MENGUSAP JABIRAH

MENGUSAP JABIRAH

Jabirah adalah potongan kayu yang dibebatkan di bagian tubuh yang tulangnya retak atau patah agar tulang tersebut tersambung kembali. Di antara bentuk jibarah adalah gips.

Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengusap di atas jabirah dengan perbedaan sebagai berikut:

Mayoritas ulama berpendapat bahwa mengusap jabirah disyariatkan ketika berwudu dan mandi. Orang yang mengusap di atas jibarah menyempurnakan pensucian dengan membasuh anggota tubuh yang lain.

Ulama yang lain berpendapat bahwa mengusap jabirah tidak diperbolehkan karena tidak disyariatkan. Kemudian mereka berbeda menjadi dua pendapat:

Pertama: Kewajiban membasuh anggota tubuh yang dibebat gugur karena Allah Ta’ala tidak membebankan seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Kedua: Orang yang anggota tubuhnya dibebat harus bertayamum untuk anggota tubuh yang dibebat dan berwudu atau mandi untuk anggota tubuh yang tersisa.

Mayoritas ulama berdalil dengan hadis dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dimana ia berkata:

Kami pernah mengadakan perjalanan. Salah seorang dari kami tertimpa batu sehingga kepalanya terluka. Lalu ia mimpi bersetubuh. Ia pun bertanya kepada sahabat-sahabatnya, “Apakah menurut kalian ada keringanan bagiku untuk bertayamum?”

Mereka menjawab, “Menurut kami engkau tidak mendapatkan keringanan untukmu, karena engkau masih mampu menggunakan air.”

Ia pun mandi, kemudian meninggal dunia.

Ketika kami berada di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kami menceritakan peristiwa itu kepada beliau.

Beliau bersabda,

قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلاَّ سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ، إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَ ـ أَوْ ‏ يَعْصِبَ ـ‏ عَلَى جُرْحِهِ خِرْقَةً، ثُمَّ يَمْسَحَ عَلَيْهَا، وَيَغْسِلَ سَائِرَ جَسَدِهِ

Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya bila tidak tahu? Sesungguhnya obat kebodohan tidak lain adalah bertanya. Sesungguhnya ia cukup bertayamum dan membalut lukanya dengan sepotong kain, lalu ia mengusap atasnya dan membasuh anggota tubuh yang lain.” (HR Abu Dawud)

Aku (Syekh al-Azazy) berkata, “Pada sanad hadis ini terdapat kelemahan, yaitu seorang rawi yang bernama az-Zubair bin Khariq. Ia tidak kuat. Hadis ini memiliki penguat dari hadis Ibnu Abbas. Akan tetapi, pada teksnya tidak terdapat kata ‘mengusap pembalut’, sedangkan posisi hadis dari Ibnu Abbas hanya sebagai penguat. Oleh karena itu, tambahan kata ini (yaitu mengusap jabirah) tetap berstatus lemah yang tidak dapat dikuatkan oleh riwayat kedua.

Kelompok ulama yang lain (selain mayoritas ulama) berdalil akan tidak disyariatkannya mengusap jabirah adalah karena tidak ada satu hadis sahih pun yang menyatakan hal itu. Sedangkan untuk bertayamum, mereka berdalil dengan riwayat dari Jabir di atas yang ditambah dengan penguat dari hadis Ibnu Abbas. Lafaznya adalah: Seorang laki-laki berada dalam keadaan junub pada musim dingin. Lalu ia bertanya kepada sahabat-sahabatnya. Ia diperintahkan untuk mandi, tetapi kemudian meninggal. Hal itu dilaporkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Apa urusan mereka? Semoga Allah membunuh mereka -beliau mengulanginya sampai tiga kali-. Sesungguhnya Allah telah menjadikan tanah -atau tayamum- sebagai pensuci.” (HR Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah mensahihkan hadis ini, al-Hakim, dan disepakati oleh adz-Dzahabi)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Jika seseorang junub dan padanya terdapat luka atau cacar, lalu ia khawatir kebinasaan menimpa dirinya jika ia mandi, maka ia mesti bertayamum dengan tanah (debu).” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, al-Baihaqi, al-Hakim, dan Ibnul Jarud)

Atas pertimbangan di atas, maka pendapat inilah yang unggul, yaitu tidak disyariatkan mengusap jabirah. Yang diwajibkan atas jabirah hanyalah bertayamum, karena sahihnya berita yang menyebutkan hal itu dan lemahnya riwayat yang mengusap jabirah.

Orang yang berpendapat tidak ada keharusan bertayamum dan mengusap jabirah dan berpandangan bahwa seseorang cukup mandi dan tidak perlu membasuh anggota tubuh yang terkena luka atau sakit berdalil dengan firman Allah Ta’ala:

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS al-Baqarah: 286)

Mereka berkata, “Orang ini tidak memiliki kesanggupan untuk membasuh anggota tubuhnya. Oleh karena itu, kewajiban membasuhnya gugur dan ia tidak berdosa atas apa yang ia lakukan.”

Aku (Syekh al-Azazy) berkata: Akan tetapi hadis tayamum adalah sahih dengan beberapa penguatnya. Orang itu tetap wajib membasuh anggota-anggota tubuh yang lain (yang tidak dibebat) berdasarkan asalnya. Pendapat inilah yang lebih menenangkan hati. Wallahu a’lam.

Beberapa catatan:

(1) Jika sudah tidak ada keperluan untuk menggunakan jabirah, seperti anggota tubuh yang sakit telah sembuh, maka ia wajib mencopot jabirah tersebut, sebab mengusap di atasnya setelah itu sudah tidak sah lagi.

(2) Mengenakan jabirah tidak disyaratkan sebelumnya dalam keadaan suci, sebagaimana mengusap di atas khuf. Begitu juga, masa pengusapan adalah tidak disyaratkan. Persoalan ini terletak pada adanya jabirah yang dibebatkan, sekalipun dalam jangka waktu yang lama.

(3) Apabila seseorang melepas jabirah sementara ia masih memiliki wudu, maka perbuatannya ini tidak mempengaruhi keabsahan wudunya selama ia belum berhadas.

(4) Pemakai jabirah tidak harus mengulangi semua salat yang telah ia kerjakan. Berbeda halnya dengan pendapat sebagian asy-Syafi’iyyah dan al-Hanabilah yang mengharuskan mengulangi semua salat tersebut.

Baca juga: MENGUSAP SEPATU DAN PENUTUP

Baca juga: HUKUM MENGUSAP KHUF (SEPATU) DAN KAOS KAKI

Baca juga: HUKUM BINATANG BUAS BERTARING DAN BURUNG BERCAKAR

(Syekh Abu Abdurrahman Adil bin Yusuf al-Azazy)

Fikih