Dari Abu Umamah Shudayya bin Ajlan al-Bahilli radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah pada haji Wada’. Beliau bersabda,
اتَّقُوا الله، وَصلُّوا خَمْسَكُمْ ، وَصُومُوا شَهْرَكُمْ، وَأَدُّوا زَكاةَ أَمْوَالِكُمْ، وَأَطِيعُوا أُمَرَاءكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ
“Bertakwalah kepada Allah, dirikanlah shalat lima waktu kalian, berpuasalah di bulan kalian (Ramadhan), tunaikanlah zakat harta kalian, dan taatilah para pemimpin kalian, niscaya kalian akan masuk ke Surga Rabb kalian.” (HR at-Tirmidzi. Lihat Shahih al-Jami’ dan as-Silsilah ash-Shahihah)
PENJELASAN
Khotbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi menjadi dua jenis: khotbah rutin dan khotbah insidental.
Para ulama rahimahumullah berselisih pendapat tentang status khotbah shalat kusuf (gerhana), apakah tergolong khotbah rutin atau insidental. Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh fakta bahwa shalat kusuf pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya terjadi satu kali. Pada saat itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menyampaikan khotbah kepada umat setelah shalat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa khotbah kusuf termasuk khotbah rutin. Mereka beralasan, “Hukum asalnya adalah bahwa apa yang disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap berlaku dan berlanjut. Tidak adanya gerhana setelahnya pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga beliau meninggalkan khotbah tersebut tidak cukup menjadi alasan untuk menyimpulkan bahwa khotbah kusuf bersifat insidental.”
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa khotbah kusuf termasuk khotbah insidental. Mereka menyatakan, “Jika ada sebab yang mengharuskan berkhotbah, maka khotbah dilakukan. Namun, jika tidak ada sebab, maka khotbah tidak diperlukan.”
Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa khotbah kusuf termasuk khotbah rutin. Oleh karena itu, disunahkan bagi seseorang, setelah melaksanakan shalat kusuf (gerhana), untuk berdiri dan berkhotbah kepada umat, mengingatkan mereka, serta menakut-nakuti mereka, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun khotbah insidental adalah khotbah yang disampaikan ketika terdapat kebutuhan atau alasan tertentu. Contohnya adalah khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait permasalahan keluarga Barirah, seorang budak perempuan yang dibeli oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Keluarga Barirah mensyaratkan bahwa perwalian (wala’) tetap menjadi milik mereka. Namun, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha tidak menyetujui syarat tersebut dan kemudian mengadukan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau bersabda,
خُذِيها فَأَعْتِقِيهَا، وَاشْتَرِطِي لَهُمُ الوَلَاءَ
“Ambillah dia dan merdekakanlah dia, serta syaratkanlah kepada mereka bahwa perwalian (wala’) tetap milik mereka.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menyampaikan khotbah kepada manusia. Dalam khotbah tersebut, beliau menjelaskan bahwa wala’ adalah milik orang yang memerdekakan budak. (HR al-Bukhari dan Muslim)
Demikian pula khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait peristiwa ketika Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma memohon syafaat untuk seorang perempuan dari Bani Makhzum. Perempuan tersebut dikenal sering meminjam barang lalu mengingkarinya, sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar tangannya dipotong. Hal itu membuat orang-orang Quraisy merasa khawatir atas perkara perempuan tersebut. Mereka kemudian mencari seseorang yang dapat memohon syafaat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memilih Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma untuk menyampaikan permohonan tersebut. Ketika Usamah melakukannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
أتَشْفَعُ في حَدٍّ مِن حُدودِ الله؟
“Apakah engkau memohon syafaat dalam hukum di antara hukum-hukum Allah?”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menyampaikan khotbah kepada manusia. Dalam khotbah tersebut, beliau menjelaskan bahwa kehancuran umat-umat sebelum kita disebabkan oleh ketidakadilan mereka. Jika seseorang yang terhormat di antara mereka mencuri, mereka membiarkannya; namun jika yang mencuri adalah orang yang rendah kedudukannya, mereka menegakkan hukuman kepadanya. (HR al-Bukhari)
Pada Haji Wada’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khotbah pada hari Arafah dan juga pada hari Nahr (10 Dzulhijjah). Dalam khotbah tersebut, beliau menasihati umat dan mengingatkan mereka tentang berbagai perkara penting. Khotbah ini termasuk salah satu khotbah rutin yang disunahkan. Oleh karena itu, disunahkan bagi pemimpin jamaah haji untuk menyampaikan khotbah kepada umat, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Termasuk di antara isi khotbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Haji Wada’ adalah sabda beliau,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian,”
sebagaimana firman-Nya Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian.” (QS an-Nisa: 1)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khotbahnya memerintahkan seluruh manusia untuk bertakwa kepada Rabb mereka yang telah menciptakan mereka, melimpahkan nikmat-Nya kepada mereka, dan mempersiapkan mereka untuk menerima risalah-Nya. Beliau dengan tegas mengingatkan mereka akan pentingnya bertakwa kepada Allah.
Sabda beliau, “Dirikanlah shalat lima waktu kalian,” bermakna laksanakanlah dengan sempurna shalat lima waktu yang telah diwajibkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya.
Sabda beliau, “Berpuasalah pada bulan kalian,” maksudnya adalah bulan Ramadhan.
Sabda beliau, “Tunaikanlah zakat harta kalian,” bermakna berikanlah zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya sesuai ketentuan syariat, dan janganlah bersikap kikir atau enggan dalam menunaikannya.
Sabda beliau, “Taatilah para pemimpin kalian,” bermakna menaati mereka yang Allah jadikan sebagai pemimpin atas kalian. Hal ini mencakup pemimpin wilayah atau daerah, serta pemimpin umum yang memimpin seluruh negara. Ketaatan kepada mereka diwajibkan selama perintah mereka tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah. Namun, jika mereka memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan syariat Allah, maka tidak boleh menaati mereka, karena ketaatan kepada makhluk tidak boleh mengalahkan ketaatan kepada Sang Pencipta Jalla wa ‘Ala, sebagaimana Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta pemimpin di antara kalian.” (QS an-Nisa: 59)
Allah Ta’ala menggandengkan ketaatan kepada para pemimpin dengan ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada pemimpin bersifat mengikuti dan tidak berdiri sendiri, karena sesuatu yang digandengkan (ma’thuf) mengikuti yang digandenginya (ma’thuf ‘alaihi), dan tidak bersifat independen.
Oleh karena itu, kita dapati bahwa Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya,” (QS an-Nisa: 59), dengan menggunakan kata kerja (أَطِيعُوا) untuk menegaskan bahwa ketaatan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ketaatan yang berdiri sendiri, artinya beliau harus ditaati secara independen sebagaimana wajibnya ketaatan kepada Allah. Namun demikian, ketaatan kepada beliau juga merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah dan tetap wajib, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kecuali hal-hal yang diridhai oleh Allah. Adapun selain beliau dari kalangan pemimpin, mereka bisa saja memerintahkan sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah. Oleh sebab itu, ketaatan kepada mereka dijadikan mengikuti ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mendurhakai para pemimpin dalam hal-hal yang bukan merupakan kemaksiatan kepada Allah, kemudian berdalih bahwa hal tersebut bukan bagian dari agama. Sebagian orang yang jahil, ketika para pemimpin menetapkan aturan-aturan yang tidak bertentangan dengan syariat, mereka berkata, “Aku tidak diwajibkan mematuhi aturan ini, karena aturan ini bukan syariat. Aturan ini tidak ada dalam Kitab Allah Ta’ala maupun dalam sunah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Ini adalah bentuk kebodohan yang nyata. Bahkan, kita katakan bahwa aturan-aturan seperti ini sebenarnya termasuk dalam ajaran Kitab Allah dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan pemimpin di antara kalian.” (QS an-Nisa: 59)
Telah disebutkan dalam banyak hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam perintah untuk menaati para pemimpin. Di antaranya adalah hadis ini. Oleh karena itu, menaati para pemimpin dalam aturan-aturan yang mereka tetapkan, selama aturan tersebut tidak bertentangan dengan perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, merupakan bagian dari ketaatan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seandainya kita hanya menaati para pemimpin dalam perkara yang sudah diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka perintah untuk menaati mereka tidak akan membawa manfaat tambahan. Hal ini karena ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah diperintahkan, terlepas dari apakah para pemimpin memerintahkannya atau tidak.
Di antara pesan-pesan penting yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Haji Wada’ adalah: bertakwa kepada Allah, mendirikan shalat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa, dan menaati para pemimpin. Perkara-perkara ini merupakan perkara-perkara yang sangat penting dan harus diperhatikan oleh setiap individu. Setiap manusia harus melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini.
Dan Allah Mahamengetahui.
Baca juga: DOA AGAR DIJADIKAN PEMIMPIN BAGI ORANG-ORANG YANG BERTAKWA
Baca juga: ANJURAN UNTUK SEGERA BERBUAT BAIK
Baca juga: TIDAK ADA KETAATAN KECUALI DALAM HAL YANG MAKRUF
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)