73. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Fathimah binti Abi Hubaisy datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang perempuan yang mengalami istihadhah, sehingga aku tidak suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat?”
Beliau bersabda,
لَا، إِنَّ ذٰلِكِ عِرْقٌ، وَلَيْسَ بِحَيْضٍ، فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي الصَّلَاةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ، ثُمَّ صَلِّي
“Tidak. Sesungguhnya itu hanyalah darah dari pembuluh darah, bukan haidh. Jika datang haidhmu, maka tinggalkanlah shalat, dan jika telah berhenti, maka bersihkanlah darah darimu, lalu shalatlah.” (Muttafaq ‘alaih).
74. Dan dalam riwayat al-Bukhari disebutkan:
ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ
“Kemudian berwudhulah untuk setiap shalat.”
Sedangkan Muslim mengisyaratkan bahwa ia menghapus bagian ini dengan sengaja.
PENJELASAN
Penulis rahimahullah dalam kitabnya Bulughul Maram menyebutkan hadis yang diriwayatkannya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Fathimah binti Abi Hubaisy datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mengalami istihadhah (pendarahan selain haidh), sehingga aku tidak suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat?”
Perkataannya, “Aku mengalami istihadhah” berarti bahwa ia mengalami haidh yang berat dan berlangsung lama, sehingga ia tidak suci.
Makna lahiriah dari hadis ini menunjukkan bahwa ia melihat darah sepanjang bulan, karena perkataannya, “…sehingga aku tidak suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat?”
Maka beliau ‘alaihiashshalatu wassalam bersabda, “Tidak, itu hanyalah darah dari pembuluh darah.”
Artinya, darah yang keluar itu adalah darah dari pembuluh darah. Sedangkan darah haidh bukan darah dari pembuluh darah, tetapi darah alami dan bersifat fitrah yang dialirkan oleh rahim dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla. Darah dari pembuluh darah berbeda dengan darah haidh.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya agar meninggalkan shalat ketika haidh datang, yakni ketika waktunya tiba. Lalu, ketika haidh telah berlalu dan waktunya telah selesai, ia harus mandi, shalat, dan membersihkan darah yang mengenainya. Namun, ia berwudhu untuk setiap shalat.
Misalnya, jika seorang perempuan melihat darah selama dua puluh hari dalam sebulan atau bahkan sepanjang bulan, sementara ia memiliki kebiasaan haidh yang terdahulu, maka kami katakan kepadanya, “Ikutilah masa haidhmu yang terdahulu saja. Kemudian mandilah dan shalatlah, meskipun darah masih mengalir.” Oleh karena itu, hendaklah ia mandi dan shalat.
Contoh lain: Seorang perempuan yang kebiasaan haidhnya adalah tujuh hari, kemudian ia mengalami penyakit istihadhah sehingga darah mengalir bersamanya, terus-menerus atau hampir sepanjang bulan.
Kami katakan kepadanya, “Jika waktu haidhmu tiba, tinggalkan shalat, suamimu tidak boleh menggaulimu, dan jangan berpuasa. Hindarilah semua hal yang dihindari oleh perempuan haidh.” Kemudian, setelah tujuh hari yang merupakan kebiasaannya berlalu, hendaklah ia membersihkan darah, mandi, lalu shalat. Ketika masuk waktu shalat kedua, ia berwudhu dan shalat. Demikian pula, ketika waktu shalat ketiga tiba, ia berwudhu dan shalat.
Para ulama berkata, “Demikian pula orang yang mengalami hadas terus-menerus, seperti seorang laki-laki yang mengalami inkontinensia urin (sulit menahan kencing), yaitu ia tidak dapat menahan keluarnya air kencing, maka orang ini hukumnya sama seperti perempuan yang mengalami istihadhah, yaitu ia harus berwudhu setiap kali waktu shalat masuk. Jika ia telah berwudhu setelah masuk waktu shalat, maka ia boleh shalat sebanyak yang ia kehendaki, baik shalat fardhu maupun sunah. Demikian pula orang yang mengalami inkontinensia gas (sulit menahan kentut), yaitu seseorang yang memiliki gas dalam perutnya dan tidak dapat menahannya, maka hukumnya sama dengan orang yang mengalami inkontinensia urin.”
Kami katakan kepadanya, “Jangan berwudhu untuk shalat kecuali setelah waktunya masuk.”
Jika keluar sesuatu dari tubuhmu yang tidak mampu kamu tahan dan tidak bisa dicegah, maka hal itu tidak membatalkan wudhu. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS al-Baqarah: 286)
Baca juga: HUKUM DARAH
Baca juga: CARA MEMBERSIHKAN DARAH HAIDH DARI PAKAIAN
Baca juga: HUKUM MEMAKAI PIL PENCEGAH HAIDH KETIKA HAJI
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

