HUKUM HAID

HUKUM HAID

Haid secara etimologi berarti mengalir, secara terminologi adalah darah yang dilepaskan oleh rahim perempuan yang telah mencapai akil balig pada waktu-waktu tertentu.

Syekh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Haid adalah darah yang alami (normal), bukan darah yang disebabkan oleh penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Karena darah alami, darah tersebut berbeda-beda sesuai kondisi, lingkungan dan iklim, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap perempuan.

Sifat Darah Haid

Darah haid keluar dari rahim perempuan, berwarna hitam, memiliki sifat yang panas, seakan-akan habis terbakar.

Haid adalah darah yang mengalir dengan sendirinya, tidak melecetkan, memiliki bau yang khas yang membedakannya dari darah biasa, keluar dari semua kantong darah rahim, baik urat nadi atau urat yang bercampur dengan sel-sel dinding rahim yang berguguran.

Usia Permulaan Haid

Tidak ada batasan usia permulaan masa haid. Permulaan masa haid berbeda-beda sesuai dengan tabiat perempuan, lingkungan, dan iklim.

Syekh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang batas usia perempuan yang haid, dimana seorang perempuan tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut. ad-Darimi, setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah ini, berkata, ‘Itu semua menurutku adalah keliru, sebab yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Sebanyak apapun, bagaimana pun kondisinya, dan berapa pun usianya, darah itu wajib dihukumi sebagai darah haid. Wallahu a’lam.’ Pendapat ad-Darimi ini adalah pendapat yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Jadi, kapan pun seorang perempuan mendapatkan darah haid, berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai sembilan tahun atau di atas lima puluh tahun. Hal itu karena Allah dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut.”

Masa Haid

Ibnu Mundzir rahimahullah berkata, “Sejumlah (ulama) berkata, ‘Masa haid tidak mempunyai batasan jumlah hari minimal atau maksimal.’”

Syekh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam lbnu Taimiyah. Dan pendapat ini adalah pendapat yang benar, karena berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan logika.” Kemudian beliau memaparkan dalil-dalilnya.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan sejumlah hukum dalam al-Kitab dan as-Sunnah adalah sebutan haid. Allah Ta’ala tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, dan tidak juga masa suci antara dua haid, padahal urusan itu merata di tengah umat dan mereka membutuhkan penjelasan tentang hal itu. Bahasa pun tidak membedakan antara satu batasan dengan batasan lainnya. Maka, barangsiapa menentukan sesuatu dalam masalah ini, berarti ia telah menyalahi al-Kitab dan as-Sunnah.”

Berdasar keterangan di atas, pendapat mayoritas fukaha bahwa batas minimal masa haid adalah sehari semalam dan batas maksimal adalah lima belas hari atau yang semisalnya adalah tidak memiliki sandaran dalil.

Syekh al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Di antara perempuan ada yang tidak berhaid pada asalnya, dan di antara mereka ada yang berhaid dalam beberapa saat saja kemudian suci.”

Masa Suci Antara Dua Haid

Kebanyakan fukaha membatasi masa suci antara dua masa haid, berikut perbedaan mereka dalam menentukan masa tersebut. Yang benar adalah bahwa haid tidak memiliki masa suci antara dua haid, tidak ada batas minimal dan maksimal, karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan hal itu.

Haid Perempuan Hamil

Pada asalnya perempuan hamil tidak haid. Dalil untuk asal ini adalah dari al-Qur’an dan indrawi.

Dari al-Qur’an Allah menyebutkan idah perempuan yang dicerai adalah tiga kali suci. Sedangkan idah perempuan hamil adalah ketika ia melahirkan. Seandainya perempuan hamil berhaid, niscaya Allah menjadikan idahnya tiga kali suci.

 Dari indrawi Imam Ahmad berkata, “Kaum perempuan dapat mengetahui adanya kehamilan dengan berhentinya haid.” Ini berdasarkan atas hukum asal. Tapi ada kalanya perempuan melihat darah (di saat hamil). Dengan demikian, perempuan hamil yang melihat darah hukumnya adalah sebagai berikut:

(a) Jika ia melihat darah beberapa hari sebelum kelahiran dengan disertai rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas.

(b) Jika ia melihat darah jauh hari sebelum kelahiran atau mendekati kelahiran tanpa disertai rasa sakit hendak melahirkan, maka yang demikian bukan darah nifas. Yang benar adalah darah haid, karena tidak ada keterangan dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya haid pada perempuan hamil, meskipun biasanya perempuan tidak haid pada waktu hamil.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Perempuan hamil terkadang mengalami haid, demikian mazhab asy-Syafi’i, dan al-Baihaqi menceritakan satu riwayat dari Ahmad, bahkan diceritakan bahwa ia telah rujuk pada pendapat tersebut.”

Dengan demikian, pada haid perempuan hamil berlaku apa-apa yang berlaku pada haid perempuan tidak hamil, kecuali dua hal:

Pertama: Diharamkan menalak perempuan tidak hamil dalam keadaan haid. Ini disebut talak bidah. Adapun menalak perempuan hamil, maka hal itu diperbolehkan, sekalipun ia sedang berhaid pada waktu hamilnya, dan ia menceraikannya.

Kedua: Idah perempuan hamil tidak berakhir dengan hitungan haid, berbeda dengan idah perempuan haid yang tidak hamil, karena idah perempuan hamil tidak berakhir kecuali dengan melahirkan, meskipun pernah haid ketika hamil atau tidak. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَاُولَاتُ الْاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS ath-Thalaq: 4)

Setelah menelaah kitab al-Haid wa an-Nifas karya Abu Umar Dibyan bin Muhammad bin ad-Dibyan dimana ia mengunggulkan pendapat para ahli kedokteran bahwa perempuan hamil tidak pernah haid dan darah yang ia lihat di masa hamilnya, maka dapat disimpulkan bahwa darah itu adalah darah pendarahan, sakit atau luka. Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa perempuan hamil tidak haid adalah pendapat yang unggul. Ini adalah pendapat yang masyhur dari mazhab al-Hanafiyah, al-Hanabilah, dan qaul qadim asy-Syafi’i.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Semua darah yang dilihat oleh perempuan hamil selama ia belum melahirkan anak yang paling terakhir dalam perutnya, maka darah itu bukan darah haid dan nifas.”

Tanda-tanda Suci dari Haid

Suci dari haid dapat diketahui dengan keluarnya al-qashshatul baidha, yaitu cairan putih yang keluar ketika haid berhenti. Jika cairan putih itu bukan kebiasaan seorang perempuan, maka alamat sucinya adalah al-jifaf (kering) yang dapat diketahui dengan meletakkan segumpal kapas di dalam kemaluannya. Jika kapas itu tidak berwarna merah darah, warna keruh (al-kudrah), dan warna kuning (ash-shufrah), maka yang demikian itu adalah alamat sucinya.

Beberapa Peringatan

1️⃣ Jika masa haid lebih lama atau lebih cepat dari biasanya, seperti seorang perempuan biasa haid enam hari, lalu bertambah menjadi tujuh hari atau sebaliknya, maka pendapat yang benar adalah bahwa kapan saja ia mendapatkan darah haid, maka ia berada dalam keadaan haid, dan kapan saja ia mendapatkan alamat suci, maka ia dalam keadaan suci.

2️⃣ Jika haid maju atau mundur dari biasanya, seperti seorang perempuan biasanya haid pada awal bulan, lalu tiba-tiba haid di akhir bulan atau sebaliknya, maka kapan saja ia mendapatkan darah haid, maka ia berada dalam keadaan haid, dan kapan saja ia mendapatkan alamat suci, maka ia dalam keadaan suci. Ini sama persis dengan permasalahan yang lalu. Ini adalah pendapat mazhab asy-Syafi’i, dan merupakan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan dianggap benar oleh Syekh al-Utsaimin, serta dikuatkan oleh pengarang kitab al-Mughni.

3️⃣ Hukum ash-shufrah (cairan berwarna kuning), al-kudrah (cairan berwarna keruh), dan semisalnya, dimana seorang perempuan mendapatkan cairan berwarna kuning atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman atau tidak mendapatkan selain merasa lembab, maka hal ini memiliki dua keadaan:

Pertama: Jika ia mendapatkan hal itu pada saat haid atau bersambung dengan haid sebelum suci, maka hukum haid tetap berlaku baginya. Hal ini berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa kaum perempuan pernah mengirim kepadanya ad-durjah berupa kapas yang masih terdapat padanya warna kuning. Aisyah berkata, “Jangan tergesa-gesa sebelum kalian melihat cairan putih.” (Hadis sahin. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Malik, dan al-Baihaqi. Disahihkan oleh asy-Syekh al-Albani dalam al-Irwa’)

ad-Durjah adalah sesuatu yang diletakkan oleh perempuan di dalam kemaluannya untuk mengetahui bekas haid yang masih tersisa. al-Kursuf adalah kapas, sedang al-qashshatul baidha adalah cairan putih yang dikeluarkan oleh rahim saat haid terputus.

Kedua: Jika ia mendapatkan hal itu pada masa suci, maka hal itu tidak dianggap sedikit pun dan tidak dianggap sebagai hukum haid. Hal ini berdasarkan hadis dari Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Kami tidak menganggap sedikit pun (cairan) darah berwarna kuning dan berwarna keruh sesudah masa suci.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Bukhari)

4️⃣ Darah haid keluar secara terputus-putus, seperti seorang perempuan mendapatkan sehari keluar darah dan sehari berikutnya bersih (tidak mengeluarkan darah) dan semisalnya, maka hal itu juga memiliki dua keadaan:

Pertama: Jika keadaan itu selalu terjadi pada seorang perempuan, maka darah itu adalah darah istihadah.

Kedua: Jika keadaan itu tidak selalu terjadi pada seorang perempuan, tetapi kadangkala saja datang dan ia mempunyai saat suci yang tepat, maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukan keadaan ketika tidak keluar darah. Apakah hal itu merupakan masa suci atau termasuk hukum haid? Pendapat paling pertengahan dalam hal ini adalah pendapat shahibul Mughni, sebagai berikut:

✳️ Jika berhentinya darah kurang dari satu hari, maka yang benar adalah bahwa masa itu masih terhitung sebagai masa haid, tidak dianggap suci.

✳️ Jika ia mendapatkan bukti bahwa ia suci, seperti mendapatkan cairan putih, maka yang benar adalah di masa itu ia telah dianggap suci, baik cairan tersebut sedikit maupun banyak, kurang dari sehari atau lebih dari sehari.

5️⃣ Jika seorang perempuan telah sampai pada usia menopause dan darah haid telah terputus, lalu kemudian darah kembali kepadanya, apakah darah itu dianggap sebagai darah haid? Yang unggul adalah bahwa kapan saja darah itu datang dengan segala sifatnya berupa warna dan bau, maka darah itu adalah darah haid. Jika warnanya kuning dan keruh, maka ia tidak dianggap darah haid sedikit pun. Jika ia mendapatkan hanya setetes darah tanpa bersambung, maka ia tidak dianggap darah haid sedikit pun.

6️⃣ Seorang perempuan yang mendapatkan bercak darah yang tidak bersambung pada masa sucinya, maka ia tidak perlu menghiraukannya dan tidak menganggapnya sebagai darah haid sedikit pun, karena terkadang darah itu disebabkan memikul sesuatu yang berat atau sakit.

Baca juga: HUKUM DARAH

Baca juga: HUKUM ISTIHADAH

Baca juga: HUKUM NIFAS

(Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)

Fikih