CINCIN BERTULISKAN NAMA ALLAH, BOLEHKAH DIBAWA KE TEMPAT BUANG HAJAT?

CINCIN BERTULISKAN NAMA ALLAH, BOLEHKAH DIBAWA KE TEMPAT BUANG HAJAT?

93. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika masuk ke tempat buang hajat, beliau meletakkan cincinnya.” (Diriwayatkan oleh empat imam, namun hadis ini memiliki cacat)

PENJELASAN

Penulis rahimahullah berkata, “Bab Adab Buang Hajat,” yaitu bab tentang adab-adab yang seharusnya dimiliki seseorang ketika hendak kencing atau berak. Akan tetapi, para ulama rahimahumullah menggunakan kiasan untuk hal-hal yang dianggap buruk jika disebutkan secara langsung. Oleh karena itu, mereka menyebut kencing dan berak dengan istilah “hajat”.

Jika manusia merenungkan keadaannya, ia akan mendapati bahwa dirinya membutuhkan makanan untuk dimasukkan ke dalam perutnya dan untuk dikeluarkan darinya. Sebab, manusia terbatas dan memiliki kekurangan. Ia tidak dapat hidup tanpa makanan dan minuman yang ia makan atau konsumsi untuk memberi nutrisi bagi tubuhnya. Kemudian, makanan dan minuman tersebut keluar setelah tubuh mengambil bagian yang menjadi haknya dari manfaatnya, lalu darinya keluar ampas dan apa yang tidak ada kebaikan di dalamnya.

Di antara nikmat Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya adalah bahwa Allah Mahasuci dan Mahatinggi mensyariatkan bagi mereka dzikir-dzikir dan amalan-amalan yang mereka lakukan ketika makan dan minum, serta ketika membuang hajat dari sisa makanan dan minuman, sehingga nikmat tersebut menjadi sempurna bagi mereka, baik nikmat agama maupun nikmat dunia. Segala puji bagi Allah.

Ketika makan, seseorang hendaklah makan dengan tangan kanannya dan minum dengan tangan kanannya. Tidak halal baginya makan dengan tangan kiri atau minum dengan tangan kiri, kecuali jika ia ingin mengikuti setan dan menyelisihi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَأْكُلَنَّ أَحَدُكُمْ بِشِمَالِهِ، وَلا يَشْرَبَنَّ بِشِمَالِهِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ

Janganlah salah seorang di antara kalian makan dengan tangan kirinya, dan jangan pula minum dengan tangan kirinya, karena setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

Sungguh mengherankan bahwa sebagian orang yang bodoh dalam akalnya dan lemah dalam agamanya menganggap bahwa makan dan minum dengan tangan kiri adalah bentuk kemajuan dan bagian dari peradaban. Padahal, pada kenyataannya, ya —kita bisa mengatakan bahwa itu adalah suatu kemajuan, tetapi kemajuan menuju jalan-jalan setan. Itu adalah bagian dari peradaban, tetapi peradaban menuju tempat tinggal setan. Wal’iyadzu billah.

Maka, seseorang tidak halal baginya makan atau minum dengan tangan kirinya, kecuali karena suatu uzur, seperti jika tangan kanannya tidak dapat diangkat ke mulutnya karena sakit, lumpuh, atau sesuatu yang serupa dengan itu. Adapun jika tanpa uzur, maka ia berdosa dan durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, serta menjadi pengikut setan.

Demikian pula, saat makan, seseorang hendaklah menyebut nama Allah dengan mengucapkan “Bismillah, baik itu wajib menurut pendapat sebagian ulama atau sunah (dianjurkan). Sebab, jika kamu menyebut nama Allah saat makan dan minum, maka Allah akan menurunkan keberkahan padanya dan setan akan terhalang darinya. Adapun jika tidak menyebut nama Allah, maka setan akan turut serta dalam makanan dan minumanmu.

Adapun saat mengeluarkan sisa makanan dari perut, maka disunahkan bagi seseorang, ketika hendak masuk ke tempat buang hajat, untuk mendahulukan kaki kiri dan mengucapkan,

أَعُوذُ باللهِ مِنَ الخُبُثِ وَالخَبائِثِ

Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan dan jiwa-jiwa yang jahat.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim)

Jika kamu menambahkan ucapan “Bismillah”, maka itu lebih baik, sehingga kamu mengucapkan,

بِسْمِ اللهِ، أَعُوذُ باللهِ مِنَ الخُبُثِ وَالخَبائِثِ

Bismillah, aku berlindung kepada Allah dari kejahatan dan jiwa-jiwa yang jahat.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah)

Hal itu karena, jika kamu mengucapkan “Bismillah”, maka auratnya akan tertutup dari penglihatan jin. Jika kamu mengucapkan “Aku berlindung kepada Allah dari kejahatan dan jiwa-jiwa yang jahat,” maka kamu akan selamat dari kejahatan dan pelaku kejahatan. Sebab khubts berarti kejahatan dan khaba’its berarti jiwa-jiwa yang buruk dan jahat. Maka dengan doa ini, kamu meminta pertolongan kepada Allah dari kejahatan dan pelaku kejahatan.

Ketika kamu hendak keluar dari tempat buang hajat, hendaklah mendahulukan kaki kanan dan mengucapkan,

غُفْرانَكَ

Aku memohon ampunan-Mu.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Kamu juga boleh menambahkan,

الحَمْدُ للهِ الَّذِي أَذْهَبَ عَنِّي الأَذَى وَعافانِي

Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kotoran dariku dan memberiku kesehatan.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

Kemudian, penulis rahimahullah menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika masuk ke tempat buang hajat, beliau melepas cincinnya.

Cincin beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tertulis padanya “Muhammad Rasulullah”, dengan Muhammad di bagian bawah, Rasul di tengah, dan lafaz Allah di bagian atas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat cincin tersebut ketika beliau berkirim surat kepada para raja untuk mengajak mereka kepada agama Islam. Dikatakan kepada beliau, “Mereka tidak menerima surat kecuali yang memiliki stempel.” Maka beliau pun membuat cincin itu dan menjadikannya bertuliskan “Muhammad Rasulullah”.

Mengenakan cincin bukan suatu sunah, tetapi diperbolehkan bagi laki-laki. Adapun bagi perempuan, cincin adalah perhiasan mereka, yang dikenakan sebagai bentuk berhias untuk suaminya. Seorang perempuan diperintahkan untuk berhias bagi suaminya dengan segala sesuatu yang dapat menumbuhkan kasih sayang di antara mereka. Adapun laki-laki tidak demikian, tetapi ia diperbolehkan mengenakan cincin. Hal itu tidak haram baginya, tetapi juga tidak diwajibkan.

Akan tetapi, laki-laki tidak boleh mengenakan cincin emas, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan hal itu bagi laki-laki. Beliau pernah melihat seorang laki-laki yang mengenakan cincin emas di tangannya.

Beliau bersabda,

يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ

Salah seorang dari kalian sengaja mengambil bara api lalu meletakkannya di tangannya.”

Kemudian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencabut cincin emas itu dari tangan orang tersebut dan melemparkannya. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi, dikatakan kepada laki-laki itu, “Ambillah cincinmu dan manfaatkanlah!” Tetapi ia menjawab, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan mengambil cincin yang telah dilemparkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Diriwayatkan oleh Muslim)

Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika masuk ke tempat buang hajat, beliau melepas cincinnya karena di dalamnya terdapat nama Allah. Oleh karena itu, para ulama rahimahumullah mengambil hukum dari hadis ini bahwa seseorang tidak boleh masuk ke tempat buang hajat dengan sesuatu yang mengandung nama Allah, sebagai bentuk pemuliaan terhadap nama Allah ‘Azza wa Jalla. Namun, jika ia perlu masuk dengan sesuatu yang terdapat dzikir kepada Allah, maka hendaklah ia menyembunyikannya.

Para ulama berkata, “Jika seseorang mengenakan cincin yang diukir di atasnya nama seperti Abdullah atau Abdurrahman, dan ia perlu masuk ke tempat buang hajat dengan cincin itu, maka hendaklah ia membalik bagian mata cincin ke arah dalam telapak tangannya dan menggenggamnya agar tidak tampak dan terlihat.”

Demikian pula, jika seseorang membawa kertas yang terdapat dzikir kepada Allah, maka ia tidak boleh masuk ke tempat buang hajat dengannya, kecuali jika ada keperluan, seperti jika ia khawatir kertas tersebut akan dicuri jika diletakkan di luar tempat buang hajat, atau ia khawatir akan lupa meninggalkannya, atau di dalamnya terdapat hal-hal yang dikhawatirkan diketahui oleh orang lain. Dalam kondisi tersebut, tidak mengapa ia membawanya ke tempat buang hajat, terutama jika disimpan dalam sakunya dengan tersembunyi dan tidak tampak.

Adapun mushaf, para ulama berkata bahwa haram membawanya masuk ke tempat buang hajat, karena firman Allah ‘Azza wa Jalla adalah perkataan yang paling mulia, sehingga wajib menjauhkannya dari tempat-tempat yang kotor. Namun, mereka juga menyatakan bahwa jika seseorang berada di tempat umum dan khawatir mushafnya dicuri jika diletakkan di luar, maka ini merupakan keadaan darurat, sehingga tidak mengapa membawanya masuk. Namun, mushaf tersebut harus disimpan dalam sakunya dalam keadaan tertutup agar tidak tampak.

Baca juga: BUANG HAJAT

Baca juga: ADAB BUANG HAJAT

Baca juga: MEMAKAI CINCIN DAN BENANG TERMASUK KESYIRIKAN

(Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

Bulughul Maram Fikih