Nifas adalah darah yang keluar dari rahim perempuan yang disebabkan oleh kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran, sesudahnya atau sebelumnya dua atau tiga hari yang disertai dengan rasa sakit.
Menurut asy-Syafi’iyyah, nifas tidak terjadi kecuali jika berbarengan dengan kelahiran atau setelahnya. Adapun sebelum kelahiran, sekalipun disertai dengan rasa sakit, tidak dianggap nifas. Wallahu a’lam. Pendapat ini adalah pendapat diunggulkan para pakar kedokteran, sebagaimana yang dipaparkan oleh Abu Umar Dibyan bin Muhammad Dibyan dalam kitabnya al-Haid wan Nifas.
Masa Nifas
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Adalah perempuan-perempuan nifas dimasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk (tidak puasa dan salat) selama empat puluh hari.” (Hasan sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam al-Irwa’)
at-Tirmidzi berkata, “Ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta genarasi setelahnya sepakat bahwa perempuan nifas harus meninggalkan salat selama empat puluh hari. Jika ia telah suci sebelum 40 hari, maka hendaklah ia mandi dan salat.” Hal ini berdasarkan pada batas umum, bahwa nifas umumnya berlangsung selama 40 hari. Sebagian ulama berpendapat bahwa pada kondisi-kondisi tertentu masa nifas kemungkinan bisa lebih dari 40 hari, sebagaimana kemungkinan bisa berkurang.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak ada batas minimal atau maksimal pada nifas. Seandainya seorang perempuan mendapati darah lebih dari 40, 60, atau 70 hari lalu berhenti, maka itu adalah nifas. Jika darah itu berlanjut terus, maka itu adalah darah kotor. Bila terjadi demikian, maka batasnya adalah 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum, sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadis.”
Yang lebih utama adalah membatasi batas maksimal masa nifas hingga 40 hari. Salain banyak hadis yang menyatakan hal itu, juga karena para dokter menetapkan dan menguatkan batasan ini. Mereka berpandangan bahwa masa nifas tidak mungkin lewat dari 40 hari.
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jika darah nifas keluar lebih dari 40 hari dan darah itu bertepatan dengan masa biasa haid, maka darah itu adalah darah haid. Jika tidak bertepatan dengan masa haid, maka darah itu adalah darah istihadah.”
Batas Minimal Masa Nifas
Terdapat berbagai pendapat tentang masa nifas. Yang benar adalah bahwa tidak ada batas minimal masa nifas. Kapan saja perempuan nifas mendapatkan dirinya telah suci, maka hendaklah ia mandi. Yang dianggap pada nifas adalah keberadaan darah.
Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa:
1️⃣ Jika darah nifas seorang perempuan melebihi 40 hari, sedangkan kebiasaan darah nifasnya memang melebihi masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, maka hendaklah ia menunggu hingga darah berhenti.
2️⃣ Jika masa haid bertepatan dengan masa nifas yang hampir berakhir, maka ia tetap menunggu sampai habis masa haidnya.
3️⃣ Jika darahnya terus-menerus keluar, itu berarti mustahadah. Dalam hal ini, hendaklah ia kembali kepada hukum mustahadah.
4️⃣ Jika ia telah suci sebelum 40 hari, maka ia dalam keadaan suci. Untuk itu hendaklah ia mandi, salat, puasa, dan boleh disetubuhi oleh suaminya. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Kecuali jika darah terputus kurang dari satu hari, maka tidak ada hukum baginya, yakni ia masih dalam status nifasnya.”
5️⃣ Jika ia melahirkan dan tidak terlihat darah dan keadaan seperti ini jarang terjadi, maka hendaklah ia berwudu, salat, dan tidak ada kewajiban atasnya mandi.
6️⃣ Jika ia telah suci sebelum 40 hari, kemudian darah kembali keluar masih dalam masa 40 hari, maka dalam al-Mughni disebutkan dua riwayat:
🟢 Bahwa darah itu adalah bagian dari darah nifas, maka ia harus meninggalkan salat dan puasa.
🟢 Bahwa darah itu diragukan, maka hendaklah ia berpuasa dan salat, kemudian ia harus mengkada (mengganti) puasa tersebut sebagai tindakan kehati-hatian. Suaminya tidak diperkenankan menyetubuhinya.
Pendapat yang diunggulkan oleh Syekh al-‘Utsaimin adalah menjadikan qarinah–qarinah yang terdapat pada darah itu sebagai patokan. Jika diketahui bahwa darah itu masih darah nifas, maka ia berada dalam keadaan nifas. Jika diketahui dengan beberapa qarinah bahwa darah itu bukan darah nifas, maka ia berada dalam hukum suci. Wallahu a’lam.
Tetapnya Hukum Nifas
Nifas tidak dapat ditetapkan, kecuali jika perempuan melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia, maka sebagian ulama berpandangan bahwa darah yang keluar bukanlah darah nifas. Dan pendapat mereka tentang perkara ini terangkum sebagai berikut:
🟦 Jika keguguran itu terjadi sebelum 40 hari, maka yang lebih utama bahwa darah yang keluar tidak dihukumi sebagai darah nifas. Itu adalah darah rusak sehingga ia harus mandi, salat, dan berpuasa.
🟦 Jika keguguran terjadi setelah 80 hari, maka darah tersebut adalah darah nifas.
🟦 Jika keguguran terjadi antara 40 dan 80 hari, maka hendaklah ia memperhatikan janin yang gugur. Jika pada janin yang gugur tampak tanda-tanda penciptaan, maka darah itu adalah darah nifas. Jika tidak tampak, maka darah itu tidak dianggap sebagai darah nifas.
Syekh al-Albani rahimahullah berpendapat bahwa darah yang keluar seusai keguguran dianggap sebagai nifas dalam tahapan manapun dari tahapan-tahapan yang telah dilalui janin. Aku (penulis) memandang bahwa pendapat inilah yang unggul karena tidak adanya dalil yang memisahkan antara keguguran yang terjadi sebelum 40 hari dan keguguran yang terjadi setelah 40 hari. Wallahu a’lam.
Baca juga: HUKUM HAID
Baca juga: HUKUM ISTIHADAH
Baca juga: HUKUM MEMAKAI PIL PENCEGAH HAID KETIKA HAJI
(Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)