Ibadah merupakan tujuan penciptaan para makhluk, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS adz-Dzariyat: 56)
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Melainkan untuk Aku perintahkan kepada mereka agar beribadah kepada-Ku, dan Aku menyeru mereka untuk beribadah kepada-Ku.”
Sungguh, Allah Ta’ala telah melakukan hal itu, lalu Dia mengutus para rasul-Nya untuk memberi kabar gembira, memberi peringatan, menyeru kepada peribadatan hanya kepada-Nya, dan mengancam dari perbuatan syirik. Hal itu sebagaimana firman Allah Ta’ala:
اِنَّآ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖٓ اَنْ اَنْذِرْ قَوْمَكَ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ لَكُمْ نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌۙ اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاتَّقُوْهُ وَاَطِيْعُوْنِ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan perintah), ‘Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih.’ Dia (Nuh) berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku ini seorang pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kalian, (yaitu) sembahlah Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku.” (QS Nuh: 1-3)
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَآ اِلٰى ثَمُوْدَ اَخَاهُمْ صٰلِحًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ فَاِذَا هُمْ فَرِيْقٰنِ يَخْتَصِمُوْنَ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus kepada (kaum) Tsamud saudara mereka, Saleh (yang menyeru), ‘Sembahlah Allah.’ Tetapi tiba-tiba mereka (menjadi) dua golongan yang bermusuhan.” (QS an-Naml: 45)
Allah Ta’ala berfirman:
وَاِلٰى مَدْيَنَ اَخَاهُمْ شُعَيْبًاۙ فَقَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَارْجُوا الْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ
“Dan kepada penduduk Madyan (Kami telah mengutus) saudara mereka Syu’aib. Dia berkata, ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah, harapkanlah (pahala) hari akhir, dan janganlah kalian berkeliaran di bumi berbuat kerusakan.” (QS al-‘Ankabut: 36)
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَاِبْرٰهِيْمَ اِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاتَّقُوْهُ ۗذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika dia berkata kepada kaumnya, ‘Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.’ (QS al-‘Ankabut: 16)
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِيْ كُلِّ اُمَّةٍ رَّسُوْلًا اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul kepada setiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah tagut.’” (QS an-Nahl: 36)
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwa tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Aku. Maka sembahlah Aku.’” (QS al-Anbiya’: 25)
Allah Ta’ala banyak memerintahkan kepada tauhid dan melarang syirik di dalam al-Qur’an, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَقَالَ اللّٰهُ لَا تَتَّخِذُوْٓا اِلٰهَيْنِ اثْنَيْنِۚ اِنَّمَا هُوَ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ فَاِيَّايَ فَارْهَبُوْنِ
“Dan Allah berfirman, ‘Janganlah kamu menyembah dua ilah. Hanyalah Dia ilah yang satu. Maka hendaklah kepada–Ku saja kamu takut.’” (QS an-Nahl: 51)
Allah Ta’ala berfirman:
لَا تَجْعَلْ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَ فَتَقْعُدَ مَذْمُوْمًا مَّخْذُوْلًا وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًا
“Janganlah engkau mengadakan ilah yang lain selain Allah, nanti engkau menjadi tercela dan terhina. Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak.” (QS al-Isra’: 22-23)
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ تَعَالَوْا اَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ اَلَّا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا
“Katakanlah (Muhammad), ‘Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Rabb kepada kalian. Janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baiklah kepada ibu bapak.’” (QS al-An’am: 151)
Allah Ta’ala berfirman:
اِنَّهٗ مَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوٰىهُ النَّارُ ۗوَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ
“Sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan Surga baginya, dan tempatnya ialah Neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu.” (QS al-Ma’idah: 72)
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَلَقَدْ اُوْحِيَ اِلَيْكَ وَاِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَۚ لَىِٕنْ اَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ بَلِ اللّٰهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِّنَ الشّٰكِرِيْنَ
“Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu, ‘Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu, dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi. Karena itu, hendaklah Allah saja yang engkau sembah, dan hendaklah engkau termasuk orang yang bersyukur.” (QS az-Zumar: 65-66)
Allah Ta’ala memuji orang-orang yang beribadah kepada-Nya dan menjanjikan mereka dengan karunia dan rahmat-Nya. Dia juga mencela orang-orang yang menolak beribadah kepada-Nya dengan sombong dan mengancam mereka dengan Neraka.
Allah Ta’ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ
“Dan Rabb kalian berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagi kalian. Sesungguhnya orang-orang yang sombong yang tidak mau menyembah-Ku akan masuk Neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.’” (QS al-Mu’min: 60)
Allah Ta’ala juga berfirman:
لَنْ يَّسْتَنْكِفَ الْمَسِيْحُ اَنْ يَّكُوْنَ عَبْدًا لِّلّٰهِ وَلَا الْمَلٰۤىِٕكَةُ الْمُقَرَّبُوْنَۗ وَمَنْ يَّسْتَنْكِفْ عَنْ عِبَادَتِهٖ وَيَسْتَكْبِرْ فَسَيَحْشُرُهُمْ اِلَيْهِ جَمِيْعًا فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَيُوَفِّيْهِمْ اُجُوْرَهُمْ وَيَزِيْدُهُمْ مِّنْ فَضْلِهٖۚ وَاَمَّا الَّذِيْنَ اسْتَنْكَفُوْا وَاسْتَكْبَرُوْا فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًاۙ وَّلَا يَجِدُوْنَ لَهُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلِيًّا وَّلَا نَصِيْرًا
“al-Masih sama sekali tidak enggan menjadi hamba Allah, dan begitu pula para malaikat yang terdekat (kepada Allah). Dan barangsiapa enggan menyembah-Nya dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya. Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Allah akan menyempurnakan pahala bagi mereka dan menambah sebagian dari karunia-Nya. Sedangkan orang-orang yang enggan (menyembah Allah) dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih. Dan mereka tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah.” (QS an-Nisa’: 172-173)
Ibadah, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, adalah himpunan perkataan dan perbuatan yang dicintai dan dirahmati oleh Allah Ta’ala, baik yang zahir (tampak) maupun yang batin (tidak tampak). Salat, zakat, puasa, haji, jujur dalam berbicara, menunaikan amanat, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung silaturahmi, memenuhi janji, memerintahkan yang makruf, mencegah yang mungkar, berjihad melawan orang kafir dan orang munafik, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, hamba sahaya dan binatang ternak, berdoa, berzikir, membaca al-Qur’an, dan lain-lain termasuk dalam kategori ibadah. Begitu juga cinta kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, merasa takut kepada Allah Ta’ala dan bertobat kepada-Nya, mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya, bersabar terhadap hukum-Nya, bersyukur terhadap nikmat-nikmat-Nya, rida terhadap ketentuan dan keputusan-Nya, bertawakal kepada-Nya, mengharap rahmat-Nya, merasa takut kepada azab-Nya, dan lain-lain termasuk dalam kategori ibadah kepada Allah Ta’ala.
Landasan pokok ibadah
Ibadah memiliki dua landasan pokok:
Pertama: Tidak ada yang diibadahi kecuali Allah Ta’ala semata.
Kedua: Allah Ta’ala diibadahi sesuai dengan apa yang Dia perintahkan dan syariatkan, bukan dengan amalan-amalan bidah yang tidak diperintahkan.
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا
“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya aku hanya seorang manusia seperti kalian, yang telah menerima wahyu bahwa sesungguhnya Rabb kalian adalah Rabb Yang Mahaesa.’ Oleh karena itu, barangsiapa mengharap pertemuan dengan Rabbnya, hendaklah ia mengerjakan kebajikan dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS al-Kahfi: 110)
Allah Ta’ala berfirman:
بَلٰى مَنْ اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهٗٓ اَجْرُهٗ عِنْدَ رَبِّهٖۖ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Tidak! Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan berbuat baik, ia mendapat pahala di sisi Rabbnya. Dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS al-Baqarah: 112)
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَمَنْ اَحْسَنُ دِيْنًا مِّمَّنْ اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَّاتَّبَعَ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَاتَّخَذَ اللّٰهُ اِبْرٰهِيْمَ خَلِيْلًا
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedangkan ia mengerjakan kebaikan dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(–Nya).” (QS-an-Nisa’: 125)
Amal saleh adalah perbuatan baik, yaitu mengerjakan perkara-perkara yang baik. Perkara-perkara yang baik adalah segala yang dicintai oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni segala yang diperintahkan sebagai kewajiban dan anjuran. Jadi, segala yang termasuk bidah yang diada-adakan dalam agama, yang tidak disyariatkan tidak dicintai oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua itu tidak termasuk ke dalam perkara yang baik dan tidak termasuk ke dalam amal saleh. Sebagaimana perkara yang tidak boleh dilakukan seperti perbuatan keji dan kezaliman, bidah tidak termasuk ke dalam perkara yang baik dan amal saleh.
Adapun firman Allah Ta’ala:
وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا
“Dan janganlah ia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS al-Kahfi: 110)
dan firman-Nya:
اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ
“Menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah.” (QS al-Baqarah: 112)
Artinya adalah mengikhlaskan agama hanya untuk Allah Ta’ala semata.
Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku saleh, dan jadikanlah amal ini benar-benar ikhlas hanya untuk wajah-Mu. Janganlah Engkau jadikan sedikit pun darinya untuk seorang pun.”
al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata terkait firman Allah Ta’ala:
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُ
“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Mahapengampun.” (QS al-Mulk: 2)
Yaitu yang paling ikhlas dan paling tepat dengan ajaran syariat. Mereka bertanya, “Wahai Abu Ali, apa yang dimaksud dengan yang paling ikhlas dan paling tepat dengan ajaran syariat?” Ia menjawab, “Sesungguhnya apabila amal itu ikhlas dan tidak tepat dengan ajaran syariat, maka amal itu tidak akan diterima, dan apabila amal itu tepat dengan ajaran syariat tetapi tidak ikhlas, maka amal itu tidak akan diterima, sampai benar-benar ikhlas dan sesuai dengan ajaran syariat. Amal yang ikhlas adalah amal yang dikerjakan hanya untuk Allah Ta’ala, dan amal yang tepat adalah amal yang dikerjakan sesuai dengan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Rukun Ibadah
Ibadah memiliki tiga rukun, yaitu:
1. Mahabbah (rasa cinta).
2. Raja’ (berharap).
3. Khauf (rasa takut).
Ketiga rukun ini terkandung di dalam surat-surat al-Fatihah, yaitu firman Allah Ta’ala:
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
“Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.” (QS al-Fatihah: 2)
Ini merupakan dalil tentang mahabbah (rasa cinta), karena Zat yang tidak cintai tidak mungkin dipuji.
Firman Allah Ta’ala:
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
“Yang Mahapengasih, Mahapenyayang.” (QS al-Fatihah: 3)
Ini adalah dalil tentang raja’ (berharap), karena Allah Ta’ala memiliki sifat rahmah (kasih sayang).
Firman Allah Ta’ala:
مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
“Pemilik hari pembalasan.” (QS al-Fatihah; 4)
Ini mengharuskan kita takut kepada Allah Ta’ala karena keagungan, kemuliaan, dan kebijaksanaan-Nya.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman:
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
“Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan.” (QS al-Fatihah: 5) yaitu dengan ketiga rukun tersebut: mahabbah (rasa cinta), raja’ (berharap) dan khauf (rasa takut).
Ibadah tidak bermanfaat jika hanya didampingi oleh satu rukun saja, tanpa dua rukun yang lain. Oleh karena itu, sebagian kaum salaf berkata, “Barangsiapa beribadah kepada Allah Ta’ala dengan rasa cinta saja, maka ia termasuk kaum zindiq (munafik). Barangsiapa beribadah kepada Allah Ta’ala dengan berharap saja, maka ia termasuk kaum murji’ah. Barangsiapa beribadah kepada Allah Ta’ala dengan rasa takut saja, maka ia termasuk kaum haruri (khawarij). Dan barangsiapa beribadah kepada Allah Ta’ala dengan rasa cinta, berharap, dan rasa takut, maka dia benar-benar termasuk kaum mukmin yang bertauhid.”
Penjelasan dari perkataan di atas adalah bahwa pengakuan cinta kepada Allah Ta’ala tanpa diiringi sikap rendah diri, rasa takut, berharap, khawatir, segan, dan tunduk adalah pengakuan dusta. Oleh karena itu, kita melihat orang-orang yang mengaku cinta kepada Allah Ta’ala dengan cara seperti itu banyak terjerumus ke dalam kemaksiatan kepada Allah. Ia berhujah dalam hal itu dengan takdir Allah Ta’ala dan sedang menaati takdir-Nya. Ini adalah keadaan orang-orang musyrik yang berkata,
لَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَا عَبَدْنَا مِنْ دُوْنِهٖ مِنْ شَيْءٍ
“Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu pun selain Dia.” (QS an-Nahl: 35)
Juga firman Allah Ta’ala:
وَقَالُوْا لَوْ شَاۤءَ الرَّحْمٰنُ مَا عَبَدْنٰهُمْ
“Dan mereka berkata, ‘Sekiranya (Allah) Yang Mahapengasih menghendaki, tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat).” (QS az-Zukhruf: 20)
Sesungguhnya orang yang cintanya sejati adalah orang yang mengerjakan apa yang dikehendaki oleh Rabbnya. Ia mencintai segala yang dicintai dan diridai oleh-Nya, dan membenci segala yang dibenci dan dimurkai oleh-Nya. Sesungguhnya perkara-perkara yang dicintai dan dibenci oleh Allah Ta’ala dapat diketahui dan dipelajari melalui jalan syariat dan dapat diterapkan dengan cara mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, al-Hasan rahimahullah berkata, “Suatu kaum mengaku cinta kepada Allah Ta’ala, maka Allah Ta’ala menguji mereka dengan ayat,
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Mahapengampun, Mahapenyayang.” (QS Ali ‘Imran: 31)
Barangsiapa mengaku cinta kepada Allah Ta’ala tetapi tidak mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia seorang pendusta. Barangsiapa larut dalam berharap, ia akan semakin berani untuk mengerjakan berbagai kemaksiatan kepada Allah Ta’ala dan merasa aman dari tipu daya Allah Ta’ala. Padahal Allah Ta’ala telah berfirman:
اَفَاَمِنُوْا مَكْرَ اللّٰهِۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْخٰسِرُوْنَ
“Atau apakah mereka merasa aman dari siksa Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa aman selain orang-orang yang rugi.” (QS al-A’raf: 99)
Barangsiapa larut dalam rasa takut, ia akan semakin berburuk sangka terhadap Rabbnya, putus asa dari kasih sayang-Nya, dan putus harapan dari rahmat-Nya. Padahal Allah Ta’ala berfirman:
اِنَّهٗ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ
“Sesungguhnya yang berputus-asa dari rahmat Allah hanyalah orang-orang yang kafir.” (QS Yusuf: 87)
Allah Ta’ala juga berfirman:
قَالَ وَمَنْ يَّقْنَطُ مِنْ رَّحْمَةِ رَبِّهٖٓ اِلَّا الضَّاۤلُّوْنَ
“Dia (Ibrahim) berkata, ‘Tidak ada yang berputus-asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang yang sesat.” (QS al-Hijr: 56)
Jadi, merasa aman dari tipu daya Allah Ta’ala merupakan suatu kerugian, berputus asa dari rahmat Allah Ta’ala merupakan suatu kekufuran, berputus harapan dari kasih sayang Allah Ta’ala merupakan kesesatan dan kezaliman, sedangkan beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan rasa cinta, rasa takut, dan berharap merupakan wujud dari tauhid dan keimanan.”
Baca juga: IBADAH ADALAH HAK ALLAH
Baca juga: SEIMBANG DALAM BERIBADAH
Baca juga: PEMBATAL-PEMBATAL AMAL IBADAH
Baca juga: ZAKAT FITRAH
(Dr Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi)