HUKUM KURBAN

HUKUM KURBAN

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum kurban dalam dua pendapat:

1. Wajib bagi yang Mampu

Ini adalah pendapat Rabi’ah, al-Auza’i, Abu Hanifah, Laits, dan sebagian Malikiyah. Mereka berdalil dengan dalil berikut:

a. Allah Ta’ala berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Dan dirikanlah salat karena Rabbmu dan berkurbanlah.” (QS al-Kautsar: 2)

Dijawab: Para ulama menafsirkan ayat ini dalam lima pendapat. Pendapat yang paling jelas adalah bahwa salat didirikan karena Allah dan berkurban dilakukan karena Allah.

b. Hadis dari Jundub bin Sufyan radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُعِدْ مَكَانَهَا أُخْرَى، وَمَنْ لَمْ يَذْبَحْ فَلْيَذْبَحْ

Barangsiapa menyembelih sebelum mendirikan salat, maka gantilah ia dengan yang lain. Dan barangsiapa belum menyembelih, maka lakukanlah.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dijawab: Hadis ini bermaksud menjelaskan syarat syar’i berkurban. Ini sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang salat Duha sebelum matahari terbit, “Jika matahari telah terbit, maka ulangilah salatmu,” sebagaimana disebutkan dalam al-Fath.

c. Hadis dari al-Barra bahwa Abu Burdah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah menyembelih sebelum mendirikan salat. Aku memiliki anak kambing yang lebih baik dari kambing tua.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اجْعَلْهَا مَكَانَهَا، وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ

Jadikanlah itu sebagai penggantinya. Dan itu tidak cukup bagi siapapun setelahmu.” (HR al-Bukhari)

al-Khaththabi menjawab dalil yang dipakai sebagai argumen tentang wajibnya berkurban, “Ini tidak menunjukkan seperti yang mereka katakan, karena hukum-hukum asal memerhatikan pengganti-penggantinya, baik perkara wajib maupun sunah. Adapun hal itu adalah anjuran, sebagaimana hukum asalnya adalah anjuran. Maknanya adalah ‘cukup bagimu jika kamu bermaksud berkurban dan meniatkan pahala di dalamnya.’”

d. Hadis dari al-Barra bin Azib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ لَا تَجُوزُ فِي الْأَضَاحِيِّ: الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا

Empat hal yang tidak sah dalam berkurban: hewan yang jelas kebutaannya…” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah dan selainnya)

Mereka berkata bahwa sabda Nabi “tidak sah” adalah dalil wajibnya berkurban. Sebab dalam perkara sunah tidak dikatakan di dalamnya “tidak sah”. Mereka berkata bahwa bebas dari aib diperhatikan dalam perkara wajib. Adapun dalam perkara sunah, mendekatkan diri kepada Allah dengan hewan yang buta dan selainnya diperbolehkan.

Dijawab: Berkurban adalah ibadah sunah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, sebagaimana telah disebutkan dalam syariat. Ini adalah hukum yang disebutkan waktunya. Oleh karena itu, seseorang jangan berlebihan dengan sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mustahil mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan sesuatu yang dilarang oleh lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

e. Hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ، وَلَمْ يُضَحِّ، فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا

Barangsiapa memiliki keluasan dan tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami.” (Hadis hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, dan al-Hakim. Dihasankan oleh Syekh al-Albani dalam Takhriij Musykilatil-Faqr dan Shahih at-Targhib wat-Tarhib)

Yang benar adalah hadis ini mauquf seperti yang dijelaskan oleh para imam.

2. Sunah, Bukan Wajib

Ini adalah mazhab mayoritas ulama: Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, al-Muzani, Ibnul Mundzir, Daud, Ibnu Hazm, dan selain mereka. Dalil mereka adalah sebagai berikut:

a. Hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ، فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَلَا بَشَرِهِ شَيْئًا

Jika telah memasuki hari kesepuluh dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka janganlah ia memotong apapun dari rambut dan kulitnya.” (HR Muslim, an-Nasa-i, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Mereka mengatakan bahwa sabda beliau “hendak berkurban” merupakan dalil tidak wajibnya berkurban.

b. Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabat pun bahwa berkurban adalah wajib. al-Mawardi berkata, “Diriwayatkan dari para sahabat radhiyallahu ‘anhuma yang menyepakati ijmak atas gugurnya kewajiban berkurban.”

Penulis berkata tentang hal ini:

1. Dari Abu Sarihah, ia berkata, “Aku melihat Abu Bakr dan Umar. Mereka tidak berkurban.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dan al-Baihaqi)

2. Dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya aku tidak berkurban, padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir tetanggaku mengira berkurban wajib atasku.” (Hadis sahih. Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dan al-Baihaqi)

Penulis berkata, “Yang jelas bahwa dalil-dalil yang dikemukakan pihak yang mewajibkan berkurban adalah tidak kuat untuk mewajibkan berkurban. Berdasarkan hal ini, maka pendapat yang benar adalah pendapat para sahabat dan jumhur ulama.

Baca juga: HUKUM HAYDU DAN UDHHIYAH

Baca juga: KONDISI-KONDISI BERISTIGFAR

(Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim)

Fikih