34. Dari Asma’ binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang darah haid yang mengenai pakaian,
تَحُتُّهُ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ، ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ
“Hendaklah ia mengikisnya, kemudian menguceknya dengan air, kemudian membasahinya, kemudian shalat dengan pakaian tersebut.” (Muttafaq ‘alaih)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Khawlah bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika darah itu tidak hilang?”
Beliau bersabda,
يَكْفِيكِ الْمَاءُ، وَلَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ
“Cukup bagimu mencucinya dengan air, dan bekasnya tidak membahayakanmu.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan sanadnya lemah)
PENJELASAN
Hadis ini disebutkan oleh penulis rahimahullah dalam Bab Menghilangkan Najis dan Penjelasannya karena termasuk hadis yang menjelaskan tentang beberapa jenis najis yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satunya adalah darah yang keluar dari dua jalan, yaitu dari qubul atau dubur, yang dihukumi najis dan wajib dicuci hingga tidak tersisa. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang darah haid yang mengenai pakaian, “Hendaklah perempuan itu mengikisnya dengan kukunya, batu, atau benda lainnya yang dapat menghilangkan bekas darah, “kemudian menguceknya dengan air.”
Para ulama mengatakan bahwa qarsh (mengucek) adalah menggosok dengan ujung-ujung jari. “Kemudian membasahinya,” maksudnya adalah mencucinya dengan air, “kemudian shalat dengan pakaian tersebut.”
Jadi, darah itu pertama-tama dihilangkan bekasnya atau bendanya dengan cara dikikis. Setelah itu, dikucek dengan air dengan menggunakan ujung-ujung jari, kemudian disiram lagi dengan air, dan setelahnya pakaian tersebut dapat digunakan untuk shalat.
Faedah Hadis
1️⃣ Bahwa darah haid adalah najis yang wajib dicuci ketika hendak shalat. Shalat tidak sah kecuali setelah mencucinya, berdasarkan sabda beliau, “Kemudian shalat dengan pakaian tersebut.”
2️⃣ Bahwa tidak ada perbedaan antara darah yang banyak atau sedikit, sebagaimana yang tampak dalam hadis ini, karena tidak ada perincian. Selain itu, darah ini keluar dari salah satu dua jalan (qubul atau dubur), sehingga menyerupai air kencing. Air kencing, baik sedikit maupun banyak, tidak dimaafkan, melainkan wajib dicuci semuanya.
3️⃣ Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa menghilangkan najis harus didahulukan sebelum shalat. Maksudnya, seseorang harus membersihkan pakaiannya terlebih dahulu, kemudian baru shalat, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kemudian shalat dengan pakaian tersebut.”
Banyak ulama berdalil dengan hadis ini bahwa menghilangkan najis dari pakaian, badan, dan tempat shalat merupakan syarat sahnya shalat. Jika seseorang shalat dengan membawa najis pada pakaiannya, badannya, atau tempat shalat yang bersentuhan dengannya, maka shalatnya tidak sah. Namun, jika seseorang menemukan najis di pakaiannya setelah shalat karena lupa mencucinya, dan ia baru mengingatnya setelah selesai shalat, maka shalatnya tetap sah, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau tersalah.” (QS al-Baqarah: 286)
Demikian pula, jika ia baru mengetahui adanya najis setelah selesai shalat, maka shalatnya tetap sah karena firman Allah Ta’ala tersebut.
Akan tetapi, jika ia ingat atau mengetahui adanya najis di tengah-tengah shalat, maka:
🏀 Jika memungkinkan untuk melepaskan apa yang terkena najis tanpa membatalkan shalat, ia harus melakukannya dan melanjutkan shalatnya.
🏀 Jika tidak memungkinkan, ia harus memutus shalatnya, mencuci najis tersebut, dan memulai shalat dari awal.
Contohnya: Seorang laki-laki yang sedang melaksanakan shalat teringat bahwa di celananya terdapat najis. Maka kami katakan kepadanya: Lepaskan celanamu dan lanjutkan shalatmu, tidak ada masalah bagimu. Atau, jika ia teringat bahwa pada kain penutup kepalanya terdapat najis, maka kami katakan: Lepaskan kain penutup kepalamu dan lanjutkan shalatmu, tidak ada masalah bagimu.
Dalilnya adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari sedang shalat bersama para sahabatnya, kemudian beliau melepaskan kedua sandalnya. Maka para sahabat pun ikut melepaskan sandal mereka. Ketika selesai shalat, Nabi bertanya kepada mereka,
مَا بَالُكُمْ خَلَعْتُمْ نِعَالَكُمْ؟
“Mengapa kalian melepaskan sandal kalian?”
Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, kami melihat engkau melepaskan sandalmu, maka kami pun melepaskan sandal kami.”
Artinya, mereka mengira bahwa hukum shalat dengan sandal telah dihapus atau karena sebab lainnya.
Ya Allah, mereka mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau bersabda kepada mereka,
إِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ آنِفاً فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهَا قَذَراً فَخَلَعْتُهَا
“Sesungguhnya Jibril baru saja datang kepadaku dan memberitahuku bahwa pada sandal itu terdapat kotoran, maka aku pun melepaskannya.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ahmad dan selainnya)
Ini menunjukkan bahwa jika seseorang mengetahui adanya najis di tengah-tengah shalat, dan ia mampu menghilangkan apa yang terkena najis tersebut tanpa membatalkan shalat, maka ia harus melakukannya dan melanjutkan shalatnya. Demikian pula, jika ia baru mengingat adanya najis setelah memulai shalat, maka ia harus menghilangkan najis tersebut dan melanjutkan shalatnya.
Adapun jika najis berada pada pakaian, dan seseorang tidak memiliki pakaian lain selain pakaian tersebut, lalu ia mengingat adanya najis di tengah-tengah shalat, maka dalam hal ini ia harus menghentikan dan memutus shalatnya, kemudian mencuci najis tersebut dan memulai shalat dari awal. Sebab, ia tidak mungkin melepaskan pakaiannya di tengah-tengah shalat, karena jika ia melepasnya, ia akan dalam keadaan telanjang.
4️⃣ Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan jumlah cucian. Oleh karena itu, pendapat yang rajih (kuat) dari kalangan ulama adalah bahwa najis dianggap suci jika telah hilang, baik dengan sedikit cucian maupun banyak, kecuali dalam hal najis anjing, di mana harus dicuci tujuh kali dan salah satunya dengan menggunakan tanah.
5️⃣ Bahwa jika pakaian seorang perempuan terkena najis berupa darah haid, maka ia cukup mencuci darah tersebut dan shalat dengan pakaian itu. Tidak perlu baginya untuk menyediakan pakaian khusus untuk shalat, pakaian lain untuk bekerja, dan pakaian lain untuk haid, seperti yang dilakukan oleh sebagian orang hari ini. Cukup satu pakaian saja. Jika terkena najis, pakaian itu dicuci, lalu digunakan untuk shalat, dan tidak ada masalah.
Adapun hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Khawlah radhiyallahu ‘anha, bahwa ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika darah itu tidak hilang?” Beliau bersabda, “Cukup bagimu menggunakan air, dan bekasnya tidak membahayakanmu.” Hadis ini, sebagaimana dikatakan oleh penulis, adalah hadis yang lemah. Namun, maknanya benar, yaitu jika seseorang mencuci darah hingga hilang dan bilasan terakhir air tidak lagi berubah karena darah, tetapi warna bekas darah tetap ada, maka warna tersebut tidak membahayakan. Sebab, najisnya telah hilang, dan yang dimaksud adalah hilangnya najis itu sendiri, bukan warnanya.
Baca juga: HUKUM DARAH
Baca juga: DUA JENIS BANGKAI DAN DARAH YANG HALAL
Baca juga: HUKUM NAJIS JIKA BERUBAH MENJADI BENTUK LAIN
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)