QS Ali ‘Imran: 97)

Haji dan umrah adalah ibadah yang paling mulia dan sarana bertakarub (pendekatan diri) kepada Allah yang paling afdal.

7. Idul Adha

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, masyarakat Madinah memiliki dua hari yang mereka rayakan dengan bermain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dua hari apakah itu?” Mereka menjawab, “Kami merayakannya dengan bermain di dua hari ini ketika zaman Jahiliah.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا، يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ

Sesungguhnya Allah telah memberikan ganti kepada kalian dengan dua hari yang lebih baik, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa-i, Abd bin Humaid, ath-Thahawi, al-Hakim, al-Baihaqi, dan al-Baghawi)

7. Berkurban

Di antara amal taat dan ibadah yang mulia yang dianjurkan adalah berkurban. Kurban adalah hewan yang disembelih pada hari Idul Adha berupa unta, sapi, atau kambing dalam rangka bertakarub kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Laksanakanlah salat untuk Rabb-mu dan sembelihlah kurban.” (QS al-Kautsar: 2)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ، فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

Barangsiapa memiliki kelapangan namun tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati masjid kami.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Hakim. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam Takhriij Musykilatil-Faqr dan Shahih at-Targhib wat-Tarhib)

Sebagian ulama berpendapat dengan dasar hadis di atas bahwa hukum menyembelih binatang kurban bagi orang yang mampu adalah wajib.

Atha’ bin Yasar bertanya kepada Abu Ayyub al-Anshari, “Bagaimana penyembelihan kurban pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

al-Anshari menjawab, “Seseorang berkurban dengan seekor kambing untuk diri dan keluarganya. Kemudian mereka memakannya dan memberi makan orang-orang sampai mereka berbangga. Maka jadilah seperti yang engkau lihat.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Disahihkan oleh Syekh al-Albani dalam Irwa’ al Ghalil dan Shahih Ibni Majah)

Barangsiapa berkurban untuk diri dan keluarganya maka disunahkan ketika menyembelih mengucapkan,

بِاسْمِ الله، وَالله أَكْبَرُ، اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّيْ، اَللَّهُمَّ هَذَا عَنِّيْ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِيْ

Dengan nama Allah, dan Allah Mahabesar. Ya Allah, terimalah (kurban) dariku. Ya Allah, ini dariku dan dari keluargaku.”

Disunahkan bagi orang yang berkurban agar menyembelih sendiri. Jika tidak mampu maka hendaklah ia menghadiri. Ia tidak boleh memberikan upah bagi tukang jagal hewan kurbannya.

Orang yang berkurban dilarang memotong kuku atau rambut dirinya (bukan hewannya) ketika sudah masuk tanggal satu Zulhijah sampai ia memotong hewan kurbannya.

Dari Ummu Salamah radhiyallahu anha, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ ذَبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أَهَلَّ هِلَالَ ذِيْ الْحِجَّةِ، فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّي

Barangsiapa memiliki hewan yang hendak dia sembelih (pada hari raya), jika sudah masuk tanggal satu Zulhijah, janganlah ia memotong (mencukur) rambutnya dan kukunya sedikit pun sampai dia menyembelih kurbannya.” (HR Muslim)

Baca juga: KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN ZULHIJAH

Baca juga: HUKUM HAYDU DAN UDHHIYAH

Baca juga: MENJAGA AMAL SALEH

(al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas)

Disalin dari https://almanhaj.or.id/12319-keutamaan-sepuluh-hari-pertama-bulan-dzulhijjah.html

Fikih