Di antara syarat sah salat adalah suci pakaian, badan dan tempat salat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan kesucian ketiganya adalah sebagai berikut:
1. Jika najis mengenai pakaian orang yang sedang salat, dan ia mengetahui letak najis itu, maka ia harus mengulangi salatnya. Demikian menurut pendapat mayoritas ulama. Jika ia tidak mengetahui letak najis atau ia tahu tapi lupa, maka salatnya sah. Hal itu berdasarkan firman Allah Ta’ala:
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS al-Baqarah: 286)
Ketetapan ini juga berlaku bagi orang yang tidak memiliki pakaian lain yang suci (selain pakaian yang terkena najis tersebut)
Jika di tengah salat ia mengetahui letak najis dan ia mampu menghilangkannya, maka ia mesti menghilangkannya saat itu juga. Jika ia tidak mampu menghilangkannya, maka salatnya batal menurut pendapat yang mengatakan bahwa bersihnya pakaian dari najis merupakan syarat sah salat, dan salatnya sah menurut pendapat yang mengatakan bahwa bersihnya pakaian dari najis merupakan wajib salat, bukan syarat salat.
2. Seseorang tidak mungkin salat kecuali di tempat yang najis, seperti penjara. Dalam keadaan demikian ia tetap harus salat dan tidak perlu mengulangnya. Cara salat di tempat yang najis adalah sebagai berikut: Jika tempat itu kering, maka ia salat seperti biasa. Jika basah, maka ia salat dengan duduk di atas kedua kakinya hingga ia tidak terkotori najis. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (QS at-Taqhabun: 16)
Ia harus menjauhi najis sesuai kemampuan dan berisyarat ketika sujud hingga ia tidak menyentuh najis.
3. Seseorang tidak mengetahui letak najis di pakaiannya. Dalam keadaan demikian ia hendaklah berupaya mencari tahu letaknya. Jika ternyata ia tidak menemukan letak najis berdasarkan dugaan kuatnya, maka ia harus mencuci pakaian itu secara keseluruhan.
4. Barangsiapa tersamar antara pakaian yang suci dan pakaian yang najis, maka hendaklah ia berupaya memilih pakaian yang suci sesuai dengan dugaan kuatnya. Kemudian ia salat dengan menggunakan pakaian tersebut. Jika ternyata ijtihadnya berubah pada salat yang lain, maka ia salat berdasarkan ijtihad yang baru. Ia tidak perlu mengulangi salat yang pertama.
5. Salat orang yang sambil menggendong anak kecil adalah sah. Terkait pakaian yang ia kenakan, pendapat yang unggul adalah bahwa pakaian itu tetap suci selama ia tidak meyakini ada najis di sana. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah salat sambil menggendong Umamah binti Abul Ash.
6. Seseorang salat sambil membawa kantong kotoran (air kencing dan tinja). Apakah salatnya sah? Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat yang unggul adalah tidak membawa kantong kotoran ketika sedang salat.
7. Seseorang salat di atas tikar atau permadani. Pada bagian tertentu alas salat tersebut terdapat najis. Jika ia salat di bagian alas yang suci, maka salatnya sah. Begitu juga, jika ia salat di atas ranjang yang tiang-tiangnya tegak di atas tempat yang najis, maka salatnya sah.
8. Seseorang menghamparkan sesuatu di atas benda najis, lalu ia salat di atasnya. Dalam keadaan demikian salatnya sah, karena ia tidak bersentuhan langsung dengan najis dan tidak juga membawanya.
9. Pakaian atau badan seseorang terkena najis yang kering. Ia mengibaskan pakaiannya sehingga najis tersebut tidak tersisa sedikit pun. Kemudian ia salat. Maka salatnya sah berdasarkan kesepakatan ulama.
10. Seseorang boleh salat dengan mengenakan pakaian haid atau pakaian yang sebelumnya digunakan untuk bersetubuh, jika pakaian itu benar-benar bebas dari najis. Mereka berkata, “Diperbolehkan salat dengan mengenakan pakaian anak kecil, orang kafir, pembantu, peminum khamar, dan lain sebagainya, jika pakaian itu benar-benar terbebas dari najis. Namun mengenakan pakaian selain semua itu adalah lebih utama.”
Baca juga: MENJAGA KESUCIAN PAKAIAN, BADAN, DAN TEMPAT SALAT
Baca juga: BOLEHKAH MENGHILANGKAN NAJIS DENGAN SELAIN AIR?
(Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)