15. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ: فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالطِّحَالُ وَالْكَبِدُ
“Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua bangkai adalah belalang dan ikan. Sedangkan dua darah adalah hati dan limpa.” (Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, meskipun dalam riwayatnya terdapat kelemahan)
PENJELASAN
Penulis menyebutkan sebuah hadis dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah.” Beliau kemudian menjelaskan bahwa dua jenis bangkai tersebut adalah belalang dan ikan, sedangkan dua jenis darah tersebut adalah hati dan limpa. Namun, penulis menyatakan bahwa “Sanad hadis ini lemah.” Memang, sanad hadis tersebut dinilai lemah jika diriwayatkan secara marfu’. Adapun jika diriwayatkan secara mauquf, maka hadis ini sahih. Hal ini karena telah diriwayatkan secara sahih dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia pernah berkata demikian.
Apabila seorang sahabat berkata, “Dihalalkan bagi kita,” maka perkataan tersebut memiliki hukum marfu’, karena kehalalan itu berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, jika seorang sahabat menyatakan, “Dihalalkan bagi kita,” maksudnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghalalkannya untuk kita.
Bangkai Belalang dan Ikan
Dalam sabdanya, “Dua bangkai dan dua darah,’ bangkai yang pertama adalah belalang.
Belalang adalah makhluk yang telah dikenal. Hukumnya adalah halal dalam segala jenis dan bentuknya, baik dalam keadaan hidup maupun mati.
Hidup: Belalang yang masih hidup dapat ditangkap dalam keadaan hidup, kemudian dimasak dengan air atau dipanggang dengan api. Hal itu tidak masalah. Jika air menjadi panas dalam proses tersebut, karena tidak ada cara lain untuk memanfaatkannya selain dengan cara ini, maka diperbolehkan untuk mengambil dan memakan setiap jenis belalang tanpa perlu disembelih. Bahkan, menyembelih belalang tidak disarankan, karena belalang tidak memiliki darah yang perlu dikeluarkan melalui penyembelihan. Oleh karena itu, apa pun yang tidak memiliki darah tidak memerlukan penyembelihan agar menjadi halal.
Bangkai: Jika kamu mendatangi suatu tempat dan menemukan belalang yang telah mati, maka belalang tersebut halal untukmu, kecuali jika ia mati karena sesuatu seperti api atau hal-lain yang menyebabkan kematiannya, maka janganlah memakannya karena mungkin membahayakanmu. Namun, jika belalang tersebut mati secara alami, maka ia halal, karena belalang adalah makhluk yang dikirim oleh Allah Ta’ala sebagai rahmat, dan terkadang sebagai ujian. Allah mengutusnya ke ladang dan tanaman, lalu ia memakannya. Demikian pula, Allah pernah mengirim belalang sebagai azab kepada Fir’aun dan kaumnya.
فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ ٱلطُّوفَانَ وَٱلْجَرَادَ وَٱلْقُمَّلَ وَٱلضَّفَادِعَ وَٱلدَّمَ ءَايَٰتٍ مُّفَصَّلَٰتٍ
“Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak, dan darah sebagai bukti yang jelas.” (QS al-A’raf: 133)
Allah mengirimkan belalang kepada mereka.
Para ulama berkata: Belalang memakan tanaman dan biji-bijian, menyebabkan kerusakan pada hasil panen. Adapun kutu: merusak apa saja yang disimpan dari hasil panen. Sedangkan katak: merusak air. Dan darah: keluar dari tubuh mereka seperti mimisan atau yang lain hingga mereka kehilangan manfaat dari makanan tersebut.
Belalang merusak makanan saat masih tumbuh, kutu merusaknya ketika disimpan, katak merusak air, dan darah menguras kekuatan tubuh.
Sesungguhnya bangkai belalang halal, dan terkadang ia menjadi rahmat, sebagaimana yang pernah terjadi di masa lalu. Belalang menjadi salah satu manfaat bagi orang-orang miskin, di mana mereka menangkapnya, mengeringkannya, lalu menjualnya, dan manusia memakannya karena ia merupakan makanan yang baik. Oleh karena itu, jika kamu menemukan belalang mati di permukaan bumi, maka ia halal untuk dimakan.
Bangkai yang kedua adalah ikan. Hal ini mencakup semua makhluk yang hidup di air dan lautan, baik yang berukuran besar maupun kecil, serta baik yang hidup maupun yang mati. Semuanya halal.
Jika kamu menemukan seekor ikan mati terdampar di laut, maka kamu boleh memakannya tanpa keraguan. Jika kamu menangkap ikan dalam keadaan hidup, lalu membiarkannya mati di mana saja, maka ia tetap halal. Dalil untuk hal ini berasal dari kitab Allah Ta’ala yang berfirman:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ ٱلْبَحْرِ وَطَعَامُهُۥ مَتَٰعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ
“Dihalalkan bagi kalian hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) darinya sebagai makanan yang lezat bagi kalian…” (QS al-Ma’idah: 96)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Buruan laut mencakup semua yang ditangkap dari ikan dan hewan lainnya yang hidup di air. Adapun makanan adalah segala yang ditemukan di pantai berupa ikan dan hewan laut lainnya yang banyak dan terdampar di atas air. Maka, tidak ada masalah untuk mengambil dan memakannya.”
Hadis ini menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecualikan apa yang dilarang oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
قُل لَّآ أَجِدُ فِى مَآ أُوحِىَ إِلَىَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُۥٓ إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا
“Katakanlah: ‘Tidak aku temukan dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali jika makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir…’” (QS al-An’am: 145)
Firman-Nya: “Kecuali jika makanan itu bangkai,” menunjukkan bahwa semua bangkai diharamkan. Namun dikecualikan darinya dua jenis bangkai, yaitu belalang dan ikan.
Hati dan Limpa
Adapun dua darah yang dihalalkan oleh Allah Ta’ala adalah hati dan limpa. Keduanya dikenal sebagai bagian dari tubuh hewan.
Hati merupakan potongan darah yang kental dan membeku, sehingga halal untuk dikonsumsi. Demikian pula limpa, yang merupakan potongan yang menyerupai hati dan terletak di atas perut. Limpa tidak melekat pada lambung, sedangkan hati berdiri sendiri. Keduanya adalah potongan darah, namun keduanya halal, sebagaimana telah dihalalkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
Ketahuilah bahwa semua yang ada di laut adalah halal, baik yang hidup maupun yang mati, terlepas dari bentuknya, apakah menyerupai binatang buas, serigala, hewan melata, manusia, atau bentuk lainnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dihalalkan bagi kalian tangkapan laut dan makanannya,” baik yang diambil dalam keadaan hidup maupun mati.
Demikian pula darah yang terdapat pada limpa dan hati. Bahkan, disebutkan bahwa setiap darah yang tetap berada di dalam urat setelah penyembelihan dan kematian hewan yang disembelih adalah halal, meskipun jumlahnya banyak.
Jika seekor kambing disembelih, maka darah yang masih terdapat di urat-uratnya atau di dalam jantungnya adalah halal dan suci, karena darah tersebut bukanlah darah yang mengalir (damm masfuh) yang diharamkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
Hadis tersebut menjelaskan bahwa hukum asal bangkai adalah haram, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ ٱلْمَيْتَةُ
“Diharamkan atas kalian bangkai.” (QS al-Maidah: 3), kecuali bangkai ikan dan belalang.
Dijelaskan juga bahwa hukum asal darah adalah haram, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Diharamkan atas kalian bangkai dan darah”, kecuali limpa dan hati.
Kami tambahkan yang ketiga, yaitu apa saja yang tersisa di dalam daging dan urat-urat setelah penyembelihan selesai, maka itu semua adalah halal.
Penulis rahimahullah menyebutkan hadis ini dalam bab tentang air sebagai isyarat bahwa segala sesuatu yang halal adalah suci. Berdasarkan hal ini, jika belalang jatuh ke dalam air, mati di dalamnya, dan menyebabkan air tersebut berubah, maka air tersebut tetap suci dan dapat digunakan untuk bersuci. Demikian pula, jika ikan jatuh ke dalam air, membusuk, dan mengeluarkan bau busuk, maka air itu tetap suci, dan ikan tersebut tetap halal serta tidak najis.
Demikian pula darah. Jika hati dari hewan yang disembelih jatuh ke dalam air dan menyebabkan air tersebut berubah menjadi merah atau terlihat warna merahnya, maka air itu tetap suci, dapat digunakan untuk bersuci, dan juga layak untuk diminum. Hal ini tidak menimbulkan masalah. Demikian pula hukum yang berlaku untuk limpa.
Darah yang Suci dan Darah yang Najis
Ketahuilah bahwa darah terbagi menjadi dua jenis: darah yang suci dan darah yang najis. Darah yang suci adalah darah dari semua makhluk yang bangkainya suci. Berdasarkan hal ini, darah ikan adalah suci karena bangkainya suci. Semua makhluk yang bangkainya suci, darahnya juga suci, kecuali manusia. Mayoritas ulama berpendapat bahwa darah manusia adalah najis, namun sedikitnya dimaafkan, kecuali darah yang keluar dari dua jalan (kemaluan dan anus).
Kami menyatakan bahwa para ulama rahimahumullah berbeda pendapat mengenai status darah manusia. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa darah manusia adalah najis, namun jika darah tersebut keluar dari selain dua jalan (kemaluan dan dubur), maka jumlah yang sedikit dimaafkan. Adapun jika darah keluar dari dua jalan, maka tidak ada yang dimaafkan.
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa darah manusia adalah suci, kecuali jika keluar dari dua jalan, maka darah tersebut najis dan tidak dimaafkan. Mereka beralasan bahwa jika darah manusia najis, maka anggota tubuh yang terpotong juga najis. Padahal, anggota tubuh lebih signifikan statusnya dibandingkan dengan darah. Jika sesuatu yang dipotong dari tubuh manusia saat ia masih hidup, seperti hati, kaki, atau kulit yang dipotong saat khitan atau semisalnya, adalah suci, maka darah manusia pun demikian, yaitu suci.
Selain itu, para sahabat radhiyallahu ‘anhum sering terluka saat perang, namun tidak diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mencuci pakaian yang terkena darah tersebut. Bahkan, syuhada yang gugur di jalan Allah dengan pakaian yang berlumuran darah diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dikuburkan bersama pakaian dan darah mereka, tanpa mencucinya. Jika darah manusia najis, maka seharusnya pakaian mereka dicuci, karena kain kafan tidak boleh tercemar oleh najis.
Jika seseorang bertanya kepada kita: Apa pendapat kalian tentang seorang laki-laki yang memiliki wasir dan keluar darinya darah, dan seorang lagi yang memiliki fistula dan keluar darinya darah? Di antara keduanya, mana yang darahnya najis??
Kami menjawab: Darah yang keluar dari ambeien (wasir) adalah najis, karena darah tersebut berasal dari dalam dubur. Sedangkan darah yang keluar dari fistula (nasur) tidak najis, karena ia keluar dari luar dubur. Fistula adalah luka yang terletak di luar dubur, meskipun dekat dengan dubur. Oleh karena itu, darahnya seperti darah lainnya. Sebagaimana telah diketahui, darah manusia adalah suci kecuali yang keluar dari dua jalan (kemaluan dan dubur). Adapun darah ambeien yang berasal dari dalam dubur, baik sedikit maupun banyak, tetap najis.
Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa darah manusia adalah suci, kecuali darah yang keluar dari dua jalan (kemaluan dan dubur). Namun, demi kehati-hatian dan untuk mempertimbangkan perbedaan pendapat dengan mayoritas ulama, disarankan untuk mencuci darah jika terkena pakaian atau tubuh, sebagai langkah kehati-hatian dan mengikuti pendapat mayoritas ulama.
Dari sisi kajian, tidak ditemukan dalil dalam sunah yang menunjukkan bahwa darah manusia adalah najis, kecuali yang keluar dari dua jalan. Pendapat bahwa darah manusia adalah suci juga sesuai dengan kaidah qiyas. Hal itu karena darah adalah bagian dari tubuh manusia, dan bagian-bagian tubuh manusia adalah suci. Maka, darahnya pun suci.
Adapun darah dari hewan-hewan yang tidak boleh dimakan, hukumnya adalah najis, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, tanpa pengecualian. Contohnya adalah darah dari anjing, kucing, tikus, dan cicak. Maka, darah dari semua hewan tersebut adalah najis, dan tidak dimaafkan sedikit pun darinya. Hal itu karena bangkai hewan-hewan tersebut adalah najis, sehingga darahnya pun ikut dihukumi najis.
Adapun darah dari hewan yang boleh dimakan, hukumnya adalah najis. Namun, sedikit dari darah tersebut dimaafkan jika keluar ketika hewan masih hidup, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala:
قُل لَّآ أَجِدُ فِى مَآ أُوحِىَ إِلَىَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُۥٓ إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُۥ رِجْسٌ
“Katakanlah, ‘Tidak aku dapati dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena sesungguhnya itu kotor.’” (QS al-An’am: 145), yaitu najis.
Baca juga: HUKUM BANGKAI
Baca juga: HUKUM DARAH
Baca juga: COBAAN ADALAH SUNAH ILAHIYAH
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

