Telah dijelaskan bahwa rukun wudhu ada empat: dua dibasuh, satu diusap, dan satu lagi dibasuh dan diusap.
1️⃣ Wajah
Wajah tidak mungkin diusap, kecuali jika pada wajah terdapat perban yang menutupi luka dan sebagainya. Jika seseorang menutupi wajahnya dengan masker atau selainnya agar terhindar dari terik matahari, maka ia tidak boleh mengusap masker. Ia harus membuka masker dan membasuh wajahnya. Jika ia dalam keadaan darurat, maka ia boleh mengusap masker sebagai pengganti membasuh wajah.
2️⃣ Kedua tangan
Kedua tangan juga tidak boleh diusap, tetapi dibasuh kecuali dalam keadaan darurat, seperti pada tangan terdapat luka yang membahayakan jika terkena air. Ia menempelkan perban atau plester pada tangan supaya tidak terkena air. Dalam keadaan demikian ia boleh mengusap perban atau plester tersebut.
3️⃣ Kepala
Kepala cukup diusap. Penyuciannya lebih ringan daripada selainnya. Jika seorang perempuan memakai pacar pewarna pada rambutnya atau kepalanya diikat dengan serban saat ihram, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia cukup mengusap serban tersebut, tanpa harus melepasnya.
4️⃣ Kedua kaki
Kedua kaki bisa dibasuh dan bisa juga diusap, karena dalam al-Qur’an ada dua cara membaca kata arjul: bisa dengan fathah (wa arjulakum) dan bisa dengan kasrah (wa arjulikum).
Bacaan (wa arjulikum) diathafkan dengan (wamsahu biru’usikum) yang artinya usaplah kaki kalian.
Bacaan (wa arjulakum) diathafkan dengan (faghsilu wujuhakum) yang artinya basuhlah kaki kalian.
Pertanyaan: Kapan kaki diusap?
Jawaban: Kaki boleh diusap jika seseorang memakai kaos kaki atau sepatu (khuf). Kaos kaki di sini boleh yang terbuat dari kapas, wool dan sebagainya. Sedangkan sepatu (khuf) di sini yang terbuat dari kulit atau yang serupa dengan kulit. Jika seperti itu maka boleh mengusapnya, asalkan memenuhi empat syarat:
✳️ Suci. Yakni, sepatu (khuf) atau kaos kaki itu suci. Jika keduanya terbuat dari kulit yang najis, maka mengusapnya tidak sah karena najis adalah kotoran yang tidak akan suci walaupun dicuci dan dibersihkan. Jika sepatu (khuf) atau kaos kaki itu najis, maka sudah maklum bahwa seseorang tidak boleh shalat mengenakan sepatu (khuf) atau kaos kaki itu sehingga tidak boleh pula mengusapnya.
✳️ Ketika memakainya harus dalam keadaan suci dengan air. Jika ia memakai sepatu (khuf) atau kaos kaki dalam keadaan suci dengan tayamum, maka ia tidak boleh mengusapnya. Seandainya seseorang melakukan perjalanan dan ia memakai sepatu dalam keadaan suci karena tayamum, maka ia tidak boleh mengusapnya, karena bersuci dengan tayamum hanya berkaitan dengan tangan dan wajah, tidak dengan kaki.
Syarat-syarat ini diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mughirah bin Syu’bah,
فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ
“Karena sesungguhnya aku memakainya dalam keadaan suci.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
✳️ Mengusapnya untuk menghilangkan hadas kecil saja. Adapun untuk menghilangkan hadas besar (mandi), maka seseorang tidak boleh hanya mengusap kedua sepatu (khuf) atau kaos kaki. Bahkan dalam mandi besar seseorang harus membuka (khuf) sepatu atau kaos kakinya dan harus membasuh kedua kakinya, karena janabah tidak mungkin disucikan hanya dengan mengusap kedua sepatu (khuf) atau kaos kaki.
✳️ Berada pada waktu tertentu yang ditentukan syariat, yaitu sehari semalam bagi orang yang mukim, dan tiga hari tiga malam bagi orang yang melakukan perjalanan.
Pertanyaan: Kapan waktu itu dimulai?
Jawaban: Dimulai sejak pengusapan pertama setelah hadas. Adapun sebelum pengusapan pertama, maka itu bukan awal masa pengusapan.
Jika seseorang memakai sepatu dalam keadaan suci (dengan berwudhu) pada Selasa pagi dan ia tetap dalam keadaan suci sampai shalat Isya, kemudian tidur pada malam Rabu, lalu ketika bangun untuk shalat Subuh ia mengusap sepatunya, maka hari Selasa itu tidak terhitung masa pengusapan karena ia belum mengusap sepatu pada hari itu. Masa pengusapan dihitung sejak Subuh hari Rabu.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam bagi orang yang melakukan perjalanan (musafir) dan sehari semalam bagi orang yang mukim.” (HR Muslim)
Shafwan bin Asal berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengusap sepatu kami selama tiga hari tiga malam jika kami dalam perjalanan.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, an-Nasa-i, Abdul Razzaq, Ahmad, Said bin Manshur dan yang lainnya)
Yang dimaksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini adalah waktu setelah pengusapan, bukan waktu setelah pemakaian.
Orang yang mukim diberi waktu pengusapan sehari semalam atau dua puluh empat jam, sedangkan orang yang melakukan perjalanan (musafir) diberi waktu tiga hari tiga malam atau tujuh puluh dua jam.
Jika seorang yang mukim mengusap sepatunya, lalu bepergian sebelum masa pengusapannya habis, maka ia menyempurnakan pengusapan musafir, yaitu tiga hari tiga amalam. Misalnya seseorang memakai sepatu hari ini untuk mengerjakan shalat Subuh. Ia mengusap sepatu ketika akan melakukan shalat Zuhur. Setelah shalat Zuhur ia melakukan perjalanan. Maka ia boleh mengusap sepatu selama tiga hari. Sebaliknya, ketika seseorang berniat mengusap sepatu untuk bepergian (musafir), tetapi kembali dan mukim, maka ia menyempurnakan mengusap sepatu bagi seorang mukim, karena yang menjadi patokan adalah akhirnya (mukim), bukan awalnya.
Jika masa pengusapan sepatu telah habis dan ia masih dalam keadaan suci, maka kesuciannya tidak batal. Jika kesuciannya batal, maka ia harus melepas kedua sepatunya dan membasuh kedua kakinya.
Jika ia melepas kedua sepatunya atau kaos kakinya setelah mengusapnya, maka ia dalam keadaan suci dan kesuciannya tidak batal. Jika ia ingin berwudhu, maka ia harus membasuh kedua kakinya setelah sepatunya dilepas.
Kaidah dalam masalah ini adalah: Jika sesuatu yang diusap dilepas, maka sesuatu itu tidak boleh diusap lagi. Kedua kaki harus dibasuh, dan ia berwudhu seperti biasa.
Baca juga: BEBERAPA CATATAN TENTANG KESUCIAN PAKAIAN, BADAN, DAN TEMPAT SHALAT
Baca juga: MENGUSAP SEPATU DAN PENUTUP
Baca juga: MENGUSAP JABIRAH
(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)