Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu menyiapkan pasukan besar di bawah komando Khalid bin al-Walid radhiyallahu ‘anhu untuk memerangi Musailamah al-Kadzdzab. Pasukan ini memeranginya dalam sebuah peperangan yang dahsyat sampai akhirnya kaum muslimin mengalahkan mereka dan Musailamah pun terbunuh. Namun kemenangan ini harus dibayar mahal oleh kaum muslimin dengan gugurnya para pembawa (penghafal) al-Qur’an dari kalangan sahabat. Ada yang berkata tujuh ratus orang. Ada juga yang berkata lebih dari itu. Semua itu terjadi pada Perang Yamamah. Maka, muncullah ide mengumpulkan al-Qur’an sebelum penghafal yang tersisa menjadi korban berikutnya.
Kita simak kisah dari penulis wahyu Rasulullah, Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu:
Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu memintaku menghadapnya pasca gugurnya para sahabat di Perang Yamamah. Aku pun hadir memenuhinya. Ternyata Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu telah berada di sisinya.
Abu Bakr ash-Shiddiq berkata, “Sesungguhnya Umar telah datang kepadaku, lalu berkata, ‘Sesungguhnya kematian telah menimpa banyak qurra’ (penghafal) al-Qur’an pada Perang Yamamah. Aku khawatir jika hal ini terus berlanjut, tidak sedikit al-Qur’an yang hilang. Aku mengusulkan agar engkau memerintahkan pengumpulan al-Qur’an.’”
Aku berkata kepada Umar, “Bagaimana kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?”
Umar menjawab, “Demi Allah, ini baik.”
Umar terus menyampaikan usulannya kepadaku sehingga Allah melapangkan dadaku untuk menerimanya. Maka aku pun setuju dengan pendapat Umar.
Dalam sebuah riwayat, Zaid berkata:
Abu Bakr berkata kepadaku, “Sesungguhnya orang ini mengajakku kepada suatu perkara, sedangkan engkau adalah penulis wahyu. Jika engkau setuju dengan Umar, maka aku akan mengikuti kalian berdua. Jika engkau setuju dengan aku (untuk tidak melakukannya), maka aku tidak akan melakukannya.”
Lalu Abu Bakr menyampaikan pendapat Umar. Maka aku tidak setuju.
Umar berkata, “Apa yang menghalangi kalian berdua untuk melakukannya?”
Aku berpikir terlebih dahulu sebelum menjawab, “Demi Allah, tidak ada yang menghalangi kami untuk melakukannya.”
Abu Bakr berkata kepadaku, “Engkau adalah pemuda yang berakal. Kami percaya kepadamu. Sebelum ini, engkau telah menulis wahyu untuk Rasulullah. Maka telusurilah al-Qur’an dan kumpulkanlah!”
Demi Allah, seandainya dia memintaku memindahkan sebuah gunung, tentu itu lebih ringan untuk aku kerjakan daripada mengumpulkan al-Qur’an yang dia perintahkan kepadaku.
Aku berkata, “Bagaimana kalian berdua hendak melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?”
Abu Bakr menjawab, “Demi Allah, ini baik.”
Abu Bakr terus berusaha meyakinkan diriku sehingga Allah melapangkan dadaku kepada apa yang Dia telah lapangkan dada Abu Bakr dan Umar. Maka aku mulai menelusuri al-Qur’an. Aku mengumpulkan al-Qur’an dari pelepah kurma, dari batu yang pipih, dan dari dada manusia (hafalan mereka) sampai aku mendapatkan akhir surat at-Taubah bersama Abu Khuzaimah al-Anshari. Aku tidak mendapatkannya pada selainnya:
لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS at-Taubah: 128)
Suhuf (lembaran-lembaran al-Qur’an) itu berada di tangan Abu Bakr sampai dia wafat, kemudian di tangan Umar sepanjang hayatnya, kemudian berpindah kepada Hafshah binti Umar.
Baca sebelumnya: KISAH ABU BAKR – NASIHAT YANG MENYENTUH DAN KETEGUHAN DALAM MENGHADAPI KESULITAN
Baca sesudahnya: KISAH ABU BAKR – PERPISAHAN DENGAN ABU BAKR
(Dr Mahmud al-Mishri)